Strategi Bisnis

"Dalang", mengurai dari balik tabir....

Wednesday, September 07, 2005

PRIMUM NON NOCERE

Di kala masih menjadi mahasiswa kedokteran dahulu, beredar gurauan enaknya menjadi dokter dibandingkan, katakanlah, dengan insinyur teknik sipil. Dalam gurauan ini diambil kasus ekstrim saat masing-masing ‘gagal’ dalam pekerjaannya. Insinyur teknik sipil yang bertanggung jawab membangun jembatan dihujani dengan cemoohan dan menanggung beban derita begitu jembatan tersebut runtuh tidak lama setelah proyek selesai. Di saat yang lain ada dokter yang tidak dapat menyelamatkan nyawa pasiennya tidak lama setelah ia tangani. Tidak seperti insinyur tadi yang menanggung derita, sang dokter masih mendapatkan ucapan terima kasih dari keluarga dan handai taulan pasien yang meninggal dunia tersebut. Tetapi, kembali, ini hanya sekedar gurauan saja.

Ilustrasi di atas tidak berarti tidak adanya tuntutan terhadap keselamatan dalam dunia medis. Bahkan di kalangan profesional medis, selalu didengungkan diktum dari Hippocrates (kira-kira 460-377 SM) yang menjadi prinsip pertama dunia medis, primum non nocere. Slogan berbahasa latin ini kurang lebih dapat diartikan sebagai ”Yang terpenting adalah tidak merugikan” dalam setiap aspeknya, baik secara sosial maupun ekonomis. Dalam hal ini profesional medis dituntut untuk menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan yang lain-lainnya. Prinsip ini sering disandingkan dengan motto ”Aegroti Salus Lex Suprema” yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Interaksi profesional medis dengan pelanggannya menuntut kepercayaan dan kesetiaan yang tidak dapat ditawar lagi. Sehingga muncul satu slogan lain yang relevan dalam hal ini berupa ”Uberrima fides” yang berarti kesetiaan diatas segala-galanya.

Dalam diktum ”Primum non nocere” terkandung tiga implikasi yang antara satu dengan yang lainnya saling menjalin menjadi satu mata rantai yang tak terpisahkan. Pertama, bahwa profesional medis harus menyadari kenyataan bahwa mereka mampu melakukan segala sesuatunya dengan lebih baik. Artinya, secara kontinu selalu ada ruang untuk melakukan perbaikan. Tingkatan kedua adalah menemukan cara, bagaimana perbaikan dapat dilakukan. Yang terakhir tentu saja menerima tanggung jawab untuk menunaikan tugas. Kata kuncinya dalam hal ini adalah kendali mutu.

Dalam konteks layanan rumah sakit misalnya, proses kendali mutu dituntut untuk sudah harus melibatkan pelanggan. Model proses tertutup rapat yang menempatkan pelanggan dalam posisi gelap tidak tahu apa-apa sudah tidak jamannya lagi. Pelanggan sekarang ini bukan lagi pasien yang orang Jawa bilang “pasrah bongkokan” atau “pejah gesang monggo kemawon,” pasif menerima saja apa pun perlakuan dari penyedia layanan. Makin kritisnya pelanggan nampak dari orientasi mereka dalam mencari ’value’.

Value di sini dimaksudkan sebagai ’fungsi’ dari hasil pemeriksaan dan atau perawatan medis beserta jajaran pendukungnya (medical output) serta layanan yang mereka terima dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung. Kesemua bersifat subyektif, berdasarkan persepsi masing-masing orang. Mahal bagi seseorang bisa berarti murah bagi yang lain.
Aspek layanan sendiri mengacu kepada proses yang kompleks. Francis W. Body dalam Journal of American Medical Association menyatakan bahwa hubungan antara profesional medis dan pelanggannya harus terbentuk secara personal dengan memperhatikan aspek waktu, simpati, dan saling pengertian. Kualitas esensial yang tidak boleh ketinggalan adalah kepedulian yang berperikemanusiaan. Kepedulian yang membuat pelanggan merasa diperlakukan secara manusiawi. Value ini menjadi parameter dalam memilih penyedia layanan, manakah yang dipersepsikan sebagai penyedia layanan yang berkualitas dan sesuai dengan kemampuan pelanggan untuk membayarnya.

Persepsi terhadap kualitas ini didapatkan berdasarkan informasi dan pengalaman yang mereka miliki. Informasi betapa mudahnya menyebar dalam iklim keterbukaan seperti sekarang ini. Lagipula, bukankah dalam era ini pelanggan memiliki peran yang tidak lagi tunggal? Pasien misalnya tidak hanya berperan sebagai pemberi umpan dengan menceritakan kondisi yang dihadapi ketika bertemu dengan dokter. Pasien berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas terkait dengan apa yang menjadi kepentingannya. Pelanggan harus mendapat kejelasan informasi tentang prosedur yang harus diikutinya sehingga mereka dapat memutuskan sendiri tindakan yang akan diambil, sesuai hak asasinya. Bilamana perlu, pelanggan berhak mengambil opini lain sebagai alternatif (second opinion).

Kejelasan informasi tersebut penting bagi pelanggan dalam mempertimbangkan rasio antara keuntungan dan resiko yang akan dihadapainya. Tidak jarang, adanya kesalahan, infeksi, dan terpaparnya resiko terjadi karena antara profesional medis dan pelanggan terjadi masalah komunikasi. Perbedaan bahasa menjadi salah satu kendalanya, disamping keengganan sebagian pelanggan untuk proaktif dan kecenderungan sebagian profesional yang mengejar target. Padahal, membodohi pasien adalah tindakan ilegal karena sudah menjadi tugas profesional medis untuk mendidik pelanggannya secara pelan tapi pasti.

Pelanggan yang kurang dilibatkan dan kurang mendapatkan informasi yang cukup cenderung kurang mendapatkan perlakuan yang efektif. Sebagai akibatnya pelanggan kurang mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah seperti resiko timbulnya alergi, infeksi, kecelakaan, atau bahkan kematian. Sehingga jika terjadi masalah selama ini praktisinya yang dipersalahkan. Padahal seringkali sistemlah yang seringkali membuat semua ini terjadi, termasuk di dalamnya budaya organisasi. Untuk itu, pengkambinghitaman tentu bukan tindakan yang bijaksana dan tidak menyelesaikan permasalahan. Yang lebih diperlukan adalah desain ulang sistem lama menjadi sistem baru yang lebih baik dengan budaya organisasi yang lebih kondusif.

