Menguak Perusahaan Keluarga di Indonesia
Menyadari betapa minimnya literatur tentang perusahaan keluarga di Indonesia, penulis tergerak untuk menyempatkan diri menuangkan pengalaman selama lebih dari dua puluh tahun membantu beragam perusahaan keluarga ke dalam sebuah buku. Kendala berupa waktu konsultasi yang terentang dalam kurun lebih dari dua puluh tahun tersebut dijembatani dengan riset, sehingga informasi yang ada diperbaharui secara menyeluruh dalam satu kurun waktu yang bersamaan. Hasilnya, banyak temuan menarik dalam survei yang baru-baru ini dilakukan The Jakarta Consulting Group terhadap 87 perusahaan keluarga skala menengah ke atas yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Sengaja survey ini menyigi responden dari perusahaan keluarga skala menengah ke atas karena posisi mereka yang seringkali dijadikan model bagi perusahaan keluarga lainnya, baik yang skalanya lebih kecil maupun usianya lebih muda. Di antara responden ini, sekitar sepertiganya mempunyai pasar nasional dan seperlima lainnya bahkan sudah merambah pasar internasional.
Gambaran umum mengenai perkembangan perusahaan keluarga di Indonesia dimulai dari close-circle family atau immediate family. Mayoritas responden, yang diwakili lebih dari sepertiganya, menyatakan bahwa perusahaan keluarga tersebut pada mula pertamanya didirikan oleh single fighter. Selebihnya menggandeng mitra yang masih termasuk dalam close-circle family atau immediate family tadi, mulai dari suami/istri, saudara, sampai teman dekat. Kedekatan hubungan ini terutama terkait dengan aspek kepercayaan (trust) dan kesamaan visi. Tidak mengherankan jika di antara mitra ini, secara signifikan, pasangan hidup menempati urutan teratas.
Fenomena yang jamak dalam perusahaan keluarga adalah pendiri mempunyai fokus pada usaha keras agar perusahaan dapat berkembang dan bertahan. Pada perkembangan berikutnya, ketika perusahaan mulai tumbuh menjadi lebih besar dan kuat, generasi kedua dan extended family, termasuk saudara-saudara, keponakan dan cucu mulai masuk, bahkan menjadi the dynasty of family.
Survei di negara-negara yang lebih maju menunjukkan sebagian besar pendiri perusahaan keluarga tidak menginginkan keturunannya bekerja di perusahaan tersebut. Bahkan survei yang dilakukan di Inggris menyebutkan bahwa hampir sembilan puluh persen anggota keluarga pendiri (the founder’s family members) tidak mengharapkan bekerja di perusahaan keluarga tersebut dan hanya lima persen responden menginginkan bergabung dan mengharapkan langsung duduk dalam posisi manajerial. Sementara itu yang terjadi di Indonesia trendnya justru sebaliknya. Mayoritas pendiri mengatakan ingin agar anak-anak mereka masuk ke dalam perusahaan, dan respon dari anggota keluarga pun setali tiga uang, menginginkan bekerja di perusahaan tersebut. Temuan ini beralasan sekali, karena dengan tingkat pengangguran yang demikian tinggi peluang kerja di luar perusahaan keluarga harus diakui masih cukup sulit. Selain itu ikatan keluarga khas bangsa-bangsa timur memang relatif lebih kuat di banding di negara-negara barat.
Karakteristik di atas tidak jarang justru memunculkan permasalahan tersendiri. Terutama jika terjadi konflik nilai antara pendiri yang masih berperan sebagai motor penggerak bisnis utama dan anggota keluarga yang kemudian terlibat di dalam perusahaan. Mengingat generasi baru cenderung mempunyai pandangan berbeda karena umumnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya pun lebih tinggi. Meskipun demikian, konflik nilai dalam perusahaan keluarga bisa terjadi lebih dari itu, antara keluarga dan perusahaan, antara anggota keluarga, dan antara keluarga dan stakeholders yang lain. Biasanya konflik terjadi karena perbedaan nilai antara bisnis dan keluarga.
Nilai-nilai yang ditekankan dalam keluarga adalah inward looking, berdasarkan emosi, sharing, ‘lifelong membership’, dan keengganan untuk berubah. Sedangkan nilai-nilai yang ditekankan dalam bisnis adalah outward looking atau melihat keluar, berdasarkan tugas, tidak emosional, penghargaan berdasarkan prestasi, keanggotaan berdasarkan kinerja, dan mengacu pada perubahan. Untuk menyelaraskan kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis dapat dilakukan melalui matching process, penyelarasan (alignment) antara keinginan keluarga dan business requirements, dengan tujuan agar proses-proses yang ada dalam operasi perusahaan berjalan lancar. Dalam penyelarasan ini kunci utamanya terletak pada upaya menggandengkan company values dan family values.
