INTERNAL BRANDING
Dalam buku terbarunya yang berjudul Brand Sense, Martin Lindstrom mengukur kesetiaan terhadap merek dari sudut yang tidak lazim. Dengan survei yang melibatkan responden dari 13 negara, responden ditanya kesediaannya untuk ditato logo merek favoritnya secara permanen di lengan atau anggota tubuh lainnya. Pendekatan yang cukup ekstrim ini ternyata didukung oleh 18,9 persen responden yang memfavoritkan Harley-Davidson. Tiga merek paling favorit yang secara berturut-turut mengikutinya adalah Disney, Coca-Cola, dan Google.
Loyalitas seperti yang ditunjukkan responden di atas muncul karena terjalinnya kepuasan emosional terhadap layanan yang mereka terima dan didukung oleh citra merek yang baik. Dalam pandangan pelanggan, merek adalah wajah dari perusahaan, yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan kualitas tertentu, sebagai jaminan atas kepercayaan dan reliabilitas. Lantas, bagaimana perspektif karyawan sendiri terhadap merek perusahaannya? Pemahaman dan perspektif mereka akan berdampak pada motivasi dan produktivitas yang berujung pada kinerja bisnis secara keseluruhan.
Layanan pelanggan yang menjadi kunci terbentuknya loyalitas pelanggan tentu saja menjadi tanggung jawab karyawan. Apapun posisinya, selain dituntut untuk bekerja dengan baik sesuai tugasnya, karyawan juga berperan sebagai duta bagi merek perusahaan (brand ambassador). Apalagi karyawan sering bersentuhan dengan pelanggan, terutama dalam industri jasa atau yang sifatnya B2B. Perilaku, gaya berpakaian, bahkan intonasi suara karyawan akan mempengaruhi persepsi terhadap merek dan kesuksesan perusahaan. Hal ini mudah dimengerti karena pemasaran sebagai proses berjalan dari dalam menuju ke luar, dari internal perusahaan dan berujung pada pelanggan. Merujuk pada orientasi sentrifugal dalam proses ini, maka khalayak internal harus memainkan peran kunci dalam mempromosikan merek perusahaan. Dengan demikian tibalah pada apa yang disebut internal branding.
Internal branding merupakan kegiatan komunikasi korporat berorientasi internal yang belakangan mengemuka dalam kampanye rebranding. Perusahaan mengkomunikasikan kepada karyawannya segala aspek dalam membangun merek, sehingga pada karyawannya terbentuk perilaku yang sesuai dengan misi merek itu sendiri. Logikanya, meskipun rebranding ditujukan untuk pihak eksternal tetapi mempunyai implikasi yang nyata bagi kalangan internal. Misalnya menyampaikan brand promise yang baru berikut konsekuensinya. Untuk itulah diperlukan internal branding.
Bukankah aneh jika dealer yang menjual mobil merek X justru dia sendiri mengendarai mobil bermerek Y. Demikian juga dengan perilaku karyawan yang kurang menghargai produk dan layanan yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. Perilaku ini menunjukkan tiadanya dukungan yang optimal dalam mewujudkan misi merek tersebut. Padahal karyawan merupakan wajah dari merek itu sendiri, sehingga harus dipastikan bahwa mereka mampu bertindak selaku representatif, selaku “duta besar” merek (brand ambassador).
Bandingkan dengan Disney yang menempati urutan ke dua dalam survei di atas. Disney didukung oleh sumber daya manusia yang dapat menghidupkan mereknya. Disney telah membangun infrastruktur karyawannya mulai dari rekrutmen, pelatihan, sampai kebijakan SDM secara spesifik untuk mendukung dan mempromosikan atribut dan pesan yang terkandung dalam merek Disney. Disney juga secara hati-hati mengawasi mereknya melalui tim ekuitas untuk memastikannya digunakan sebagaimana mestinya dan tidak over-exposed.
