Perceived Leadership
Style perilaku manajerial merupakan salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan implementasi perubahan budaya organisasi. Pemimpin yang sukses sendirian merubah budaya organisasi adalah mitos lama, karena sesungguhnya untuk itu diperlukan dukungan banyak pihak. Dengan demikian wajar jika gaya partisipatif banyak direkomendasikan karena setiap orang akan mempunyai komitmen yang tinggi dalam implementasi perubahan ini. Agar gaya partisipatif ini dapat tumbuh dan berkembang, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu prasyarat utamanya adalah kepemimpinan yang dapat diterima dan dirasakan dengan baik oleh para bawahan sehingga memungkinkan mereka bisa beradaptasi terhadap perubahan.
Perlu diingat bahwa esensi kepemimpinan adalah suatu hubungan social yang intinya bagaimana seseorang mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Mempengaruhi (influencing) dapat dikategorikan ke dalam enam kategori yaitu assertiveness, bargaining, koalisi, friendliness, otoritas yang lebih tinggi, dan reasoning.
Terdapat beragam strategi yang dapat dipilih untuk ‘mempengaruhi’. Pilihan strategis ini dipengaruhi oleh beragam faktor, terutama karakteristik khalayak sasaran, kualitas hubungan yang menjembataninya, serta tujuan yang hendak dicapai. Khalayak sasaran sangat beragam, misalnya atasan, rekan sejawat, maupun bawahan.
Jika sasaran yang ingin dipengaruhi adalah atasan, maka karakteristik kepemimpinan atasan harus benar-benar dimengerti. Bahwa atasan dalam derajat tertentu bisa menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, bukanlah hal yang aneh. Misumi membingkai peran pemimpin dengan sumbu Performance (P) dan sumbu Maintenance (M). Dimensi P diarahkan untuk pencapaian tujuan dan penyelesaian masalah, dengan visi dan misinya. Di lain pihak, dimensi M berorientasi pada pemeliharaan keutuhan dan identitas tim. Dengan bingkai ini kepemimpinan atasan bisa dipetakan ke dalam kuadran PM dimana kedua dimensi memiliki nilai yang tinggi, kombinasi Pm dan pM, ataupun pm yang masing-masing dimensi memiliki nilai rendah.
Kepemimpinan mempunyai kaitan langsung dengan persepsi dari efficacy organisasi. Dengan kata lain, bagaimana pemimpin bertindak akan mempengaruhi persepsi keseluruhan tentang bagaimana organisasi yang menaunginya akan berkembang. Hal ini perlu diingat para pemimpin, karena mereka sendiri barangkali tidak sadar bahwa perilaku mereka mempengaruhi bawahannya. Bagi bawahan, kepemimpinan dirasakan dalam bentuk kharisma, inspirasi, motivasi, dorongan intelektual, maupun kesadaran personal. Hubungan antara bawahan dan pemimpin mengikat mereka ke dalam hubungan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Berdasarkan pengalaman atas hubungan itu, bawahan mengidentifikasi pemimpinnya dan menentukan peran yang akan diambilnya.
Efektivitas kepemimpinan yang dirasakan bawahan berhubungan dengan kualitas hubungannya dengan pemimpinnya. Padahal kualitas hubungan ini akan mentransformasikan nilai-nilai, sikap, dan motif menjadi bangunan yang kongruen. Kongruensi ini bisa berupa bawahan yang menyetujui nilai-nilai dan tujuan yang ditawarkan pemimpinnya, dan bisa diartikan berangkat dari nilai-nilai dan tujuan berbeda tetapi menuju muara yang sama.