Konflik yang terjadi selanjutnya adalah kesenjangan antargenerasi dan konflik minat antara keluarga dan bisnis. Untuk menghindari konflik ini, anggota keluarga perlu menetapkan peran, yaitu memutuskan siapa mengerjakan apa, dan jika peran-peran itu berubah, akan berdampak pada bisnis dan keluarga. Belajar dari krisis tahun 1997, perusahaan keluarga sudah mulai bangun kembali dengan adanya ekspansi, merger dan akusisi serta role of distribution. Misalnya anak pertama memegang manufacturing, anak kedua memegang logistik, anak ketiga memegang distribusi, anak keempat memegang marketing, dan seterusnya, sehingga akhirnya perusahaan menjadi besar dengan value chain yang menjadi satu.
Peran erat kaitannya dengan kompensasi yang harus mengokomodasi prinsip keadilan (fairness), baik menyangkut kompensasi bagi keluarga dan bukan keluarga maupun besar kecilnya nilai kompensasi itu sendiri. Prinsip keadilan juga harus diterapkan dalam distribusi pendapatan di antara anggota-anggota keluarga. Untuk yang terakhir ini, intinya adalah bagaimana membagi persentase keuntungan yang harus dikembalikan kepada perusahaan (untuk pengembangan perusahaan) dan bagaimana membagi pendapatan kepada keluarga. Kunci dari semua ini adalah komunikasi dan mengungkapkan isu secara terbuka dengan seluruh keluarga utamanya dan juga orang kunci di luar anggota keluarga. Kunci berikutnya adalah struktur manajemen, terutama terkait dengan penempatan anggota keluarga dalam struktur organisasi beserta kompetensi yang diperlukannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kesepakatan atas tipe kepemimpinan manakah yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang ada, apakah kepemimpinan ganda (multiple leadership) atau one man show leadership.
Berbicara tentang kepemimpinan dalam konteks perusahaan keluarga tentu tak luput dari suksesi. Suksesi merupakan isu yang paling krusial, terutama kalau kendali perusahaan sudah mulai bergerak ke arah generasi kedua, apalagi generasi ketiga. Isu-isu dalam suksesi antara lain adalah rencana suksesi yang tidak jelas dan konflik antara calon-calon pengganti. Kata kunci dalam suksesi adalah kapan perusahaan akan diwariskan dan kepada siapa. Secara implisit, komunikasi mutlak diperlukan di sini. Penunjukan putra mahkota misalnya, tidak akan efektif jika tidak dikomunikasikan sejak awal.
Di samping keluarga, eksistensi perusahaan keluarga juga ditentukan oleh stakeholders lain seperti customers, para karyawan, dan komunitas masyarakat. Euforia reformasi justru makin memberikan nuansa berupa pressure bagaimana perusahaan keluarga bisa dikelola secara fair agar kompetitif tanpa melupakan aspek tanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu, karyawan profesional yang qualified di bidangnya direkrut untuk mempromosikan akuntabilitas dalam manajemen, membuat keputusan berdasarkan penilaian bisnis murni, dan memperluas jaringan. Dengan makin banyaknya porsi profesional dalam perusahaan keluarga, pihak keluarga dapat memusatkan energi pada pengawasan yang menjamin keberlangsungan usaha. Hal ini mengingat betapa banyak perusahaan keluarga jatuh baru di tahap survival.
Setelah adanya perubahan ke arah yang lebih profesional, tentu perusahaan keluarga masih harus memastikan bahwa minat keluarga (family interests) terakomodasi. Transformasi itu sendiri juga tidak boleh berhenti di satu titik sukses, masih banyak hal yang harus diperhatikan karena banyaknya kebiasaan yang tak pernah mati (old habits never die). Jika kebiasaan sudah diubah tetapi kembali lagi, ada tendensi kebiasaan itu akan kembali lagi ke sistem, prosedur, dan kebiasaan yang lama. Memang yang paling sulit dalam melakukan perubahan adalah memastikan tidak kembali ke masa yang dulu lagi (refreezing period).
*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group, Penulis buku “World class Family Business: Perusahaan keluarga Berkelas Dunia”.