Kewaspadaan ini mencakup layanan, perilaku, sampai pakaian karyawannya. Memastikan bahwa karyawannya mengerti dengan jelas apa arti dari mereknya dan bagaimana mereka harus bersikap dan berperilaku untuk mendukungnya. Memang, Disney tergolong sudah mapan dalam usianya yang sudah beberapa dekade sehingga “tinggal” menyesuaikan dengan karyawannya yang datang belakangan.
Untuk suksesnya implementasi internal branding, Genesis (identity and branding consultant, member of The Jakarta Consulting Group) mengembangkan resep sederhana. Pertama, sinkronisasi antara brand personality, tata nilai, dan budaya perusahaan. Jangan sampai antara janji yang diberikan ke khalayak luas dan kondisi internal perusahaan tidak klop, sehingga ibaratnya ingin merubah ikan menjadi kuda. Merek yang kredibel harus didasarkan atas kekuatan pasar (eksternal) maupun realitas (internal) berupa budaya dan tata nilai yang dianut perusahaan yang mendukungnya.
Resep kedua adalah menjadikan karyawan sebagai tulang punggung dalam menghidupkan brand. Prinsip ini dipakai mulai dari tahap paling awal, perekrutan karyawan baru. Yang dilanjutkan dengan membangkitkan antusiasme dan gairah karyawan sehingga merek menjadi komitmen mereka. Cara membangkitkan yang paling efektif adalah melibatkan mereka dalam prosesnya. Termasuk komunikasi yang melibatkan edukasi karyawan berikut mekanisme umpan baliknya, sehingga karyawan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap esensi dari merek. Pemahaman esensi ini mulai dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap atribut identitas merek sampai brand promise. Dengan demikian menimbulkan tanggung jawab dan rasa memiliki. Mindset ini demikian penting, bahkan kegagalan suatu merek di pasar biasanya terkait dengan gagalnya pembentukan mindset karyawan ke arah tersebut. Dalam prakteknya, mutlak diperlukan kolaborasi antara semua pihak yang terkait, baik itu manajemen puncak, SDM, pemasaran, maupun tim operasional. Harus diakui, tidak jarang kegagalan justru dimulai dari kurangnya dukungan dari manajemen puncak.
Resep ketiga adalah internalisasi dengan mengoptimalkan komunikasi internal secara konsisten untuk menjelaskan tata nilai dan perilaku yang sesuai dengan brand promise. Kesuksesan internalisasi ini ditandai dengan merasuknya tata nilai dan perilaku ini dalam keseharian karyawan. Salah satu cara yang efektif adalah “Show Them the Money!” Intinya menunjukkan “merek yang kuat potensial mendatangkan lebih banyak uang”, yang sangat mudah dimengerti semua pihak, termasuk karyawan pada lapisan yang terbawah. Selain itu pengakuan dan penghargaan akan meneguhkan komitmen karyawan sebagai brand ambassador.
Yang harus diingat, untuk membangun merek yang kuat dibutuhkan komunikasi yang konsisten, dapat diterima secara jernih, dan dimengerti secara jelas. Komunikasi yang tidak hanya berorientasi ke luar, tetapi harus mencukupi kebutuhan internal. Penghubung antara karyawan dengan mereka adalah proses komunikasi internal, peran manajer dalam komunikasi dan pengembangan, kemampuan karyawan garda depan dalam mengakses informasi secara tepat waktu, dan pengalaman keseluruhan karyawan. Untuk itu harus dipastikan bahwa pesan ke dalam nyambung dengan pesan ke luar. Jika internal branding berhasil dijalankan dengan baik, dan disinergikan dengan strategi eksternal maka perusahaan dapat memetik hasilnya.