Dengan demikian, sebenarnya setiap pihak mempunyai porsi tanggung jawab dalam mendukung keselamatan pasien. Profesional medis tidak akan sanggup menanggungnya sendirian, dan mereka memang tidak dalam posisi sebagai pemegang otoritas tunggal. Tidak heran jika sekarang ini suara pelanggan juga mempunyai kekuatan tersendiri dalam kaitannya dengan regulasi, baik melalui asosiasi maupun perwakilan di lembaga legislatif karena sangat terkait dengan kepentingannya. Selain peran-peran yang sudah disebutkan di atas pelanggan juga mempunyai peran sebagai agen dalam penyebaran informasi dari mulut ke mulut (words of mouth) yang efektif. Peran terakhir ini menjadi semakin strategis jika dikaitkan dengan ketatnya regulasi dalam iklan komersial industri medis.

Untuk meningkatkan keselamatan pasien pada khususnya dan kualitas layanan pada umumnya, modernisasi peralatan memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah menyediakan layanan yang prima. Layanan yang layaknya diberikan kepada orang yang kita cintai seperti misalnya ibu kita sendiri. Di kalangan ahli bioetika prinsip layanan seperti ini dikenal sebagai Papworth Principle. Dalam hal ini penulis punya akronim MOTHER yang belum lama ini penulis sampaikan dalam Seminar Nasional VII Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Akronim MOTHER terdiri atas layanan medis (Medical services), dedikasi (Outstanding dedication), menghargai waktu (Time awareness), perlakuan yang manusiawi dan penuh respek (Humanity treatment and respect), Empathy, sympaty and understanding, serta harga yang masuk akal (Reasonable cost).

* oleh A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di MAJALAH EKSEKUTIF

Value Retailing

Sebagai salah satu pembicara dalam 2005 Annual Indonesian Retail Networking Conference di Ballroom Hotel Grand Hyatt baru-baru ini saya menangkap aura optimisme dari wajah-wajah peritel negeri ini. Sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, aura ini terpancar justru saat kondisi rupiah makin tidak menguntungkan industri ritel nasional. Belum lagi jika dipertimbangkan makin melangitnya harga BBM yang tentu saja memukul sendi-sendi industri ritel, terutama menurunnya daya beli konsumen.

Menurunnya daya beli ini makin membuat peritel harus lebih berpandai-pandai membaca keinginan dan perilaku konsumen di samping mengantisipasi move peritel lainnya. Kita tahu, belakangan ini makin banyak peritel menerapkan low cost strategy dengan memberikan tawaran utama berupa harga yang murah kepada konsumen, kategori peritel yang sering disebut sebagai value retailer. Dengan kekuatan yang dimilikinya, peritel kategori ini berani menantang adu murah harga.

Pilihan yang dihadapi dalam hal ini adalah melayani perang harga atau melakukan diversifikasi secara tajam. Perang harga ujung-ujungnya memang menguntungkan konsumen, tetapi tidak dikehendaki peritel lain pada umumnya. Melayani value retailer dalam perang harga bukanlah perkara gampang. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam infrastruktur yang menjamin keunggulan dalam supply chain dan distribusi, maka terjun dalam perang harga ibarat kamikaze. Yang lebih fleksibel adalah merubah proposisi value pada konsumen dan memberikan layanan yang lebih baik dalam pengalaman belanja konsumen sebagai justifikasi mengapa harganya lebih mahal.

Dalam dunia ritel, titik masuk bagi penyampaian value kepada konsumen meliputi identitas yang ditentukan oleh kemampuan peritel untuk menyajikan keunggulan diferensial yang kompetitif. Dengan demikian, identitas tersebut harus didukung oleh estetika, baik secara visual maupun kondisi lingkungannya. Estetika yang tidak meninggalkan sentuhan emosional demi terciptanya pengalaman berbelanja yang mengesankan.
Secara fungsional value dirasakan konsumen melalui kualitas layanan, dukungan teknologi, dan harga yang menarik. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa dunia ritel tidak dapat dipisahkan dari gaya hidup.

Customer Value
Berbicara dalam konteks yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas di bidang ritel, customer value dapat dijabarkan sebagai preferensi yang dirasakan pelanggan terhadap ciri produk, kinerja, dan sejauh mana telah memenuhi apa yang diinginkan pelanggan.
Berkaitan dengan customer value, dalam implementasinya dilakukan Value Chain Analysis untuk membantu perusahaan mengidentifikasi sumber dan kapabilitas potensialnya yang kompetitif. Ibarat lomba lari maka start-nya adalah customer needs, dan garis finish-nya adalah customer delight. Untuk merubah orientasi dari product-focused menjadi customer-focused perusahaan harus memenuhi tiga tahap berikut: mengenal pelanggan; menyampaikan value yang signifikan dan kompetitif; serta menciptakan budaya yang customer-centric.
Untuk dapat memberikan keunggulan kompetitif, tidaklah cukup dengan value secara fungsional tapi juga secara emosional. Lantas, apa yang membuat pelanggan puas? Untuk bisa menjawabnya terlebih dahulu dikaji apa yang diharapkan pelanggan terhadap perusahaan, yaitu tanggung jawab, kualitas, value dan inovasi dari produk dan layanan, kualitas keseluruhan layanan/dukungan, dan penyajian yang tepat waktu.

Apa peran loyalitas dalam kehidupan pelanggan? Sebagian besar pelanggan mempunyai keinginan yang kuat untuk membangun loyalitas. Mereka akan kembali dan kembali lagi jika diperlakukan dengan baik dan merasa nyaman. Dengan loyalitas ini pelanggan ingin mengurangi resiko dengan kembali ke perusahaan yang mereka percayai karena mereka tahu apa yang akan mereka dapatkan.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan customer value kuncinya terletak pada komunikasi. Promosi pemasaran penting untuk mempertahankan pelanggan (customer retention) dan mendongkrak penjualan. Pilihan yang dibuat pelanggan didasarkan atas persepsi mereka. Semakin kuat mengenal pelanggan, akan lebih mudah mempengaruhi persepsi mereka secara efektif.

Penopang utama tercapainya value delivery yang prima adalah manusia yang ada dalam organisasi. Prinsip utama dalam value delivery adalah memberi nilai tambah pada tiap tahap dalam aliran nilai sesuai dengan proposisi nilai yang dijanjikan serta mengumpulkan informasi dan data untuk perbaikan kontinyu (continuous improvement) terhadap proses. Harapan terhadap value delivery ini secara finansial tercermin dalam laba, pertumbuhan laba, rasio keuangan, cash flow, dan kemampuan meraup modal. Ke depan akan tercermin dalam posisi pasar, potensi pertumbuhan, perbaikan kontinyu, serta knowledge management.

