Reducing Cost and Adding Value
Biaya Dipangkas, Nilai Bertambah*
A. B. Susanto**
Fenomena penerbangan bertarif murah belakangan ini ramai lagi dengan tersiarnya kabar bahwa Jakarta-Johor Baru bakal bisa ditempuh dengan 100 ribu saja bersama Air Asia. Hal ini mengingatkan kita bahwa fokus perbaikan kinerja bisnis tidak saja dituntut dalam peningkatan revenue, tetapi juga program yang menciptakan value yang lebih besar dengan biaya yang efisien.
Salah satu pemangkas biaya adalah jasa yang terkait dengan teknologi informasi. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan dampak dari globalisasi telah menciptakan kondisi yang superkompetitif, di mana struktur pembiayaan yang rendah sering menjadi faktor penentu sukses. Dalam hubungannya dengan konsumen, revolusi IT telah memperpendek “product cycle”, mengurangi “time to market” , dan mengurangi biaya transaksi. Untuk internal perusahaan, revolusi IT berkontribusi pada efisiensi dalam koordinasi, manajemen sumber daya, monitoring, dan kontrol. Selain itu IT juga berkontribusi pada perbaikan dalam predictability dan reliabilitas dari divisi SDM yang memungkinkan “De-verticalization” atau fragmentasi, “Out-sourcing”, dan “Globalisasi” dari supply chains.
Tetapi IT saja tentu tidak memadai, tetapi harus dibarengi dengan efisiensi pada tiga unsur lainnya, yaitu finansial, proses bisnis, dan sumber daya manusia. Dalam manajemen pembiayaan, Activity Based Costing (ABC) merupakan teknik yang sesuai diterapkan untuk mengetahui berapa biaya yang harus ditanggung untuk menghasilkan suatu produk/layanan. Sebagai piranti manajemen, Activity Based Costing mendukung perbaikan proses bisnis menjadi lebih efektif melalui pembiayaan yang transparan. Selain itu, pemangkasan biaya dapat dilakukan dengan mengontrol anggaran dan meningkatkan efisiensi operasional dengan menghapus pos yang tidak perlu, mengurangi cycle time, dan mengubah fixed cost menjadi variable cost. Kualitas layanan secara konvensional sering diterjemahkan sebagai standar berbiaya tinggi yang kadang justru melebihi apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Misalnya layanan berupa makanan yang ditiadakan di penerbangan Air Asia. Mereka menganggap bahwa dalam perspektif konsumen layanan tersebut bukan merupakan nilai tambah, dengan demikian diserahkan kepada konsumen sebagai pilihan.
Dalam pendekatan proses bisnis, efisiensi bisa ditempuh dengan memperbaiki dan menstabilkan kualitas dan reliabilitas sistem. Konsentrasi pada inovasi untuk menggaet keuntungan jangka panjang, memisahkan dana dan sumber daya antara bisnis inti dan layanan baru, serta meningkatkan tingkat kompetisi dan menangkap momentum untuk masuk di pasar. Dalam hal ini, belajar dari pengalaman pihak lain melalui benchmarking akan mengurangi resiko dan biaya. Industrialisasi proses dengan melakukan standardisasi baik metodologi maupun proses, integrasi dan automatisasi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan biaya yang rasional. Termasuk dalam hal ini, menerapkan sistem transaksi yang efisien dengan melakukan konsolidasi dari transportasi, inventori, komunikasi, sampai pengiriman pada konsumen.
Pendekatan sumber daya manusia dilakukan dengan mempekerjakan orang-orang kunci yang kompeten, ahli di bidangnya, dan mempertahankan mereka dengan memberikan employee values. Selain itu kultur perusahaan mendukung operasional yang efisien, bahkan dalam perusahaan yang menganut cost leadership, kompetitor utama mereka bukan perusahaan lain dengan bisnis inti sejenis, tetapi biaya itu sendiri.