Dalam hal ini karyawan dapat menjadi brand ambassador yang baik dalam interactive marketing dengan pelanggan. Dengan demikian dimungkinkan menjangkau khalayak yang lebih luas dan mendapatkan loyalitas, baik itu mitra, aliansi strategis, pemegang saham, pelanggan, dan tentu saja karyawan. Dalam jangka panjang juga akan meningkatkan value dari perusahaan.
* A. B. Susanto* Penulis adalah Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di MAJALAH EKSEKUTIF akhir Februari 2005
Loyalitas seperti yang ditunjukkan responden di atas muncul karena terjalinnya kepuasan emosional terhadap layanan yang mereka terima dan didukung oleh citra merek yang baik. Dalam pandangan pelanggan, merek adalah wajah dari perusahaan, yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan kualitas tertentu, sebagai jaminan atas kepercayaan dan reliabilitas. Lantas, bagaimana perspektif karyawan sendiri terhadap merek perusahaannya? Pemahaman dan perspektif mereka akan berdampak pada motivasi dan produktivitas yang berujung pada kinerja bisnis secara keseluruhan.
Layanan pelanggan yang menjadi kunci terbentuknya loyalitas pelanggan tentu saja menjadi tanggung jawab karyawan. Apapun posisinya, selain dituntut untuk bekerja dengan baik sesuai tugasnya, karyawan juga berperan sebagai duta bagi merek perusahaan (brand ambassador). Apalagi karyawan sering bersentuhan dengan pelanggan, terutama dalam industri jasa atau yang sifatnya B2B. Perilaku, gaya berpakaian, bahkan intonasi suara karyawan akan mempengaruhi persepsi terhadap merek dan kesuksesan perusahaan. Hal ini mudah dimengerti karena pemasaran sebagai proses berjalan dari dalam menuju ke luar, dari internal perusahaan dan berujung pada pelanggan. Merujuk pada orientasi sentrifugal dalam proses ini, maka khalayak internal harus memainkan peran kunci dalam mempromosikan merek perusahaan. Dengan demikian tibalah pada apa yang disebut internal branding.
Internal branding merupakan kegiatan komunikasi korporat berorientasi internal yang belakangan mengemuka dalam kampanye rebranding. Perusahaan mengkomunikasikan kepada karyawannya segala aspek dalam membangun merek, sehingga pada karyawannya terbentuk perilaku yang sesuai dengan misi merek itu sendiri. Logikanya, meskipun rebranding ditujukan untuk pihak eksternal tetapi mempunyai implikasi yang nyata bagi kalangan internal. Misalnya menyampaikan brand promise yang baru berikut konsekuensinya. Untuk itulah diperlukan internal branding.
Bukankah aneh jika dealer yang menjual mobil merek X justru dia sendiri mengendarai mobil bermerek Y. Demikian juga dengan perilaku karyawan yang kurang menghargai produk dan layanan yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. Perilaku ini menunjukkan tiadanya dukungan yang optimal dalam mewujudkan misi merek tersebut. Padahal karyawan merupakan wajah dari merek itu sendiri, sehingga harus dipastikan bahwa mereka mampu bertindak selaku representatif, selaku “duta besar” merek (brand ambassador).
Bandingkan dengan Disney yang menempati urutan ke dua dalam survei di atas. Disney didukung oleh sumber daya manusia yang dapat menghidupkan mereknya. Disney telah membangun infrastruktur karyawannya mulai dari rekrutmen, pelatihan, sampai kebijakan SDM secara spesifik untuk mendukung dan mempromosikan atribut dan pesan yang terkandung dalam merek Disney. Disney juga secara hati-hati mengawasi mereknya melalui tim ekuitas untuk memastikannya digunakan sebagaimana mestinya dan tidak over-exposed.
Kewaspadaan ini mencakup layanan, perilaku, sampai pakaian karyawannya. Memastikan bahwa karyawannya mengerti dengan jelas apa arti dari mereknya dan bagaimana mereka harus bersikap dan berperilaku untuk mendukungnya. Memang, Disney tergolong sudah mapan dalam usianya yang sudah beberapa dekade sehingga “tinggal” menyesuaikan dengan karyawannya yang datang belakangan.
