Mengelola Perusahaan Patungan
Saya tergelitik untuk mengulas topik pengelolaan perusahaan patungan ketika belum lama ini ada seorang rekan pengusaha nasional menyatakan dalam waktu dekat ini akan membentuk perusahaan patungan dengan mitranya, sebuah perusahaan kosmetik dari Singapura.
Nature dari perusahaan patungan, entah itu berupa joint marketing, joint distribution, joint R&D, ataupun entitas bisnis baru adalah external network organization karena secara legal kepemilikan dan pengelolaan ada di tangan dua atau lebih organisasi. Dengan demikian kompleksitasnya lebih tinggi dibandingkan sekedar co-branding. Topik Strategi Co-Branding sendiri pernah penulis ketengahkan dalam kolom majalah kesayangan Anda ini beberapa bulan yang lalu. Aliansi dalam perusahaan patungan lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan co-branding yang lingkup kerjasamanya hanya sekitar pemanfaatan brand equity di antara dua merek atau lebih.
Dalam rich awareness co-branding keterlibatan kedua belah pihak dalam penciptaan nilai yang dihasilkan relatif rendah, karena memang ditujukan untuk meningkatkan exposure kepada masing-masing basis pelanggan agar brand awareness-nya terdongkrak. Dalam values endorsement co-branding, kerjasama yang dilakukan lebih ditujukan untuk menjadi endorsement bagi nilai merek sehingga kedua mitra dapat memperkuat reputasi mereknya.
Dalam complementary competence co-branding, dua merek yang komplementer bergabung untuk memproduksi sebuah produk yang pada intinya bukan sekedar menjumlahkan kedua bagian, tetapi masing-masing mitra mempunyai komitmen untuk memilih kompetensi intinya agar tercipta produk yang unggul.
Membentuk perusahaan patungan dengan mitra yang memiliki kapabilitas dan resources yang saling melengkapi adalah langkah strategis untuk menangkap peluang. Namun upaya untuk mempertahankan kelangsungannya merupakan tantangan tersendiri. Dalam pengelolaan perusahaan patungan setidaknya terdapat empat bidang kunci, yaitu strategi, struktur, budaya, dan sumber daya manusia. Dibandingkan dengan menjalankan strategi co-branding, pengelolaan perusahaan patungan cenderung lebih sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan pengelolaan perusahaan yang single fighter dan dikelola sepenuhnya oleh manajemen tunggal. Analoginya begini, antara perusahaan yang satu dengan yang lain seringkali memiliki budaya dan strategi yang berbeda berdasarkan bidang industri yang ditekuninya, konsumen yang dilayaninya dan kompetisi yang dihadapi.
Perusahaan patungan yang merupakan hasil kerjasama dengan dua atau lebih perusahaan berbeda, tentu saja akan melahirkan budaya baru yang berbeda (joint venture culture). Budaya merupakan aspek paling krusial dalam perusahaan patungan, meski untuk tahap permulaan biasanya belum begitu terasa. Budaya dalam perusahaan patungan haruslah tidak lebih lemah dibandingkan budaya masing-masing perusahaan yang menjadi induknya. Dalam artian, mampu mengakomodir dua atau lebih budaya perusahaan induk yang bisa jadi cukup jauh berbeda, misalnya jika perusahaan keluarga yang masih tertutup membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan multinasional. Untuk itu, masing-masing harus mengenal dengan baik kekuatan-kekuatannya, sehingga dapat dipadukan dalam satu irama. Budaya ini harus dapat menggerakkan perusahaan patungan dapat bekerja secara cepat dalam setiap fasenya. Kecepatan yang dibarengi oleh fleksibilitas untuk berinisiatif, tidak ragu untuk keluar dari pakem (business as usual) melalui terobosan-terobosan inovatif.