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Harian Bisnis Indonesia

Kepemimpinan Cheng Ho

Pendaratan Cheng Ho di Semarang akan diperingati secara besar-besaran. Cheng Ho adalah bahariwan besar, mendahului para pelaut besar Eropa seperti Columbus dan Vasco da Gama. Armadanya juga jauh lebih besar, 200 kapal (bandingkan dengan Columbus yang hanya 3 kapal).

Memimpin tujuh kali ekspedisi mengarungi jarak lebih dari 50 ribu kilometer pada kurun waktu itu adalah prestasi yang fenomenal, membutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat. Enam ratus tahun yang lalu, memimpin armada yang melibatkan 200 kapal dengan 27 ribu awak kapal tentu bukan hal yang mudah. Kepiawaian seorang pemimpin yang disertai oleh managerial skill yang sangat tinggi. Dia tentu memiliki visi yang kuat dan merasuk kepada segenap pengikutnya, shared vision. Sehingga ia mampu memobilisasi pengikutnya dalam koordinasi yang bagus.

Misi yang diembannya juga tergolong mulia. Bayangkan saja jika armada yang dipimpinnya saat itu menyerang dan menjajah negeri ini. Dengan melihat perbandingan kekuatan yang ada, secara teknis armada Cheng Ho mempunyai peluang cukup besar untuk memenangkannya. Tetapi yang mereka lakukan justru menebar misi damai. Sebuah misi untuk menunjukkan keagungan dinasti Ming dan ketinggian kebudayaan Tiongkok.

Dalam menjalankan misinya, ia mengedepankan pendekatan multikulturalisme. Ia menghormati dimensi kultural yang dianut masyarakat setempat berupa bahasa, nilai-nilai, pola berpikir, agama, artefak, dan orientasi terhadap waktu dan ruang. Penghormatan terhadap perspektif lain ini membantu memotret situasi dengan tepat secara cepat (quick to see). Sikap ini mendatangkan pemahaman dan kearifan dalam menyikapi perilaku dan sikap pada konteks budaya yang berbeda (quick to learn). Hal ini menjadi faktor kritis yang meningkatkan fleksibilitas dalam bertindak (quick to decide) dan berinteraksi sehingga terbinanya hubungan yang erat tanpa mengesampingkan pencapaian hasil yang diinginkan.

Penggunaan soft power seperti ini menuntut kerja keras dari seorang pemimpin lebih dari penggunaan kekerasan itu sendiri. Betapa tidak, ia harus dapat meyakinkan anak buahnya bahwa cara ini dapat berhasil. Dengan berbagai tantangan dan cobaan yang dihadapi, ia harus dapat memupuk keyakinan tersebut dan memelihara semangat untuk berusaha mencapainya. Sebagai pemimpin, komitmennya menjadi acuan dalam menggerakkan komitmen anak buahnya. Dari perjalanan waktu untuk mencapai tujuan tersebut selalu berhadapan dengan proses perubahan, baik perubahan internal maupun perubahan eksternal. Kadang-kadang perubahan itu bersifat ekstrim sehingga menimbulkan krisis yang dapat menimbulkan keraguan dan pesimisme.

Padahal, antusiasme memainkan peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan. Sudah menjadi tugasnya selaku pemimpin untuk selalu meniupkan rasa antusias kepada seluruh anak buahnya. Kemampuan memotivasi, memberi teladan, dan memberi inspirasi menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Secara nyata toleransi dan empati ditunjukkannya dalam banyak hal, bukan sebatas retorika belaka.

Ada kisah menarik dalam kunjungannya ke Majapahit yang saat itu sedang dilanda perang saudara dengan kubu Blambangan. Ketika berada di pantai Utara Jawa, orang kedua dalam armada itu, Wang Jinghong, menderita sakit keras. Beberapa sumber sejarah mengatakan sakit cacar air yang parah, dan tergolong penyakit menular. Mengingat kondisi kesehatan orang kepercayaannya, Cheng Ho menurunkan Wang Jinghong di Pelabuhan Simongan (sekarang bernama Mangkang) Semarang. Di situ Wang Jinghong dirawat di dalam sebuah gua untuk menghindarkan penularan penyakit ke anak buahnya yang lain. Bahkan, beberapa sumber menyatakan bahwa dengan tangannya sendiri Cheng Ho merawatnya, termasuk meramu obat-obatan untuknya.

Bayangkan, seorang laksamana yang memimpin tidak kurang dari 30,000 orang dalam lebih dari tujuh puluh kapal dalam suatu misi yang penting begitu memperhatikan orang kepercayaannya. Selama ia merawat Wang Jinghong, kendali armadanya ia serahkan pada orang yang ditunjuknya. Padahal dengan kekuasaannya, mudah saja bagi laksamana Cheng Ho untuk menunjuk anak buahnya untuk merawat Wang Jinghong sementara ia tetap memimpin armada lautnya.

Saat kondisi Wang Jinghong membaik, Ceng Ho meninggalkannya berikut 10 awak kapal untuk menjaganya. Ia kembali memimpin armada lautnya untuk melaksanakan misi utama yang diembannya setelah memastikan bahwa wakilnya ini sudah dalam kondisi aman dan tinggal menunggu pemulihan saja.

Integritas kepemimpinan Cheng Ho yang ditunjukkan dalam kepeduliannya terhadap Wang Jinghong sebagai wakilnya sangat dirasakan oleh semua anak buahnya. Sebagai gantinya, ia juga mendapatkan tidak saja respek tetapi totalitas dari seluruh anak buahnya. Tidak heran jika Laksamana Cheng Ho sukses dalam setiap kesempatan.

Bahkan, sebagai tanda terima kasih kepada Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan patung Cheng Ho di gua Simongan. Itulah awal legenda patung Sam Po Kong yang kemudian menjadi asal muasal Kelenteng Sam Po Kong Semarang yang setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek ramai dikunjungi orang.

Kepemimpinan Cheng Ho, sungguh layak untuk diteladani.