** Dimuat di Majalah EKSEKUTIF akhir Desember 2004
Gambaran umum mengenai perkembangan perusahaan keluarga di Indonesia dimulai dari close-circle family atau immediate family. Mayoritas responden, yang diwakili lebih dari sepertiganya, menyatakan bahwa perusahaan keluarga tersebut pada mula pertamanya didirikan oleh single fighter. Selebihnya menggandeng mitra yang masih termasuk dalam close-circle family atau immediate family tadi, mulai dari suami/istri, saudara, sampai teman dekat. Kedekatan hubungan ini terutama terkait dengan aspek kepercayaan (trust) dan kesamaan visi. Tidak mengherankan jika di antara mitra ini, secara signifikan, pasangan hidup menempati urutan teratas.
Fenomena yang jamak dalam perusahaan keluarga adalah pendiri mempunyai fokus pada usaha keras agar perusahaan dapat berkembang dan bertahan. Pada perkembangan berikutnya, ketika perusahaan mulai tumbuh menjadi lebih besar dan kuat, generasi kedua dan extended family, termasuk saudara-saudara, keponakan dan cucu mulai masuk, bahkan menjadi the dynasty of family.
Survei di negara-negara yang lebih maju menunjukkan sebagian besar pendiri perusahaan keluarga tidak menginginkan keturunannya bekerja di perusahaan tersebut. Bahkan survei yang dilakukan di Inggris menyebutkan bahwa hampir sembilan puluh persen anggota keluarga pendiri (the founder’s family members) tidak mengharapkan bekerja di perusahaan keluarga tersebut dan hanya lima persen responden menginginkan bergabung dan mengharapkan langsung duduk dalam posisi manajerial. Sementara itu yang terjadi di Indonesia trendnya justru sebaliknya. Mayoritas pendiri mengatakan ingin agar anak-anak mereka masuk ke dalam perusahaan, dan respon dari anggota keluarga pun setali tiga uang, menginginkan bekerja di perusahaan tersebut. Temuan ini beralasan sekali, karena dengan tingkat pengangguran yang demikian tinggi peluang kerja di luar perusahaan keluarga harus diakui masih cukup sulit. Selain itu ikatan keluarga khas bangsa-bangsa timur memang relatif lebih kuat di banding di negara-negara barat.
Karakteristik di atas tidak jarang justru memunculkan permasalahan tersendiri. Terutama jika terjadi konflik nilai antara pendiri yang masih berperan sebagai motor penggerak bisnis utama dan anggota keluarga yang kemudian terlibat di dalam perusahaan. Mengingat generasi baru cenderung mempunyai pandangan berbeda karena umumnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya pun lebih tinggi. Meskipun demikian, konflik nilai dalam perusahaan keluarga bisa terjadi lebih dari itu, antara keluarga dan perusahaan, antara anggota keluarga, dan antara keluarga dan stakeholders yang lain. Biasanya konflik terjadi karena perbedaan nilai antara bisnis dan keluarga.
Nilai-nilai yang ditekankan dalam keluarga adalah inward looking, berdasarkan emosi, sharing, ‘lifelong membership’, dan keengganan untuk berubah. Sedangkan nilai-nilai yang ditekankan dalam bisnis adalah outward looking atau melihat keluar, berdasarkan tugas, tidak emosional, penghargaan berdasarkan prestasi, keanggotaan berdasarkan kinerja, dan mengacu pada perubahan. Untuk menyelaraskan kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis dapat dilakukan melalui matching process, penyelarasan (alignment) antara keinginan keluarga dan business requirements, dengan tujuan agar proses-proses yang ada dalam operasi perusahaan berjalan lancar. Dalam penyelarasan ini kunci utamanya terletak pada upaya menggandengkan company values dan family values.
Konflik yang terjadi selanjutnya adalah kesenjangan antargenerasi dan konflik minat antara keluarga dan bisnis. Untuk menghindari konflik ini, anggota keluarga perlu menetapkan peran, yaitu memutuskan siapa mengerjakan apa, dan jika peran-peran itu berubah, akan berdampak pada bisnis dan keluarga. Belajar dari krisis tahun 1997, perusahaan keluarga sudah mulai bangun kembali dengan adanya ekspansi, merger dan akusisi serta role of distribution. Misalnya anak pertama memegang manufacturing, anak kedua memegang logistik, anak ketiga memegang distribusi, anak keempat memegang marketing, dan seterusnya, sehingga akhirnya perusahaan menjadi besar dengan value chain yang menjadi satu.