Masing-masing kongruensi ini menimbulkan kepuasan pada pemimpin. Kepuasan pada pemimpin itu sendiri sangat mempengaruhi komitmen yang tercermin dalam tingkat kinerja dan kepuasan kerja, yang akan berujung pada rasa memiliki dan kemauan untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan. Tingkat dimana pemimpin mampu menggerakkan bawahan untuk memandang kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadinya. Tingkatan ini dicapai jika dapat melewati dua tahapan sebelumnya: tahapan inisiasi dan transaksi respek dan kepercayaan. Kegagalan tahap inisiasi akan menempatkan masing-masing sebagai bukan kelompoknya.
Sebaliknya, jika perceived leadership masih menjadi masalah, maka perlu dilakukan analisis kebutuhan yang melibatkan para pemimpin kunci dan dibangun pendekatan atas kepemimpinan dan pengembangan kinerja terpadu. Hal di atas mencakup penyusunan kriteria yang terkait dengan visi dan nilai-nilai organisasi. Desain dan implementasi serangkaian workshop bagi para pemimpin kunci dalam perusahaan akan membantu mengkomunikasikan visi organisasi, sekaligus membantu para pemimpin untuk mengidentifikasi gap yang ada. Selain itu perlu disusun model multi fungsi berbasis kompetensi dan profil kemampuan teknis beserta modul pengembangannya.
Untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan metode yang paling sering dipakai adalah dengan mengidentifikasi dan memfokuskan perbaikan pada area di mana titik terlemah ditemui. Namun, hasil penelitian dari Zenger dan Folkman menunjukkan hal yang berbeda. Cara ini memang akan menghasilkan perbaikan untuk area tersebut tetapi tidak bisa menciptakan pemimpin yang besar. Justru Zenger dan Folkman menyatakan dengan berfokus untuk mengembangkan kekuatannya, bukan perbaikan titik terlemah, akan lebih efektif. Logikanya, dengan mengidentifikasi dan memfokuskan pada kompetensi pemimpin yang sudah cukup bagus, perbaikan sedikit saja akan membawa dampak yang lebih dramatis dalam peningkatan efektivitas kepemimpinannya. Sehingga hasilnya bukan lagi pemimpin yang bagus belaka, tapi pemimpin yang besar.
Dengan dibangunnya sistem di atas sekaligus akan didapat perangkat yang bisa dipakai untuk menyeleksi, mengembangkan penilaian dan me-manage kinerja, dan dalam kesempatan yang sama ekspektasi karyawan juga menjadi lebih terukur.
* A. B. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian BISNIS INDONESIA awal April 2004
Perlu diingat bahwa esensi kepemimpinan adalah suatu hubungan social yang intinya bagaimana seseorang mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Mempengaruhi (influencing) dapat dikategorikan ke dalam enam kategori yaitu assertiveness, bargaining, koalisi, friendliness, otoritas yang lebih tinggi, dan reasoning.
Terdapat beragam strategi yang dapat dipilih untuk ‘mempengaruhi’. Pilihan strategis ini dipengaruhi oleh beragam faktor, terutama karakteristik khalayak sasaran, kualitas hubungan yang menjembataninya, serta tujuan yang hendak dicapai. Khalayak sasaran sangat beragam, misalnya atasan, rekan sejawat, maupun bawahan.
Jika sasaran yang ingin dipengaruhi adalah atasan, maka karakteristik kepemimpinan atasan harus benar-benar dimengerti. Bahwa atasan dalam derajat tertentu bisa menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, bukanlah hal yang aneh. Misumi membingkai peran pemimpin dengan sumbu Performance (P) dan sumbu Maintenance (M). Dimensi P diarahkan untuk pencapaian tujuan dan penyelesaian masalah, dengan visi dan misinya. Di lain pihak, dimensi M berorientasi pada pemeliharaan keutuhan dan identitas tim. Dengan bingkai ini kepemimpinan atasan bisa dipetakan ke dalam kuadran PM dimana kedua dimensi memiliki nilai yang tinggi, kombinasi Pm dan pM, ataupun pm yang masing-masing dimensi memiliki nilai rendah.