* A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Dimuat di harian Bisnis Indonesia 2005

Friday, July 22, 2005

Pembiayaan Sektor Liliput

Dalam suatu acara televisi saya menjadi host untuk membahas mengenai microfinancing bersama Dirut BRI, Rudjito. Sungguh menarik pembahasan ini, karena UKM lebih sering dimarjinalkan posisinya, dipandang sebelah mata, dikonotasikan sebagai beban. Bahkan, wacana pembiayaan bagi UKM selama ini lebih sering dilihat dari sisi sosial (subsidi) daripada sisi bisnisnya (komersial). Tidak heran jika sektor pembiayaan menjadi kesulitan utama yang dialami UKM.

Padahal fakta berbicara lain. Usaha mikro ini lebih responsif terhadap perubahan pasar, lebih rentan terhadap gejolak ekonomi dan sangat efisien dalam penggunaan modal. Ketahanan usaha mikro terhadap gejolak ekonomi telah terbukti ketika terjadi krisis tahun 1998. Selama krisis tersebut terjadi, sementara usaha-usaha besar praktis lumpuh, usaha-usaha mikro tetap survive.

Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini makin banyak yang sadar dan meminati kewirausahaan. Di Indonesia, jumlah unit usaha mikro mencapai 41,3 juta atau sekitar 99,8 % dari total unit usaha yang ada dan menyerap tidak kurang dari 68,2 juta tenaga kerja. Statistik ini memperlihatkan peluang bagi tumbuh suburnya pembiayaan usaha mikro (microfinance). Tidak heran jika belakangan ini microfinance menjadi topik penting dan banyak dibicarakan. Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Bahkan, PBB telah menetapkan tahun 2005 sebagai ”The International Year of Microcredit” dengan tema building inclusive financial service to achieve the Millennium Development Goal.

Selama ini ada anggapan bahwa memberikan kredit kepada usaha mikro beresiko tinggi dengan potensi kredit macetnya (Non Performing Loan-NPL) yang tinggi. Apalagi jika dikaitkan dengan jaminan (collateral). Tetapi kenyataan di lapangan ternyata tidak demikian, BRI yang aktif menggeluti sektor ini melaui BRI Unit menyatakan sejak beroperasi secara komersial (1984), NPL-nya tidak pernah melampaui angka 3%. Fantastis bukan?

Karena setiap debitur nilai kreditnya kecil, diversifikasi portfolio sangat menyebar. Disertai selektifitas dan upaya pemantauan yang baik, resikonya pun dapat ditekan. Mereka relatif lebih mudah diatur dari pada debitur besar yang sering banyak akalnya dan mempunyai ’power’ untuk ”berbuat nakal”, termasuk mengatur bank. Hal ini dikarenakan UKM sadar posisinya yang sulit dalam mengakses bank konvensional (bahkan dalam beberapa kasus cenderung unbankable, tidak layak kredit). Selain itu mereka juga sadar pula bahwa alternatif lain tinggal rentenir dengan bunga yang mencekik leher. Dengan demikian yang terjadi, paling banter UKM tidak membayar tepat waktu, tetapi bukankah keterlambatan ini tercover oleh bunga ekstra yang dibebankan padanya? Apalagi seringkali mereka berkepentingan untuk meminjam kembali di kemudian hari yang mengharuskan menutup lubang untuk dapat menggali lubang berikutnya. Peminjaman yang secara nominal tidak besar dan siklis (berkelanjutan) ini menjadi karakteristik tersendiri dari microfinance.

Dengan demikian, penyediaan jasa keuangan mikro baik berupa simpanan maupun pemberian kredit akan menggerakkan roda perekonomian dan mengangkat derajat ekonomi, tumbuh bersama secara mutualistis. Hal ini sudah ditunjukkan misalnya oleh Bangladesh yang berhasil mengentaskan kemiskinan sedikit demi sedikit melalui 1200-an institusi microfinance-nya. Meskipun dalam kenyataannya masih didominasi oleh empat pemain besarnya -- Grameen Bank, BRAC, ASA, dan Proshika yang secara kumulatif menguasai pangsa pasar sebesar 90%.
Menyimak sepak terjang Grameen Bank, ada hal yang menarik bahwa mereka mendasarkan operasinya pada premis bahwa ’the poor have skills which remain unutilised or under-utilised’.

Mereka beranggapan bahwa yang menyebabkan kemiskinan bukanlah kurangnya skill tetapi institusi dan kebijakan yang melingkupi mereka. Mereka diibaratkan sebagai bonsai. Jika benih dari pohon raksasa ditanam di dalam pot, maka pohon yang tumbuh di pot tersebut adalah pohon raksasa dalam bentuk liliput (bonsai). Tidak ada yang salah dengan benihnya, tetapi ketidaksesuaian lingkungannya yang tidak memungkinkannya untuk tumbuh. Atas dasar premis ini mereka percaya bahwa charity bukanlah jawaban karena hanya akan menimbulkan ketergantungan dan menghilangkan inisiatif. Yang mereka lakukan adalah menyediakan metodologi dan institusi bagi kebutuhan finansial mereka dengan skema kredit yang memungkinkan peminjam produktif dalam tiap siklus pinjamannya. Sebuah kajian World Bank yang dilakukan oleh Shahid Khondkar (2003) menunjukkan bahwa program microcredit di Bangladesh telah membawa dampak positif tidak hanya bagi pesertanya saja, tetapi secara agregat terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Di Indonesia sendiri microfinance juga menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan cukup berkontribusi bagi perkembangan mikrofinance di tingkat global. Pada tahun 1996, melalui kerja sama dengan World bank dan CGAP (Consultative Group to Assist the Poor), BRI mendirikan unit kerja yang disebut Desk International Visiting Program (IVP). Unit kerja ini menjadi media bagi pengembangan microfinance melalui berbagai kegiatan seperti training, seminar, workshop, studi banding, dan memfasilitasi riset bagi mahasiswa di seluruh dunia. Termasuk seminar internasional bertema ”International Seminar on BRI Microbanking System, Creating Opportunities for the Poor Through Innovations” yang akan diselenggarakan akhir tahun mendatang di Bali. Melihat perkembangan yang cukup menggembirakan ini, menarik untuk dikaji, faktor-faktor kunci apakah yang menentukan sukses tidaknya microfinance. Secara garis besar ada dua faktor kunci, efektivitas operasional yang menjamin penyampaian jasa secara efektif, responsif, dan berkelanjutan, dan yang kedua membangun organisasi yang efektif. Untuk faktor pertama tingkat kesuksesan diukur berdasarkan banyaknya klien dan jangkauan layanannya (outreach), swa sembada baik secara operasional maupun finansial, dampak (impact) terhadap klien, dan kemampuan integrasi dengan mobilisasi sumber daya masyarakat. Ukuran ini bisa disederhanakan dalam rendahnya biaya transaksi baik langsung maupun tidak langsung sehingga kompetitif, tingginya tingkat pengembalian, dan repeat customer. Untuk dapat mencapainya diperlukan prosedur yang memberikan kemudahan (simplicity), mulai dari akses, approval, sampai sistem layanan terutama bagi banyak transaksi berskala mikro. Kemudahan tersebut bermuara pada efisiensi, berupa cost recovery yang akan menentukan keberlangsungan operasional (sustainability). Sebagai institusi komersial, pendekatan dalam pengembangan microfinance haruslah berorientasi pasar (market driven) dengan memahami needs and wants dari khalayak yang disasar.