Kepemilikan dan manajemen bersama membuat strategi yang dijalankan di masing-masing perusahaan induk tidak dapat begitu saja diterapkan di perusahaan patungan. Strategi dari perusahaan patungan harus disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan semua aspeknya sehingga mampu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan. Dalam menyusun strategi ini, terdapat faktor krusial yang harus dipertimbangkan karean akan sangat menentukan keberhasilan. Pertama hubungan personal yang baik diantara mitra, saling memahami dan menerima. Hubungan personal – diakui atau tidak – ternyata sangat menentukan kelangsungan kerjasama ini. Ketika ’trust’ diantara para mitra sudah retak, maka tinggal ”menghitung hari’ kelangsungannya. Sehingga saluran komunikasi menjadi faktor penentu berikutnya dalam kelangsungan usaha patungan ini. Keterbukaan saluran komunikasi serta kesepakatan tata waktu pelaporan menjadi sangat penting. Tentu dengan alasan penetapan yang masuk akal.
Permasalahan yang paling mendasar pembentukan joint venture adalah rasa percaya dan timbal balik antar mitra. Rasa percaya dapat saja terbentuk jika terdapat suatu kesepakatan mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan dari setiap anggota perusahaan mitra, yang dituangkan dalam budaya organisasi.
Dari sisi struktur organisasi, perusahaan patungan dioperasikan oleh tim yang ditunjuk atas kesepakatan bersama oleh setiap mitra yang tergabung di dalamnya. Acap kali dewan direksi atau posisi-posisi kunci lainnya diduduki oleh orang yang notabene karyawan atau bagian dari masing-masing perusahaan induk. Padahal, masing-masing perusahaan induk mempunyai kepentingan tersendiri. Dengan demikian, untuk menghindari konflik kepentingan, hubungan antara perusahaan patungan dengan masing-masing induknya harus dibuat setegas dan sejelas mungkin. Di samping itu, prinsip transparansi dan akuntabilitas harus dijunjung tinggi.
Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam hal ini adalah mengangkat setidaknya satu pimpinan netral yang disegani dan mempunyai cukup wewenang dalam perusahaan. Netralitas ditunjukkan oleh tiadanya kaitan baik secara organisatoris maupun kepentingan antara pemimpin ini dengan masing-masing perusahaan yang membentuk joint venture sebagai outsider yang dipandang lebih independen dan lepas dari conflict of interest. Outsider ini diharapkan dapat mendorong obyektivitas di samping perspektif yang lebih segar ke dalam perusahaan. Tidak heran jika biasanya outsider ini dipilih berdasarkan kompetensi dan pengalamannya yang telah teruji.
Adanya pimpinan yang netral tidak efektif jika tidak didukung oleh pembagian kerja yang jelas di tiap levelnya, terutama sekali di pucuk pimpinan. Misalnya, siapa saja yang bertugas untuk merumuskan strategi perusahaan patungan, bertanggung jawab dalam risk management, keuangan dan lain-lain. Pembagian kerja seperti inilah yang menjadi pijakan dalam menilai kinerja yang biasanya dilakukan secara formal setiap tahun, penilaian yang menjadi salah satu dasar bagi pemberian reward. Kinerja seseorang di perusahaan patungan biasanya juga dipantau oleh perusahaan induk tempat semula ia berada. Tidak jarang terjadi, pimpinan yang sukses di perusahaan patungan ditarik kembali oleh perusahaan induk untuk dipromosikan. Hal seperti ini tentu berpengaruh besar pada perusahaan patungan.
Secara finansial, akuntabilitas dalam perusahaan patungan juga ditegakkan dengan melibatkan lembaga auditor independen. Hal ini menjadi lebih penting lagi bila ada kaitannya dengan transaksi atau transfer pricing yang melibatkan perusahaan induk.
Eksekutif kunci perusahaan patungan harus menjadi ‘jembatan’ dengan meningkatkan kualitas proses komunikasi dan penyelaras keragaman. Sehingga terbentuk right chemistry, yaitu atmosfir kerja yang didasari oleh adanya keterbukaan, saling pengertian, adaptabilitas, kesesuaian budaya dan organizational trust. Proses ini ditindaklanjuti dengan mempercepat terbentuknya internal & external relationship yang dapat menciptakan kelanggengan formulasi joint ventures.
