Mengukur Reputasi Perusahaan
Belakangan ini makin banyak perusahaan di Indonesia bergiat dalam mengelola reputasinya. Tidak bisa dipungkiri, apa yang terjadi dengan Enron, Arthur Andersen, Merrill Lynch, General Electric dan WorldCom menjadi pemicu yang mendatangkan hikmah akan pentingnya mengelola reputasi perusahaan.
Hanya saja, ada beberapa catatan penulis menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal. Akibatnya, perusahaan terjebak dalam perspektif yang menyesatkan. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk dapat mengelola reputasi dengan baik dan benar?
Dalam hal ini ada adagium yang menyatakan bahwa “You can’t manage what you can’t measure”. Dengan demikian, untuk dapat mengelola reputasi secara baik diperlukan pengukuran reputasi. Proses ini jika dilakukan secara baik akan dapat menunjukkan bagaimana reputasi perusahaan jika dibandingkan dengan reputasi pesaing. Selain itu pengukuran reputasi perusahaan juga dapat menunjukkan sektor dan stakeholder mana saja yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Secara umum hasil pengukuran ini juga berfungsi sebagai road map bagi proses pengelolaan reputasi itu sendiri.
Bisa dimaklumi bahwa untuk mengukur reputasi secara ideal tidaklah mudah dan diperlukan keahlian khusus. Wajar jika beberapa perusahaan melakukan pengukuran reputasi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Misalnya dengan melihat media coverage untuk kemudian menerjemahkan isinya ke dalam reputation score cards. Memang opsi ini lebih baik daripada tidak ada action evaluasi sama sekali, walaupun opsi ini bukannya tanpa kelemahan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan tampak betapa pendekatan ini lebih fokus kepada merekam outcome dari aktivitas humas di media, sedangkan pengaruhnya terhadap khalayak sasaran luput dari pengukuran. Apalagi jika dikaitkan dengan peran aktual bagian humas yang di lapangan tidak jarang hanya berperan sebagai penyampai, sekedar gula-gula, pemadam kebakaran, atau justru kambing hitam, bukan sebagai pengambil keputusan.
Padahal mengukur reputasi tidaklah cukup sebatas menghitung kesenjangan antara apa yang disampaikan dan yang dipersepsi media telah dilakukan oleh perusahaan. Proses pengukuran reputasi seharusnya dimulai dari penentuan stakeholder kunci dari perusahaan. Stakeholder di sini bisa mencakup karyawan, pelanggan, calon pelanggan potensial, pemasok, pemegang saham, LSM, media massa, analis, DPR, ataupun pemerintah. Siapa saja stakeholder kuncinya ditentukan oleh tipe, jangkauan (lokal, nasional, regional, global), dan situasi (menjelang IPO, krisis) yang sedang dihadapi perusahaan. Masing-masing stakeholder disadari memiliki derajat kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Proses kedua adalah menentukan komponen pengarah (driver), entah itu berupa atribut, kualitas, perasaan, citra atau apa saja. Dalam tahap ini seringkali penelitian kualitatif berperan penting dalam menggali komponen apa saja yang menjadi pengarah. Secara umum, ada empat indikator dasar yang dapat dijadikan modal dalam menggali komponen pengarah yang menentukan seberapa kuat reputasi suatu perusahaan. Pertama, daya saing perusahaan dalam menjual produknya dengan harga premium pada kurun waktu yang tidak sebentar. Kedua, kesanggupan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan staf kunci yang berkualitas. Ketiga, konsistensi perusahaan dalam mendapatkan dukungan words of mouth berupa rekomendasi positif baik dari sisi pasokan maupun pemasaran. Keempat, keberpihakan publik ketika terjadi masalah, tidak saja dalam kemampuan perusahaan untuk berkelit dari media ataupun kritikan publik.
Jika komponen pengarah sudah didapatkan, maka instrumen bagi penelitian kuantitatif dapat disusun. Sekali jalan, alangkah lebih baiknya jika instrumen ini tidak hanya diarahkan untuk mengukur reputasi perusahaan itu sendiri, tetapi juga outward looking terhadap kompetitor dan industri terkait. Instrumen ini misalnya berupa kuesioner yang tentu saja harus diuji reliabilitas dan validitasnya. Hanya instrumen yang teruji dengan baik yang layak dipakai untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab keperluan penelitian.
Seonggok hasil penelitian tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditindaklanjuti dengan baik. Penelitian, walau bagaimanapun hanyalah satu tonggak dalam pengelolaan reputasi. Oleh sebab itu, dari hasil penelitian tersebut harus ditindaklanjuti dengan penyusunan reputational plan yang benar-benar actionable. Reputational plan yang harus memuat skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis telah disigi mempunyai dampak yang tinggi (high impact). Skala prioritas yang didukung oleh komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Mengkomunikasikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya komunitas yang disasar. Pesan yang dikemas secara memikat, baik sebagai pesan verbal, icon, maupun program yang didukung oleh outreach melalui media secara efektif.
Yang jelas, reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Dalam eksekusinya menjadi tanggung jawab bersama karena tidak cukup hanya dibebankan pada bagian humas atau pimpinan perusahaan semata.