Sektor microfinance harus dapat menciptakan atmosfir saling percaya (trust) atas dasar semangat kerja sama di antara penyedia jasa dan nasabahnya. Dengan demikian transparansi, monitoring dan pengawasan melekat menjadi tuntutan yang tidak terelakkan. Khalayak sasaran yang komunal juga menghendaki profesional yang cakap yang dibekali dengan pengembangan berupa pelatihan sesuai tuntutan masyarakat. Dinamika masyarakat yang tinggi diiringi dengan perkembangan teknologi menuntut inovasi tiada henti. Masyarakat tidak hanya membutuhkan kredit tetapi juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti asuransi, remitance, dll. Di atas semua itu, yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman atas local practice.

Terkait dengan local practice ini, dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang efisien yang mampu mengakomodir tradisi, kultur dan kondisi lokal. Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian secara khusus untuk menghindari conventional trap. Efektivitas organisasi dibangun atas dasar beberapa aspek. Kejelasan visi, misi, dan prinsip yang menjadi panduan dan sumber motivasi. Kultur dan komitmen organisasi yang didukung oleh employee value, shareholder value dan berorientasi pada customer value.

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Oktober 2004

The Entrepreneurial Trajectory

Banyak calon wirausaha dan wirausaha yang sudah cukup lama bergelut dalam bisnis dan ingin mengembangkan usahanya mengeluhkan kurangnya bekal dalam memahami apa yang saya sebut dengan The Entrepreneurial Trajectory. Yakni inventarisasi terhadap fase-fase strategis berwirausaha dalam kaitannya dengan networking, critical success factor, dan praktek-praktek yang lazim menghambatnya.

Mengenali peluang sudah jamak diketahui sebagai fase awal dari usaha. Fase ini ditandai dengan munculnya ide bisnis yang tidak jarang didapat berkat diskusi dan pertukaran informasi dengan pihak lain yang biasanya masuk dalam jejaring sosialnya. Agar ide ini menjadi berarti biasanya disertai hasrat pribadi yang menjadi bagian dari tujuan hidup, misalnya saja terkait dengan hobi. Jejaring sosial juga berperan besar sebagai motivator. Sebenarnya, hampir setiap orang pernah berada dalam fase ini. Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi baik personal maupun lingkungan yang kondusif.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung menunjukkan bahwa sekitar 55% di antaranya memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Tradisi yang kuat di bidang usaha dari jejaring sosial terdekat ini menjadi confidence modalities. Tension modalities berupa kondisi yang menekan, seperti terkena PHK mengakibatkan tiadanya pilihan lain selain menjadi wirausaha. Kondisi yang terbaik adalah seseorang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha (emotion modalities).

Agar tetap fokus pada peluang, ide-ide bisnis yang ada diinventarisir, disaring mana yang atraktif dan mana yang tidak. Banyak orang dapat menginvestigasi ide bisnis yang sama tetapi akan berbeda dalam melihat peluang yang ada. Terfokus dan berlama-lama pada satu ide saja merupakan kesalahan umum yang dibuat pemula. Interaksi dengan jejaring profesional yang terdiri atas jejaring personal ditambah dengan pihak-pihak yang terkait dengan bisnis memudahkan akses terhadap ketrampilan dan teknologi. Keterampilan teknis dan manajemen penting artinya untuk meningkatkan produktifitas dan penciptaan nilai tambah yang memungkinkan usaha kelas teri mempunyai hasil kelas kakap.

Agar ide bisnis terwujud dibuatlah rencana bisnis. Banyak wirausaha yang mengabaikan fase ini dan kemudian gagal. Dalam fase ini visi dan misi, arah dan tujuan, strategi pengembangan, sumber daya manusia dan sumber daya lain, kapabilitas organisasional, strategi pembiayaan dan visi tentang kesuksesan mendapatkan bentuknya. Sebuah rencana pemasaran misalnya, dapat memberikan semacam perhatian yang dibutuhkan dalam membidik orang, perusahaan, atau hal lainnya secara tepat. Rencana tersebut dapat juga menarik perhatian orang atau pihak lain, termasuk memudahkan akses terhadap dana (investor). Tidaklah mungkin membangun usaha tanpa akses ke permodalan. Untuk disebut feasible atau bankable skema pembiayaan mensyaratkan asas 5C, yang meliputi character (watak calon debitur), capacity (kemampuan), capital (permodalan), condition (kondisi), dan collateral (jaminan). Jika belum bankable, masih ada skema pembiayaan mikro yang lebih longgar syaratnya.

Akses terhadap layanan pengembangan bisnis dapat membantu mengatasi kelemahan utama dari UKM berupa ketidakjelasan pola besar dari usaha. Layanan ini berupa pelatihan, layanan konsultasi, bantuan pemasaran, informasi, pengembangan dan alih teknologi, serta promosi bisnis. Dengan demikian wirausaha mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang diinginkan konsumen pada saat ini dan mendatang, bagaimana perkembangan pola beli mereka, dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka. Berbekal informasi pasar yang dimiliki, dengan sumber daya yang dialokasikan sesuai rencana bisnis, pasar dapat dijangkau. Akses pasar dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan Kadin yang telah membentuk PT UKM Indonesia sebagai trading house yang akan membeli produk-produk mitra UKM yang layak jual dan memasarkannya ke mitra usaha yang menjadi jaringannya. Pemerintah juga sudah mengatur agar ritel modern seperti mal, hotel, dan restoran menyediakan 20 persen space-nya bagi UKM sehingga UKM bisa menembus pasar menengah atas. Akses terhadap pasar asing juga telah difasilitasi oleh Pusat Pelayanan dan Pengembangan UKM (SME Center) yang menawarkan kemudahan transaksi dagang antara UKM Indonesia kepada mitra bisnisnya dari negara anggota G-15. Termasuk kemitraan dengan perusahaan multinasional yang mempunyai kepentingan dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat sekitar (community development). Meskipun demikian dunia tak selalu memberikan respon yang sesuai dengan yang diinginkan wirausaha. Meski itu sebuah produk superior, dunia terkadang tak memberikan tanggapan yang sesuai dengan harapan. Karenanya, dibutuhkan sejumlah uang kontan agar dapat bertahan pada masa-masa seperti itu. Fase ini dapat menjadi acuan untuk evaluasi rencana bisnis yang sudah dibuat dalam fase sebelumnya.