*A.B. Susanto * Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Maret 2005
Nature dari perusahaan patungan, entah itu berupa joint marketing, joint distribution, joint R&D, ataupun entitas bisnis baru adalah external network organization karena secara legal kepemilikan dan pengelolaan ada di tangan dua atau lebih organisasi. Dengan demikian kompleksitasnya lebih tinggi dibandingkan sekedar co-branding. Topik Strategi Co-Branding sendiri pernah penulis ketengahkan dalam kolom majalah kesayangan Anda ini beberapa bulan yang lalu. Aliansi dalam perusahaan patungan lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan co-branding yang lingkup kerjasamanya hanya sekitar pemanfaatan brand equity di antara dua merek atau lebih.
Dalam rich awareness co-branding keterlibatan kedua belah pihak dalam penciptaan nilai yang dihasilkan relatif rendah, karena memang ditujukan untuk meningkatkan exposure kepada masing-masing basis pelanggan agar brand awareness-nya terdongkrak. Dalam values endorsement co-branding, kerjasama yang dilakukan lebih ditujukan untuk menjadi endorsement bagi nilai merek sehingga kedua mitra dapat memperkuat reputasi mereknya.
Dalam complementary competence co-branding, dua merek yang komplementer bergabung untuk memproduksi sebuah produk yang pada intinya bukan sekedar menjumlahkan kedua bagian, tetapi masing-masing mitra mempunyai komitmen untuk memilih kompetensi intinya agar tercipta produk yang unggul.
Membentuk perusahaan patungan dengan mitra yang memiliki kapabilitas dan resources yang saling melengkapi adalah langkah strategis untuk menangkap peluang. Namun upaya untuk mempertahankan kelangsungannya merupakan tantangan tersendiri. Dalam pengelolaan perusahaan patungan setidaknya terdapat empat bidang kunci, yaitu strategi, struktur, budaya, dan sumber daya manusia. Dibandingkan dengan menjalankan strategi co-branding, pengelolaan perusahaan patungan cenderung lebih sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan pengelolaan perusahaan yang single fighter dan dikelola sepenuhnya oleh manajemen tunggal. Analoginya begini, antara perusahaan yang satu dengan yang lain seringkali memiliki budaya dan strategi yang berbeda berdasarkan bidang industri yang ditekuninya, konsumen yang dilayaninya dan kompetisi yang dihadapi.
Perusahaan patungan yang merupakan hasil kerjasama dengan dua atau lebih perusahaan berbeda, tentu saja akan melahirkan budaya baru yang berbeda (joint venture culture). Budaya merupakan aspek paling krusial dalam perusahaan patungan, meski untuk tahap permulaan biasanya belum begitu terasa. Budaya dalam perusahaan patungan haruslah tidak lebih lemah dibandingkan budaya masing-masing perusahaan yang menjadi induknya. Dalam artian, mampu mengakomodir dua atau lebih budaya perusahaan induk yang bisa jadi cukup jauh berbeda, misalnya jika perusahaan keluarga yang masih tertutup membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan multinasional. Untuk itu, masing-masing harus mengenal dengan baik kekuatan-kekuatannya, sehingga dapat dipadukan dalam satu irama. Budaya ini harus dapat menggerakkan perusahaan patungan dapat bekerja secara cepat dalam setiap fasenya. Kecepatan yang dibarengi oleh fleksibilitas untuk berinisiatif, tidak ragu untuk keluar dari pakem (business as usual) melalui terobosan-terobosan inovatif.
Kepemilikan dan manajemen bersama membuat strategi yang dijalankan di masing-masing perusahaan induk tidak dapat begitu saja diterapkan di perusahaan patungan. Strategi dari perusahaan patungan harus disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan semua aspeknya sehingga mampu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan. Dalam menyusun strategi ini, terdapat faktor krusial yang harus dipertimbangkan karean akan sangat menentukan keberhasilan. Pertama hubungan personal yang baik diantara mitra, saling memahami dan menerima. Hubungan personal – diakui atau tidak – ternyata sangat menentukan kelangsungan kerjasama ini. Ketika ’trust’ diantara para mitra sudah retak, maka tinggal ”menghitung hari’ kelangsungannya. Sehingga saluran komunikasi menjadi faktor penentu berikutnya dalam kelangsungan usaha patungan ini. Keterbukaan saluran komunikasi serta kesepakatan tata waktu pelaporan menjadi sangat penting. Tentu dengan alasan penetapan yang masuk akal.
