Strategi Bisnis

"Dalang", mengurai dari balik tabir....

Friday, July 01, 2005

Ketika Perusahaan di Tubir Jurang

KETIKA PERUSAHAAN DI TUBIR JURANG*
A.B. Susanto**

Belakangan ini, tidak sedikit pengusaha yang mengeluhkan kodisi perekonomian yang mengancam bagi kelangsungan usahanya. Bahkan dalam skala yang lebih luas, sinyalemen mengarah pada sandyakalaning industri (sunset industry). Orang boleh menyalahkan krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa ini sebagai biang masalahnya, tapi mencari kambing hitam saja tidak lantas menyelesaikan masalah. Untuk itu diperlukan langkah kongkret dan terencana.

Dalam mengatasi krisis, diperlukan orientasi strategi dan perencanaan tindakan yang terarah dan mencakup aspek-aspek manajerial dan operasional secara bersamaan. Orientasi berpikirnya pun mesti dipilah berdasarkan periodenya : periode survival dan periode masa pasca survival.

Periode survival merupakan periode ‘bagaimana menyelamatkan perusahaan’ yang boleh dikatakan sebagai mission impossible. Sementara periode berikutnya, pada masa pasca survival adalah periode bagaimana pengelolaan pada masa awal pasca-krisis. Tentunya untuk melakukan refocusing terhadap rencana dan tindakan selanjutnya. Periode ini berfokus kepada pencapaian sukses jangka panjang, yaitu penyesuaian kembali strategi jangka panjang perusahaan. Tujuannya agar dalam menyiasati krisis tidak akan mengabaikan kesinambungan jangka panjang.

Krisis adalah perubahan. Karenanya, kemampuan perusahaan untuk menghadapi perubahan dan melakukan adaptasi merupakan kunci utama. Tantangan dalam menyiasati krisis adalah “kecepatan” dan “kejelian” dalam melakukan prediksi dan antisipasi. Bukankah situasi krisis tidak mentoleransi keterlambatan dan kesalahan analisa dalam bentuk apapun?

Terdapat tiga pedoman penyelamatan perusahaan yang dapat diandaikan sebagai tiga anak tangga. Anak tangga pertama berupa optimalisasi terhadap efektivitas dan efisiensi untuk memperoleh nilai biaya terendah yang paling mungkin dicapai. Semangatnya adalah zero waste, dengan asumsi bahwa setiap sumber daya adalah langka (scarce) sehingga harus dimanfaatkan semaksimal dan seefisien mungkin. Tentu saja diperlukan pengendalian sumber daya yang ekstra ketat, terutama sumber daya finansial.

Anak tangga kedua dalam penyelamatan ini membutuhkan kreativitas dan inovasi SDM dalam melakukan reformasi internal secara menyeluruh. Bukan hanya dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi, tetapi juga dalam rangka memperoleh ide-ide praktis yang dapat diimplementasikan sesegera mungkin.

Anak tangga penyelamatan ketiga meminta komitmen untuk dapat memenangkan “perang” melawan krisis dan meneruskan percaturan bisnis dalam pola kompetisi yang lebih mantap. Dibutuhkan redefinisi terhadap hal-hal strategis, seperti misalnya strategi kompetisi, kebijakan “STP” (segmentasi-targeting-positioning), maupun kemungkinan untuk melakukan suatu aliansi dengan tujuan memperoleh kekuatan baru dalam waktu yang cepat.

Dalam menapaki tangga penyelamatan ini, sumber daya manusia sebagai brainpower perusahaan memainkan peran sebagai inti kekuatan. SDM dalam masa krisis harus mau dan mampu mengeluarkan semua kemampuan intelektualitas mereka secara terpadu, dalam artian tidak menyimpang dari kebutuhan utama perusahaan dan terintegrasi dalam setiap aktivitas yang telah ditentukan. Mereka perlu dipersiapkan secara cepat dan taktis untuk menghadapi tantangan yang akan dihadapi, sekarang dan di masa mendatang.

Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa lingkaran inti (inner circle) dan lingkaran luar (outer circle) yang memberikan kontribusi baik melalui aktivitas strategis maupun operasional perusahaan harus direngkuh semuanya. Dengan demikian, manajemen level atas, menengah, lini pertama serta level operasional dapat menyelaraskan gerakan penyelamatan secara terpadu dan sistematis. Tentu saja akan lebih mudah direalisasikan jika kaderisasi SDM dan sistem pengembangannya telah terlaksana dengan baik. Sebaliknya, jika proses pengelolaan SDM belum tersistemasi dengan baik, maka dikhawatirkan terjadinya inner court syndrome. Yaitu adanya perkembangan peran para pemikir perusahaan dalam konteks yang tidak proporsional. Sindrom ini terjadi jika para pemimpin terlalu banyak merangkap tugas sebagai pelaksana, sehingga melunturkan orientasi strategis ke arah aspek-aspek operasional saja, yang justru dapat menyesatkan perusahaan.

Dalam menghadapi situasi tidak menentu dengan tingkat resiko variatif, setiap SDM, dari level manapun juga harus mampu dan mau berperan sebagai pendukung proses penyelamatan (proponent) yang telah digariskan dalam kebijakan perusahaan. Selain itu, sekaligus berperan sebagai suggestive opponent dalam memberikan masukan bagi perbaikan perusahaan.

Peran suggestive opponent tidak berarti memposisikan diri sebagai “lawan” yang ingin memenangkan kelompok sendiri atau penentang yang tidak ingin berpartisipasi dalam proses penyelamatan karena takut menerima tanggung jawab yang lebih besar. Yang diharapkan adalah pemberi masukan yang memiliki integritas diri dalam artian berani memberikan peringatan secara positif kepada perusahaan melalui sistem, struktur dan kewenangan yang berlaku, jika melihat adanya kelemahan dari keputusan perusahaan, yang diperkirakan dapat membawa dampak negatif jika terus dilaksanakan.

Nyata bahwa kondisi krisis memberikan tantangan yang tak terelakkan bagi perusahaan untuk membentuk SDM yang tough, terutama dari sisi kesiapan dan kecepatan gerak, baik dalam sudut pandang kontemporer maupun visioner. Selain itu, diperlukan pula pemantapan ketekunan demi kontinuitas usaha. Ketekunan yang dilandasi oleh kemampuan analisa yang komprehensif serta digerakkan oleh keyakinan atas peran. Bahwa menghadapi krisis tidak berarti di ambang kehancuran, tetapi berada di arena transisi yang merupakan tantangan untuk maju. Oleh karena itu, diperlukan role model positif dari para pemimpin terutama untuk mereformasi etos kerja, upaya menghidupkan dan menyebarkan visi optimis berbasis logika bisnis yang rasional. Dengan demikian anak buah mereka memiliki kesiapan mental lebih besar untuk bekerja dalam arena yang memiliki level resiko yang lebih signifikan.

Kondisi krisis menuntut peran “lebih”, terutama dari para pemimpin. Pemimpin disini tidak hanya berarti pemimpin di level manajemen atas saja, tetapi juga pemimpin-pemimpin di level departemen, divisi atau kelompok kerja. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian utama adalah speed, priority dan flexibility. Kecepatan tindakan amat penting dalam menghadapi krisis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kecepatan merupakan satu-satunya tolok ukur untuk menentukan keputusan. Kecepatan tindakan harus didahului oleh ketepatan pemilihan alternatif tindakan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, aspek kecepatan ini perlu didukung oleh kejelian dalam menentukan derajat kepentingan, kebutuhan dan tugas-tugas perusahaan untuk upaya-upaya penyelamatan. Fleksibilitas hingga derajat tertentu dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan perusahaan. Hal ini dikarenakan kondisi krisis biasanya menimbulkan beragam problem sampingan dan efek berantainya kadang tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Untuk itu, upaya untuk menentukan perencanaan dan strategi, perlu dilaksanakan dengan ketrampilan seorang “sutradara” dengan jiwa inovatifnya, terutama ketajaman analisa agar mampu menyusun alternatif-alternatif skenario penyelamatan.

Diharapkan, dengan memiliki kerangka dan sistematika rencana, strategi dan arahan yang jelas, upaya penyelamatan perusahaan tidak terhenti karena adanya hambatan-hambatan baru serta mampu memberikan lampu hijau bagi kelanjutan eksistensi dan kontribusi perusahaan di masa mendatang.

*Dimuat di majalah Eksekutif akhir Maret 2003
** Managing Partner The Jakarta Consulting Group

0 Comments:

Post a Comment

<< Home