Keputusan untuk mengembangkan usaha dengan strategi pertumbuhan tinggi beserta segala resikonya ataukah lambat asal selamat ditentukan dalam fase ini. Sayangnya sebagian besar wirausaha memilih alternatif kedua yang membuatnya tetap tinggal kelas sebagai UKM. Memang, biasanya jumlah usahawan yang sukses melewati tahap ini relatif sedikit. Jejaring strategis yang melibatkan perusahaan lain dan institusi pendukung dalam kerangka simbiosis mutualisme akan sangat membantu mengembangkan usaha. Secara internal, mengabaikan karyawan adalah kesalahan yang sering dilakukan wirausaha dalam fase ini. Padahal dapat berbuntut pada menurunnya moral, produktivitas kerja, dan keuntungan perusahaan. Dalam jangka panjang, pematangan sistem akan jauh lebih mendukung dibandingkan bertumpu pada figur wirausaha seorang.

Strategi yang berhasil diterapkan dengan baik ditunjang oleh iklim bisnis yang mendukung memungkinkan untuk dapat memimpin pangsa pasar. Memimpin pasar ibarat duduk di kursi panas, yang mengharuskan untuk selalu waspada agar bisa mempertahankan posisi ini. Dalam pasar yang dinamika kompetisinya tinggi, mempertahankan posisi di puncak jauh lebih tinggi daripada saat menggapainya. Banyak pihak akan membidik pemimpin pasar dan berusaha menuju puncak dengan segala cara, termasuk memanfaatkan kelemahan pemimpin pasar. Di sisi yang lain, bisnis yang sudah mapan dan mempunyai peluang yang lebih besar untuk ekspansi. Peluang untuk berekspansi dengan melebarkan sayap usaha harus ditindaklanjuti secara kreatif dan cermat. Diperlukan fleksibilitas dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Jika segala sesuatunya berjalan lancar, selanjutnya tinggal memetik buah dari pohon yang ditanam, dari value yang dibuat di fase sebelumnya. Hal ini bisa saja dilakukan dengan ‘keluar dari bisnis’ melalui IPO (Initial Public Offering) atau diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. Memakai kerangka Robert Kiyosaki dalam bukunya Cashflow Quadrant, ’keluar dari bisnis’ ini berarti pindah dari kuadran B (Business owner) ke kuadran I (Investor). Fase panen ini sering terlewatkan dalam konteks kewirausahaan.

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir November 2004

Business Disaster Recovery

Sebelum gempa dan tsunami di Aceh, berturut-turut terjadi bencana alam di Alor dan Nabire. Sesudahnya berturut-turut kota-kota besar di Indonesia dihampiri oleh banjir. Terakhir Palu mendapat giliran diguncang gempa. Tiba-tiba kesadaran kita terkuak, bahwa negeri ini benar-benar rawan bencana alam. Dahulu kita merasa kasihan kepada Jepang, karena menganggapnya sebagai negeri gempa. Dan ternyata bencana yang dihadapi negeri ini bukan hanya bencana alam. Banyak pula bencana buatan manusia seperti teror dan kerusuhan.

Musibah ini dapat mengganggu, bahkan menghentikan bisnis secara total. Dan bahkan mungkin tidak bangkit kembali. Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis atau bencana.

Kejadian buruk dan musibah yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam seperti gempa dan tsunami yang melanda Sumatra Utara dan Aceh serta banjir yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya, musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis yang berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen dan antisipasi untuk masa selanjutnya.

Di kalangan pelaku bisnis sendiri ada kecenderungan untuk memakai istilah yang lebih ‘cerah’, istilah yang lebih menonjolkan optimisme. Salah satunya adalah pemakaian istilah Business continuity plan yang dinilai lebih komprehensif untuk memastikan tetap bisa ‘making money’ dibandingkan dengan istilah Business Disaster Recovery yang lebih merujuk pada kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal esensinya sama, proaktif dalam mengantisipasi resiko, proses yang membantu mempersiapkan bisnis sehingga tetap berfungsi setelah terjadinya bencana, tidak hanya bencana skala besar yang memilukan seperti bencana Tsunami kemarin atau bencana ‘musiman’ berupa banjir di Ibukota dan beberapa kota lainnya. Business Disaster Recovery juga mencakup penanggulangan terhadap interupsi bisnis yang ‘lebih kecil’ seperti tidak dapat berfungsinya suatu piranti lunak akibat terkena virus komputer.

Mengapa harus repot-repot melakukan mempersiapkan Business Disaster Recovery? Bila pembuka artikel ini dirasa belum cukup sebagai alasan, barangkali dapat Anda bayangkan situasi berikut. Jika gedung kantor Anda katakanlah hancur (semoga tidak terjadi), masih dapatkah untuk terus melayani klien dan melanjutkan bisnis? Dalam skala lebih kecil misalnya ada seseorang yang memegang posisi kunci tiba-tiba invalid sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, apakah ada orang lain yang bisa meneruskannya? Sedikit lebih luas, apakah kerusakan akan dianggap sebagai kegagalan pengendalian bisnis yang dapat meruntuhkan reputasi bisnis Anda?

Menghadapi situasi darurat (emergency response), pemulihan dari bencana (disaster recovery), pemulihan bisnis (business recovery), memulai bisnis kembali (business resumption), dan rencana alternatif (contingency plan), dan manajemen krisis (crisis management) merupakan esensi dari Business Disaster Recovery.