Permasalahan yang paling mendasar pembentukan joint venture adalah rasa percaya dan timbal balik antar mitra. Rasa percaya dapat saja terbentuk jika terdapat suatu kesepakatan mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan dari setiap anggota perusahaan mitra, yang dituangkan dalam budaya organisasi.
Dari sisi struktur organisasi, perusahaan patungan dioperasikan oleh tim yang ditunjuk atas kesepakatan bersama oleh setiap mitra yang tergabung di dalamnya. Acap kali dewan direksi atau posisi-posisi kunci lainnya diduduki oleh orang yang notabene karyawan atau bagian dari masing-masing perusahaan induk. Padahal, masing-masing perusahaan induk mempunyai kepentingan tersendiri. Dengan demikian, untuk menghindari konflik kepentingan, hubungan antara perusahaan patungan dengan masing-masing induknya harus dibuat setegas dan sejelas mungkin. Di samping itu, prinsip transparansi dan akuntabilitas harus dijunjung tinggi.
Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam hal ini adalah mengangkat setidaknya satu pimpinan netral yang disegani dan mempunyai cukup wewenang dalam perusahaan. Netralitas ditunjukkan oleh tiadanya kaitan baik secara organisatoris maupun kepentingan antara pemimpin ini dengan masing-masing perusahaan yang membentuk joint venture sebagai outsider yang dipandang lebih independen dan lepas dari conflict of interest. Outsider ini diharapkan dapat mendorong obyektivitas di samping perspektif yang lebih segar ke dalam perusahaan. Tidak heran jika biasanya outsider ini dipilih berdasarkan kompetensi dan pengalamannya yang telah teruji.
Adanya pimpinan yang netral tidak efektif jika tidak didukung oleh pembagian kerja yang jelas di tiap levelnya, terutama sekali di pucuk pimpinan. Misalnya, siapa saja yang bertugas untuk merumuskan strategi perusahaan patungan, bertanggung jawab dalam risk management, keuangan dan lain-lain. Pembagian kerja seperti inilah yang menjadi pijakan dalam menilai kinerja yang biasanya dilakukan secara formal setiap tahun, penilaian yang menjadi salah satu dasar bagi pemberian reward. Kinerja seseorang di perusahaan patungan biasanya juga dipantau oleh perusahaan induk tempat semula ia berada. Tidak jarang terjadi, pimpinan yang sukses di perusahaan patungan ditarik kembali oleh perusahaan induk untuk dipromosikan. Hal seperti ini tentu berpengaruh besar pada perusahaan patungan.
Secara finansial, akuntabilitas dalam perusahaan patungan juga ditegakkan dengan melibatkan lembaga auditor independen. Hal ini menjadi lebih penting lagi bila ada kaitannya dengan transaksi atau transfer pricing yang melibatkan perusahaan induk.
Eksekutif kunci perusahaan patungan harus menjadi ‘jembatan’ dengan meningkatkan kualitas proses komunikasi dan penyelaras keragaman. Sehingga terbentuk right chemistry, yaitu atmosfir kerja yang didasari oleh adanya keterbukaan, saling pengertian, adaptabilitas, kesesuaian budaya dan organizational trust. Proses ini ditindaklanjuti dengan mempercepat terbentuknya internal & external relationship yang dapat menciptakan kelanggengan formulasi joint ventures.
*A.B. Susanto * Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Maret 2005
1 Comments:
At 7:29 AM, THE PILOT's said…
Perusahaan Patungan lebih berpotensi mendapatkan hasil yang lebih inovatif dan berkompetensi daripada perusahaan yang bermain dalam lingkup single fighter, tetapi di sini kita harus hati-hati dalam berinovasi dan berkompetensi agar jangan sampai hanya karena ide-ide baru dapat meruntuhkan ke "joint venture" an ini. Juga hindari sifat egoistis alias merasa benar dari salah satu pihak karena dapat menimbulkan konflik internal yang mengubah atmosfer dari yang tadinya patungan jadi pertarungan, dan lebih jauhnya lagi dapat mengakibatkan "perang dingin"
Post a Comment
<< Home