Peran erat kaitannya dengan kompensasi yang harus mengokomodasi prinsip keadilan (fairness), baik menyangkut kompensasi bagi keluarga dan bukan keluarga maupun besar kecilnya nilai kompensasi itu sendiri. Prinsip keadilan juga harus diterapkan dalam distribusi pendapatan di antara anggota-anggota keluarga. Untuk yang terakhir ini, intinya adalah bagaimana membagi persentase keuntungan yang harus dikembalikan kepada perusahaan (untuk pengembangan perusahaan) dan bagaimana membagi pendapatan kepada keluarga. Kunci dari semua ini adalah komunikasi dan mengungkapkan isu secara terbuka dengan seluruh keluarga utamanya dan juga orang kunci di luar anggota keluarga. Kunci berikutnya adalah struktur manajemen, terutama terkait dengan penempatan anggota keluarga dalam struktur organisasi beserta kompetensi yang diperlukannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kesepakatan atas tipe kepemimpinan manakah yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang ada, apakah kepemimpinan ganda (multiple leadership) atau one man show leadership.
Berbicara tentang kepemimpinan dalam konteks perusahaan keluarga tentu tak luput dari suksesi. Suksesi merupakan isu yang paling krusial, terutama kalau kendali perusahaan sudah mulai bergerak ke arah generasi kedua, apalagi generasi ketiga. Isu-isu dalam suksesi antara lain adalah rencana suksesi yang tidak jelas dan konflik antara calon-calon pengganti. Kata kunci dalam suksesi adalah kapan perusahaan akan diwariskan dan kepada siapa. Secara implisit, komunikasi mutlak diperlukan di sini. Penunjukan putra mahkota misalnya, tidak akan efektif jika tidak dikomunikasikan sejak awal.
Di samping keluarga, eksistensi perusahaan keluarga juga ditentukan oleh stakeholders lain seperti customers, para karyawan, dan komunitas masyarakat. Euforia reformasi justru makin memberikan nuansa berupa pressure bagaimana perusahaan keluarga bisa dikelola secara fair agar kompetitif tanpa melupakan aspek tanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu, karyawan profesional yang qualified di bidangnya direkrut untuk mempromosikan akuntabilitas dalam manajemen, membuat keputusan berdasarkan penilaian bisnis murni, dan memperluas jaringan. Dengan makin banyaknya porsi profesional dalam perusahaan keluarga, pihak keluarga dapat memusatkan energi pada pengawasan yang menjamin keberlangsungan usaha. Hal ini mengingat betapa banyak perusahaan keluarga jatuh baru di tahap survival.
Setelah adanya perubahan ke arah yang lebih profesional, tentu perusahaan keluarga masih harus memastikan bahwa minat keluarga (family interests) terakomodasi. Transformasi itu sendiri juga tidak boleh berhenti di satu titik sukses, masih banyak hal yang harus diperhatikan karena banyaknya kebiasaan yang tak pernah mati (old habits never die). Jika kebiasaan sudah diubah tetapi kembali lagi, ada tendensi kebiasaan itu akan kembali lagi ke sistem, prosedur, dan kebiasaan yang lama. Memang yang paling sulit dalam melakukan perubahan adalah memastikan tidak kembali ke masa yang dulu lagi (refreezing period).
*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group, Penulis buku “World class Family Business: Perusahaan keluarga Berkelas Dunia”.
** Dimuat di Majalah EKSEKUTIF akhir Desember 2004
3 Comments:
At 5:35 PM, Hendry Kurniawan said…
Posting Anda sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi dan bahan tulisan, kebetulan saya sedang dalam proses pembuatan makalah tentang perusahaan keluarga di Indonesia. Tulisan Anda membantu saya. Terima kasih.
At 9:27 PM, Anonymous said…
setelah membaca tulisan anda..,saya merasa sangat termotifasi. kebetulan saya mempunyai bisnis keluarga di bidang kuliner, dan saya mengembangkanya melalui sistem kemitraan ( bukan franchaise ). usaha keluarga saya tergolong usaha kecil, tapi saya ingin sekali menjadikanya besar. Bisakah anda mau berbagi informasi mengenai strategi jitu yang dapat saya realisasikan dalam usaha saya tersebut...? mohon bantuanya. terimakasih.
At 8:53 PM, Soal - Soal SNMPTN | SNMPTN 2011 | Soal - Soal SNMPTN 2011 said…
wah......sangat bagus, untuk yang mau berbisnis....
Post a Comment
<< Home