Dalam prakteknya Business Disaster Recovery harus mencakup bagaimana karyawan berkomunikasi, kemana mereka harus pergi, dan bagaimana mereka tetap bisa bekerja. Rinciannya dapat bervariasi, tergantung pada ukuran dan skala perusahaan serta bagaimana bisnis dijalankan. Untuk beberapa sektor usaha, supply chain logistic barangkali menjadi isu paling krusial dan menjadi fokus rencana. Sektor usaha lain yang bertumpu pada teknologi informasi barangkali harus berfokus pada system recovery. Prioritas dalam fokus ini tidak berarti bisa mengabaikan bidang lainnya, apalagi antar bidang selalu ada kaitannya sehingga bidang yang difokuskan tidak akan berfungsi tanpa adanya dukungan dari bidang lain.

Meskipun dalam Business Disaster Recovery ada bidang yang difokuskan, tetapi yang tidak bisa dilupakan bahwa urat nadi dari Business Disaster Recovery adalah komunikasi, terutama dalam kaitannya dalam aspek koordinasi. Koordinasi ini berlaku dari awal sampai akhir, dari penentuan skala prioritas, penentuan person in charge (PIC), sampai komunikasi pada karyawan baik sebelum maupun sesudah bencana.

Business Disaster Recovery dimulai dari analisis potensi dampak bencana dengan mengidentifikasi dan mengukur secara sistematis potensi tingkat kerusakan dari tiap scenario bencana. Langkah ini bermanfaat untuk membantu memahami potensial loss yang dapat terjadi baik secara finansial, reputasi, maupun imbas terhadap peraturan yang berlaku.

Dari analisis potensi dampak bencana ini juga akan diketahui kebutuhan bisnis yang diperlukan dan prioritasisasi untuk restorasi serta prediksi atas recovery time. Dengan mengetahui hasil ini selanjutnya dapat disusun strategi bagi recovery bencana. Termasuk di sini menentukan kecenderungan resiko mana yang lebih besar terjadi.

Strategi yang telah disusun bisa diturunkan ke dalam Business Continuity Plan. Kualitas rencana tidak ditentukan oleh kompleksitasnya karena kompleksitas justru sering memicu masalah baru, apalagi jika bencana itu besar skalanya. Karenanya prinsip dasar dari rencana yang berkualitas adalah : mudah dibuat, disesuaikan, dan dieksekusi.

Rencana ini harus dilengkapi dengan emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP). Prosedur ini harus mudah dimengerti dan dijalankan. Untuk memudahkan penyusunan rencana ini, paling tidak pendekatan formalnya dapat mengacu pada ISO 17799 yang merupakan standar keselamatan internasional.

Business Continuity Plan juga harus selalu diuji, dengan melakukan pengkajian ulang, ditelaah dan direvisi berdasarkan situasi terakhir. Langkah-langkah perlu dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan bisnis, teknologi maupun kemungkinan berubahnya sumber-sumber informasi yang sangat vital bagi usaha pemulihan.

Kekurangan yang sering terjadi dalam implementasi Business Disaster Recovery antara lain kurangnya perencanaan, latihan, dan dukungan dari top level. Latihan diperlukan tidak hanya pasif seperti simulasi di atas kertas atau sekedar role play, karena latihan akan meningkatkan respon dan menghindari terjadinya overlook.

Untuk mendapatkan dukungan pimpinan puncak, perlu diketengahkan resiko berupa potential loss secara finansial. Keputusan akan bertumpu kepada seberapa besarkah resiko mau ditanggung perusahaan dan seberapa banyak yang siap dibelanjakan untuk mitigasi resiko? Ada tarik ulur (trade off) antara biaya dan manfaat yang akan dijangkau. Perusahaan dengan skala lebih kecil cenderung lebih punya banyak opsi dan biaya yang tentu saja lebih murah dalam Business Disaster Recovery dibandingkan perusahaan yang lebih besar. Dalam back up data misalnya, perusahaan skala kecil bisa melakukannya secara lebih sederhana.

Pertanyaan kepada top level di atas juga dapat kita lontarkan kepada diri kita, seberapa besarkah perhatian yang kita berikan terhadap Business Disaster Recovery, setelah menyadari negeri kita ini ternyata rawan bencana?

* A. B Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di majalah EKSEKUTIF akhir januari 2005

Menguak Perusahaan Keluarga di Indonesia

Menyadari betapa minimnya literatur tentang perusahaan keluarga di Indonesia, penulis tergerak untuk menyempatkan diri menuangkan pengalaman selama lebih dari dua puluh tahun membantu beragam perusahaan keluarga ke dalam sebuah buku. Kendala berupa waktu konsultasi yang terentang dalam kurun lebih dari dua puluh tahun tersebut dijembatani dengan riset, sehingga informasi yang ada diperbaharui secara menyeluruh dalam satu kurun waktu yang bersamaan. Hasilnya, banyak temuan menarik dalam survei yang baru-baru ini dilakukan The Jakarta Consulting Group terhadap 87 perusahaan keluarga skala menengah ke atas yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Sengaja survey ini menyigi responden dari perusahaan keluarga skala menengah ke atas karena posisi mereka yang seringkali dijadikan model bagi perusahaan keluarga lainnya, baik yang skalanya lebih kecil maupun usianya lebih muda. Di antara responden ini, sekitar sepertiganya mempunyai pasar nasional dan seperlima lainnya bahkan sudah merambah pasar internasional.

Gambaran umum mengenai perkembangan perusahaan keluarga di Indonesia dimulai dari close-circle family atau immediate family. Mayoritas responden, yang diwakili lebih dari sepertiganya, menyatakan bahwa perusahaan keluarga tersebut pada mula pertamanya didirikan oleh single fighter. Selebihnya menggandeng mitra yang masih termasuk dalam close-circle family atau immediate family tadi, mulai dari suami/istri, saudara, sampai teman dekat. Kedekatan hubungan ini terutama terkait dengan aspek kepercayaan (trust) dan kesamaan visi. Tidak mengherankan jika di antara mitra ini, secara signifikan, pasangan hidup menempati urutan teratas.

Fenomena yang jamak dalam perusahaan keluarga adalah pendiri mempunyai fokus pada usaha keras agar perusahaan dapat berkembang dan bertahan. Pada perkembangan berikutnya, ketika perusahaan mulai tumbuh menjadi lebih besar dan kuat, generasi kedua dan extended family, termasuk saudara-saudara, keponakan dan cucu mulai masuk, bahkan menjadi the dynasty of family.