Cost Leadership
Diantara strategi generik, low cost strategy agak jarang diperbincangkan untuk produk-produk non-industri, dibandingkan strategi diferensiasi dan fokus. Pembahasan untuk produk atau jasa yang berhubungan langsung dengan konsumen non industrial biasanya berada diantara strategi diferensiasi dan strategi fokus. Seolah strategi keunggulan biaya menyeluruh hanyalah milik produk-produk industrial dan komoditi. Bahkan beberapa produk komoditi ditarik ke strategi diferensiasi dengan proses branding.
Tetapi sejak produk-produk Cina membanjiri pasar dengan harga yang ’tidak masuk akal’ murahnya, merek boleh ditempeli apa saja, kualitas tidak meyakinkan, low cost strategy kembali bersinar. Berawal dengan strategi ’asal murah’, bahkan dengan melakukan peniruan, produk-produk mereka membanjiri dunia. Mesin produksi berputar terus, SDM menjadi lebih berpengalaman dan semakin terampil. Dengan semangat perbaikan yang mereka punyai, beberapa industri Cina mulai memasuki tahapan kualitas yang dapat diterima konsumen, walaupun dengan harga yang masih murah. Artinya dengan harga yang masih murah, terjadi peningkatan kualitas yang meningkatkan nilai tambah bagi konsumen.
Ingat, perceived value bagi konsumen adalah seberapa besar manfaat yang mereka peroleh dibandingkan dengan pengorbanan (uang) yang mereka keluarkan. Tidak semua konsumen bersedia atau mampu mengeluarkan uang dalam jumlah besar, dan mereka bersedia menerima manfaat yang lebih sedikit. Tak perlu dapat makan, dilayani parmugari cantik berpakaian mahal, yang penting dapat terbang dengan harga yang murah. Dan konsumen jenis ini masih banyak.
* Dimuat di harian Bisnis Indonesia sekitar medio Maret 2004
** Managing Partner The Jakarta Consulting Group
A. B. Susanto**
Fenomena penerbangan bertarif murah belakangan ini ramai lagi dengan tersiarnya kabar bahwa Jakarta-Johor Baru bakal bisa ditempuh dengan 100 ribu saja bersama Air Asia. Hal ini mengingatkan kita bahwa fokus perbaikan kinerja bisnis tidak saja dituntut dalam peningkatan revenue, tetapi juga program yang menciptakan value yang lebih besar dengan biaya yang efisien.
Salah satu pemangkas biaya adalah jasa yang terkait dengan teknologi informasi. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan dampak dari globalisasi telah menciptakan kondisi yang superkompetitif, di mana struktur pembiayaan yang rendah sering menjadi faktor penentu sukses. Dalam hubungannya dengan konsumen, revolusi IT telah memperpendek “product cycle”, mengurangi “time to market” , dan mengurangi biaya transaksi. Untuk internal perusahaan, revolusi IT berkontribusi pada efisiensi dalam koordinasi, manajemen sumber daya, monitoring, dan kontrol. Selain itu IT juga berkontribusi pada perbaikan dalam predictability dan reliabilitas dari divisi SDM yang memungkinkan “De-verticalization” atau fragmentasi, “Out-sourcing”, dan “Globalisasi” dari supply chains.
Tetapi IT saja tentu tidak memadai, tetapi harus dibarengi dengan efisiensi pada tiga unsur lainnya, yaitu finansial, proses bisnis, dan sumber daya manusia. Dalam manajemen pembiayaan, Activity Based Costing (ABC) merupakan teknik yang sesuai diterapkan untuk mengetahui berapa biaya yang harus ditanggung untuk menghasilkan suatu produk/layanan. Sebagai piranti manajemen, Activity Based Costing mendukung perbaikan proses bisnis menjadi lebih efektif melalui pembiayaan yang transparan. Selain itu, pemangkasan biaya dapat dilakukan dengan mengontrol anggaran dan meningkatkan efisiensi operasional dengan menghapus pos yang tidak perlu, mengurangi cycle time, dan mengubah fixed cost menjadi variable cost. Kualitas layanan secara konvensional sering diterjemahkan sebagai standar berbiaya tinggi yang kadang justru melebihi apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Misalnya layanan berupa makanan yang ditiadakan di penerbangan Air Asia. Mereka menganggap bahwa dalam perspektif konsumen layanan tersebut bukan merupakan nilai tambah, dengan demikian diserahkan kepada konsumen sebagai pilihan.