Untuk suksesnya implementasi internal branding, Genesis (identity and branding consultant, member of The Jakarta Consulting Group) mengembangkan resep sederhana. Pertama, sinkronisasi antara brand personality, tata nilai, dan budaya perusahaan. Jangan sampai antara janji yang diberikan ke khalayak luas dan kondisi internal perusahaan tidak klop, sehingga ibaratnya ingin merubah ikan menjadi kuda. Merek yang kredibel harus didasarkan atas kekuatan pasar (eksternal) maupun realitas (internal) berupa budaya dan tata nilai yang dianut perusahaan yang mendukungnya.
Resep kedua adalah menjadikan karyawan sebagai tulang punggung dalam menghidupkan brand. Prinsip ini dipakai mulai dari tahap paling awal, perekrutan karyawan baru. Yang dilanjutkan dengan membangkitkan antusiasme dan gairah karyawan sehingga merek menjadi komitmen mereka. Cara membangkitkan yang paling efektif adalah melibatkan mereka dalam prosesnya. Termasuk komunikasi yang melibatkan edukasi karyawan berikut mekanisme umpan baliknya, sehingga karyawan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap esensi dari merek. Pemahaman esensi ini mulai dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap atribut identitas merek sampai brand promise. Dengan demikian menimbulkan tanggung jawab dan rasa memiliki. Mindset ini demikian penting, bahkan kegagalan suatu merek di pasar biasanya terkait dengan gagalnya pembentukan mindset karyawan ke arah tersebut. Dalam prakteknya, mutlak diperlukan kolaborasi antara semua pihak yang terkait, baik itu manajemen puncak, SDM, pemasaran, maupun tim operasional. Harus diakui, tidak jarang kegagalan justru dimulai dari kurangnya dukungan dari manajemen puncak.
Resep ketiga adalah internalisasi dengan mengoptimalkan komunikasi internal secara konsisten untuk menjelaskan tata nilai dan perilaku yang sesuai dengan brand promise. Kesuksesan internalisasi ini ditandai dengan merasuknya tata nilai dan perilaku ini dalam keseharian karyawan. Salah satu cara yang efektif adalah “Show Them the Money!” Intinya menunjukkan “merek yang kuat potensial mendatangkan lebih banyak uang”, yang sangat mudah dimengerti semua pihak, termasuk karyawan pada lapisan yang terbawah. Selain itu pengakuan dan penghargaan akan meneguhkan komitmen karyawan sebagai brand ambassador.
Yang harus diingat, untuk membangun merek yang kuat dibutuhkan komunikasi yang konsisten, dapat diterima secara jernih, dan dimengerti secara jelas. Komunikasi yang tidak hanya berorientasi ke luar, tetapi harus mencukupi kebutuhan internal. Penghubung antara karyawan dengan mereka adalah proses komunikasi internal, peran manajer dalam komunikasi dan pengembangan, kemampuan karyawan garda depan dalam mengakses informasi secara tepat waktu, dan pengalaman keseluruhan karyawan. Untuk itu harus dipastikan bahwa pesan ke dalam nyambung dengan pesan ke luar. Jika internal branding berhasil dijalankan dengan baik, dan disinergikan dengan strategi eksternal maka perusahaan dapat memetik hasilnya.
Dalam hal ini karyawan dapat menjadi brand ambassador yang baik dalam interactive marketing dengan pelanggan. Dengan demikian dimungkinkan menjangkau khalayak yang lebih luas dan mendapatkan loyalitas, baik itu mitra, aliansi strategis, pemegang saham, pelanggan, dan tentu saja karyawan. Dalam jangka panjang juga akan meningkatkan value dari perusahaan.
* A. B. Susanto* Penulis adalah Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di MAJALAH EKSEKUTIF akhir Februari 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home