Survei di negara-negara yang lebih maju menunjukkan sebagian besar pendiri perusahaan keluarga tidak menginginkan keturunannya bekerja di perusahaan tersebut. Bahkan survei yang dilakukan di Inggris menyebutkan bahwa hampir sembilan puluh persen anggota keluarga pendiri (the founder’s family members) tidak mengharapkan bekerja di perusahaan keluarga tersebut dan hanya lima persen responden menginginkan bergabung dan mengharapkan langsung duduk dalam posisi manajerial. Sementara itu yang terjadi di Indonesia trendnya justru sebaliknya. Mayoritas pendiri mengatakan ingin agar anak-anak mereka masuk ke dalam perusahaan, dan respon dari anggota keluarga pun setali tiga uang, menginginkan bekerja di perusahaan tersebut. Temuan ini beralasan sekali, karena dengan tingkat pengangguran yang demikian tinggi peluang kerja di luar perusahaan keluarga harus diakui masih cukup sulit. Selain itu ikatan keluarga khas bangsa-bangsa timur memang relatif lebih kuat di banding di negara-negara barat.

Karakteristik di atas tidak jarang justru memunculkan permasalahan tersendiri. Terutama jika terjadi konflik nilai antara pendiri yang masih berperan sebagai motor penggerak bisnis utama dan anggota keluarga yang kemudian terlibat di dalam perusahaan. Mengingat generasi baru cenderung mempunyai pandangan berbeda karena umumnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya pun lebih tinggi. Meskipun demikian, konflik nilai dalam perusahaan keluarga bisa terjadi lebih dari itu, antara keluarga dan perusahaan, antara anggota keluarga, dan antara keluarga dan stakeholders yang lain. Biasanya konflik terjadi karena perbedaan nilai antara bisnis dan keluarga.

Nilai-nilai yang ditekankan dalam keluarga adalah inward looking, berdasarkan emosi, sharing, ‘lifelong membership’, dan keengganan untuk berubah. Sedangkan nilai-nilai yang ditekankan dalam bisnis adalah outward looking atau melihat keluar, berdasarkan tugas, tidak emosional, penghargaan berdasarkan prestasi, keanggotaan berdasarkan kinerja, dan mengacu pada perubahan. Untuk menyelaraskan kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis dapat dilakukan melalui matching process, penyelarasan (alignment) antara keinginan keluarga dan business requirements, dengan tujuan agar proses-proses yang ada dalam operasi perusahaan berjalan lancar. Dalam penyelarasan ini kunci utamanya terletak pada upaya menggandengkan company values dan family values.

Konflik yang terjadi selanjutnya adalah kesenjangan antargenerasi dan konflik minat antara keluarga dan bisnis. Untuk menghindari konflik ini, anggota keluarga perlu menetapkan peran, yaitu memutuskan siapa mengerjakan apa, dan jika peran-peran itu berubah, akan berdampak pada bisnis dan keluarga. Belajar dari krisis tahun 1997, perusahaan keluarga sudah mulai bangun kembali dengan adanya ekspansi, merger dan akusisi serta role of distribution. Misalnya anak pertama memegang manufacturing, anak kedua memegang logistik, anak ketiga memegang distribusi, anak keempat memegang marketing, dan seterusnya, sehingga akhirnya perusahaan menjadi besar dengan value chain yang menjadi satu.

Peran erat kaitannya dengan kompensasi yang harus mengokomodasi prinsip keadilan (fairness), baik menyangkut kompensasi bagi keluarga dan bukan keluarga maupun besar kecilnya nilai kompensasi itu sendiri. Prinsip keadilan juga harus diterapkan dalam distribusi pendapatan di antara anggota-anggota keluarga. Untuk yang terakhir ini, intinya adalah bagaimana membagi persentase keuntungan yang harus dikembalikan kepada perusahaan (untuk pengembangan perusahaan) dan bagaimana membagi pendapatan kepada keluarga. Kunci dari semua ini adalah komunikasi dan mengungkapkan isu secara terbuka dengan seluruh keluarga utamanya dan juga orang kunci di luar anggota keluarga. Kunci berikutnya adalah struktur manajemen, terutama terkait dengan penempatan anggota keluarga dalam struktur organisasi beserta kompetensi yang diperlukannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kesepakatan atas tipe kepemimpinan manakah yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang ada, apakah kepemimpinan ganda (multiple leadership) atau one man show leadership.

Berbicara tentang kepemimpinan dalam konteks perusahaan keluarga tentu tak luput dari suksesi. Suksesi merupakan isu yang paling krusial, terutama kalau kendali perusahaan sudah mulai bergerak ke arah generasi kedua, apalagi generasi ketiga. Isu-isu dalam suksesi antara lain adalah rencana suksesi yang tidak jelas dan konflik antara calon-calon pengganti. Kata kunci dalam suksesi adalah kapan perusahaan akan diwariskan dan kepada siapa. Secara implisit, komunikasi mutlak diperlukan di sini. Penunjukan putra mahkota misalnya, tidak akan efektif jika tidak dikomunikasikan sejak awal.

Di samping keluarga, eksistensi perusahaan keluarga juga ditentukan oleh stakeholders lain seperti customers, para karyawan, dan komunitas masyarakat. Euforia reformasi justru makin memberikan nuansa berupa pressure bagaimana perusahaan keluarga bisa dikelola secara fair agar kompetitif tanpa melupakan aspek tanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu, karyawan profesional yang qualified di bidangnya direkrut untuk mempromosikan akuntabilitas dalam manajemen, membuat keputusan berdasarkan penilaian bisnis murni, dan memperluas jaringan. Dengan makin banyaknya porsi profesional dalam perusahaan keluarga, pihak keluarga dapat memusatkan energi pada pengawasan yang menjamin keberlangsungan usaha. Hal ini mengingat betapa banyak perusahaan keluarga jatuh baru di tahap survival.

Setelah adanya perubahan ke arah yang lebih profesional, tentu perusahaan keluarga masih harus memastikan bahwa minat keluarga (family interests) terakomodasi. Transformasi itu sendiri juga tidak boleh berhenti di satu titik sukses, masih banyak hal yang harus diperhatikan karena banyaknya kebiasaan yang tak pernah mati (old habits never die). Jika kebiasaan sudah diubah tetapi kembali lagi, ada tendensi kebiasaan itu akan kembali lagi ke sistem, prosedur, dan kebiasaan yang lama. Memang yang paling sulit dalam melakukan perubahan adalah memastikan tidak kembali ke masa yang dulu lagi (refreezing period).

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group, Penulis buku “World class Family Business: Perusahaan keluarga Berkelas Dunia”.
** Dimuat di Majalah EKSEKUTIF akhir Desember 2004