Kepemimpinan mempunyai kaitan langsung dengan persepsi dari efficacy organisasi. Dengan kata lain, bagaimana pemimpin bertindak akan mempengaruhi persepsi keseluruhan tentang bagaimana organisasi yang menaunginya akan berkembang. Hal ini perlu diingat para pemimpin, karena mereka sendiri barangkali tidak sadar bahwa perilaku mereka mempengaruhi bawahannya. Bagi bawahan, kepemimpinan dirasakan dalam bentuk kharisma, inspirasi, motivasi, dorongan intelektual, maupun kesadaran personal. Hubungan antara bawahan dan pemimpin mengikat mereka ke dalam hubungan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Berdasarkan pengalaman atas hubungan itu, bawahan mengidentifikasi pemimpinnya dan menentukan peran yang akan diambilnya.
Efektivitas kepemimpinan yang dirasakan bawahan berhubungan dengan kualitas hubungannya dengan pemimpinnya. Padahal kualitas hubungan ini akan mentransformasikan nilai-nilai, sikap, dan motif menjadi bangunan yang kongruen. Kongruensi ini bisa berupa bawahan yang menyetujui nilai-nilai dan tujuan yang ditawarkan pemimpinnya, dan bisa diartikan berangkat dari nilai-nilai dan tujuan berbeda tetapi menuju muara yang sama.
Masing-masing kongruensi ini menimbulkan kepuasan pada pemimpin. Kepuasan pada pemimpin itu sendiri sangat mempengaruhi komitmen yang tercermin dalam tingkat kinerja dan kepuasan kerja, yang akan berujung pada rasa memiliki dan kemauan untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan. Tingkat dimana pemimpin mampu menggerakkan bawahan untuk memandang kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadinya. Tingkatan ini dicapai jika dapat melewati dua tahapan sebelumnya: tahapan inisiasi dan transaksi respek dan kepercayaan. Kegagalan tahap inisiasi akan menempatkan masing-masing sebagai bukan kelompoknya.
Sebaliknya, jika perceived leadership masih menjadi masalah, maka perlu dilakukan analisis kebutuhan yang melibatkan para pemimpin kunci dan dibangun pendekatan atas kepemimpinan dan pengembangan kinerja terpadu. Hal di atas mencakup penyusunan kriteria yang terkait dengan visi dan nilai-nilai organisasi. Desain dan implementasi serangkaian workshop bagi para pemimpin kunci dalam perusahaan akan membantu mengkomunikasikan visi organisasi, sekaligus membantu para pemimpin untuk mengidentifikasi gap yang ada. Selain itu perlu disusun model multi fungsi berbasis kompetensi dan profil kemampuan teknis beserta modul pengembangannya.
Untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan metode yang paling sering dipakai adalah dengan mengidentifikasi dan memfokuskan perbaikan pada area di mana titik terlemah ditemui. Namun, hasil penelitian dari Zenger dan Folkman menunjukkan hal yang berbeda. Cara ini memang akan menghasilkan perbaikan untuk area tersebut tetapi tidak bisa menciptakan pemimpin yang besar. Justru Zenger dan Folkman menyatakan dengan berfokus untuk mengembangkan kekuatannya, bukan perbaikan titik terlemah, akan lebih efektif. Logikanya, dengan mengidentifikasi dan memfokuskan pada kompetensi pemimpin yang sudah cukup bagus, perbaikan sedikit saja akan membawa dampak yang lebih dramatis dalam peningkatan efektivitas kepemimpinannya. Sehingga hasilnya bukan lagi pemimpin yang bagus belaka, tapi pemimpin yang besar.
Dengan dibangunnya sistem di atas sekaligus akan didapat perangkat yang bisa dipakai untuk menyeleksi, mengembangkan penilaian dan me-manage kinerja, dan dalam kesempatan yang sama ekspektasi karyawan juga menjadi lebih terukur.
* A. B. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian BISNIS INDONESIA awal April 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home