* A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia Akhir April 2005
Hanya saja, ada beberapa catatan penulis menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal. Akibatnya, perusahaan terjebak dalam perspektif yang menyesatkan. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk dapat mengelola reputasi dengan baik dan benar?
Dalam hal ini ada adagium yang menyatakan bahwa “You can’t manage what you can’t measure”. Dengan demikian, untuk dapat mengelola reputasi secara baik diperlukan pengukuran reputasi. Proses ini jika dilakukan secara baik akan dapat menunjukkan bagaimana reputasi perusahaan jika dibandingkan dengan reputasi pesaing. Selain itu pengukuran reputasi perusahaan juga dapat menunjukkan sektor dan stakeholder mana saja yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Secara umum hasil pengukuran ini juga berfungsi sebagai road map bagi proses pengelolaan reputasi itu sendiri.
Bisa dimaklumi bahwa untuk mengukur reputasi secara ideal tidaklah mudah dan diperlukan keahlian khusus. Wajar jika beberapa perusahaan melakukan pengukuran reputasi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Misalnya dengan melihat media coverage untuk kemudian menerjemahkan isinya ke dalam reputation score cards. Memang opsi ini lebih baik daripada tidak ada action evaluasi sama sekali, walaupun opsi ini bukannya tanpa kelemahan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan tampak betapa pendekatan ini lebih fokus kepada merekam outcome dari aktivitas humas di media, sedangkan pengaruhnya terhadap khalayak sasaran luput dari pengukuran. Apalagi jika dikaitkan dengan peran aktual bagian humas yang di lapangan tidak jarang hanya berperan sebagai penyampai, sekedar gula-gula, pemadam kebakaran, atau justru kambing hitam, bukan sebagai pengambil keputusan.
Padahal mengukur reputasi tidaklah cukup sebatas menghitung kesenjangan antara apa yang disampaikan dan yang dipersepsi media telah dilakukan oleh perusahaan. Proses pengukuran reputasi seharusnya dimulai dari penentuan stakeholder kunci dari perusahaan. Stakeholder di sini bisa mencakup karyawan, pelanggan, calon pelanggan potensial, pemasok, pemegang saham, LSM, media massa, analis, DPR, ataupun pemerintah. Siapa saja stakeholder kuncinya ditentukan oleh tipe, jangkauan (lokal, nasional, regional, global), dan situasi (menjelang IPO, krisis) yang sedang dihadapi perusahaan. Masing-masing stakeholder disadari memiliki derajat kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Proses kedua adalah menentukan komponen pengarah (driver), entah itu berupa atribut, kualitas, perasaan, citra atau apa saja. Dalam tahap ini seringkali penelitian kualitatif berperan penting dalam menggali komponen apa saja yang menjadi pengarah. Secara umum, ada empat indikator dasar yang dapat dijadikan modal dalam menggali komponen pengarah yang menentukan seberapa kuat reputasi suatu perusahaan. Pertama, daya saing perusahaan dalam menjual produknya dengan harga premium pada kurun waktu yang tidak sebentar. Kedua, kesanggupan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan staf kunci yang berkualitas. Ketiga, konsistensi perusahaan dalam mendapatkan dukungan words of mouth berupa rekomendasi positif baik dari sisi pasokan maupun pemasaran. Keempat, keberpihakan publik ketika terjadi masalah, tidak saja dalam kemampuan perusahaan untuk berkelit dari media ataupun kritikan publik.
Jika komponen pengarah sudah didapatkan, maka instrumen bagi penelitian kuantitatif dapat disusun. Sekali jalan, alangkah lebih baiknya jika instrumen ini tidak hanya diarahkan untuk mengukur reputasi perusahaan itu sendiri, tetapi juga outward looking terhadap kompetitor dan industri terkait. Instrumen ini misalnya berupa kuesioner yang tentu saja harus diuji reliabilitas dan validitasnya. Hanya instrumen yang teruji dengan baik yang layak dipakai untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab keperluan penelitian.
Seonggok hasil penelitian tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditindaklanjuti dengan baik. Penelitian, walau bagaimanapun hanyalah satu tonggak dalam pengelolaan reputasi. Oleh sebab itu, dari hasil penelitian tersebut harus ditindaklanjuti dengan penyusunan reputational plan yang benar-benar actionable. Reputational plan yang harus memuat skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis telah disigi mempunyai dampak yang tinggi (high impact). Skala prioritas yang didukung oleh komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Mengkomunikasikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya komunitas yang disasar. Pesan yang dikemas secara memikat, baik sebagai pesan verbal, icon, maupun program yang didukung oleh outreach melalui media secara efektif.
Yang jelas, reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Dalam eksekusinya menjadi tanggung jawab bersama karena tidak cukup hanya dibebankan pada bagian humas atau pimpinan perusahaan semata.
* A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia Akhir April 2005
1 Comments:
At 10:57 AM, Anonymous said…
Ku tunggu inpo² yg paling yahud lagi seputar marketing.. thnx.. sangat membantu sekali!
Post a Comment
<< Home