Dalam pendekatan proses bisnis, efisiensi bisa ditempuh dengan memperbaiki dan menstabilkan kualitas dan reliabilitas sistem. Konsentrasi pada inovasi untuk menggaet keuntungan jangka panjang, memisahkan dana dan sumber daya antara bisnis inti dan layanan baru, serta meningkatkan tingkat kompetisi dan menangkap momentum untuk masuk di pasar. Dalam hal ini, belajar dari pengalaman pihak lain melalui benchmarking akan mengurangi resiko dan biaya. Industrialisasi proses dengan melakukan standardisasi baik metodologi maupun proses, integrasi dan automatisasi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan biaya yang rasional. Termasuk dalam hal ini, menerapkan sistem transaksi yang efisien dengan melakukan konsolidasi dari transportasi, inventori, komunikasi, sampai pengiriman pada konsumen.
Pendekatan sumber daya manusia dilakukan dengan mempekerjakan orang-orang kunci yang kompeten, ahli di bidangnya, dan mempertahankan mereka dengan memberikan employee values. Selain itu kultur perusahaan mendukung operasional yang efisien, bahkan dalam perusahaan yang menganut cost leadership, kompetitor utama mereka bukan perusahaan lain dengan bisnis inti sejenis, tetapi biaya itu sendiri.
Cost Leadership
Diantara strategi generik, low cost strategy agak jarang diperbincangkan untuk produk-produk non-industri, dibandingkan strategi diferensiasi dan fokus. Pembahasan untuk produk atau jasa yang berhubungan langsung dengan konsumen non industrial biasanya berada diantara strategi diferensiasi dan strategi fokus. Seolah strategi keunggulan biaya menyeluruh hanyalah milik produk-produk industrial dan komoditi. Bahkan beberapa produk komoditi ditarik ke strategi diferensiasi dengan proses branding.
Tetapi sejak produk-produk Cina membanjiri pasar dengan harga yang ’tidak masuk akal’ murahnya, merek boleh ditempeli apa saja, kualitas tidak meyakinkan, low cost strategy kembali bersinar. Berawal dengan strategi ’asal murah’, bahkan dengan melakukan peniruan, produk-produk mereka membanjiri dunia. Mesin produksi berputar terus, SDM menjadi lebih berpengalaman dan semakin terampil. Dengan semangat perbaikan yang mereka punyai, beberapa industri Cina mulai memasuki tahapan kualitas yang dapat diterima konsumen, walaupun dengan harga yang masih murah. Artinya dengan harga yang masih murah, terjadi peningkatan kualitas yang meningkatkan nilai tambah bagi konsumen.
Ingat, perceived value bagi konsumen adalah seberapa besar manfaat yang mereka peroleh dibandingkan dengan pengorbanan (uang) yang mereka keluarkan. Tidak semua konsumen bersedia atau mampu mengeluarkan uang dalam jumlah besar, dan mereka bersedia menerima manfaat yang lebih sedikit. Tak perlu dapat makan, dilayani parmugari cantik berpakaian mahal, yang penting dapat terbang dengan harga yang murah. Dan konsumen jenis ini masih banyak.
* Dimuat di harian Bisnis Indonesia sekitar medio Maret 2004
** Managing Partner The Jakarta Consulting Group
0 Comments:
Post a Comment
<< Home