Business Disaster Recovery
Sebelum gempa dan tsunami di Aceh, berturut-turut terjadi bencana alam di Alor dan Nabire. Sesudahnya berturut-turut kota-kota besar di Indonesia dihampiri oleh banjir. Terakhir Palu mendapat giliran diguncang gempa. Tiba-tiba kesadaran kita terkuak, bahwa negeri ini benar-benar rawan bencana alam. Dahulu kita merasa kasihan kepada Jepang, karena menganggapnya sebagai negeri gempa. Dan ternyata bencana yang dihadapi negeri ini bukan hanya bencana alam. Banyak pula bencana buatan manusia seperti teror dan kerusuhan.
Musibah ini dapat mengganggu, bahkan menghentikan bisnis secara total. Dan bahkan mungkin tidak bangkit kembali. Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis atau bencana.
Kejadian buruk dan musibah yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam seperti gempa dan tsunami yang melanda Sumatra Utara dan Aceh serta banjir yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya, musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis yang berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen dan antisipasi untuk masa selanjutnya.
Di kalangan pelaku bisnis sendiri ada kecenderungan untuk memakai istilah yang lebih ‘cerah’, istilah yang lebih menonjolkan optimisme. Salah satunya adalah pemakaian istilah Business continuity plan yang dinilai lebih komprehensif untuk memastikan tetap bisa ‘making money’ dibandingkan dengan istilah Business Disaster Recovery yang lebih merujuk pada kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal esensinya sama, proaktif dalam mengantisipasi resiko, proses yang membantu mempersiapkan bisnis sehingga tetap berfungsi setelah terjadinya bencana, tidak hanya bencana skala besar yang memilukan seperti bencana Tsunami kemarin atau bencana ‘musiman’ berupa banjir di Ibukota dan beberapa kota lainnya. Business Disaster Recovery juga mencakup penanggulangan terhadap interupsi bisnis yang ‘lebih kecil’ seperti tidak dapat berfungsinya suatu piranti lunak akibat terkena virus komputer.
Mengapa harus repot-repot melakukan mempersiapkan Business Disaster Recovery? Bila pembuka artikel ini dirasa belum cukup sebagai alasan, barangkali dapat Anda bayangkan situasi berikut. Jika gedung kantor Anda katakanlah hancur (semoga tidak terjadi), masih dapatkah untuk terus melayani klien dan melanjutkan bisnis? Dalam skala lebih kecil misalnya ada seseorang yang memegang posisi kunci tiba-tiba invalid sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, apakah ada orang lain yang bisa meneruskannya? Sedikit lebih luas, apakah kerusakan akan dianggap sebagai kegagalan pengendalian bisnis yang dapat meruntuhkan reputasi bisnis Anda?
Menghadapi situasi darurat (emergency response), pemulihan dari bencana (disaster recovery), pemulihan bisnis (business recovery), memulai bisnis kembali (business resumption), dan rencana alternatif (contingency plan), dan manajemen krisis (crisis management) merupakan esensi dari Business Disaster Recovery.
Dalam prakteknya Business Disaster Recovery harus mencakup bagaimana karyawan berkomunikasi, kemana mereka harus pergi, dan bagaimana mereka tetap bisa bekerja. Rinciannya dapat bervariasi, tergantung pada ukuran dan skala perusahaan serta bagaimana bisnis dijalankan. Untuk beberapa sektor usaha, supply chain logistic barangkali menjadi isu paling krusial dan menjadi fokus rencana. Sektor usaha lain yang bertumpu pada teknologi informasi barangkali harus berfokus pada system recovery. Prioritas dalam fokus ini tidak berarti bisa mengabaikan bidang lainnya, apalagi antar bidang selalu ada kaitannya sehingga bidang yang difokuskan tidak akan berfungsi tanpa adanya dukungan dari bidang lain.
Meskipun dalam Business Disaster Recovery ada bidang yang difokuskan, tetapi yang tidak bisa dilupakan bahwa urat nadi dari Business Disaster Recovery adalah komunikasi, terutama dalam kaitannya dalam aspek koordinasi. Koordinasi ini berlaku dari awal sampai akhir, dari penentuan skala prioritas, penentuan person in charge (PIC), sampai komunikasi pada karyawan baik sebelum maupun sesudah bencana.
Business Disaster Recovery dimulai dari analisis potensi dampak bencana dengan mengidentifikasi dan mengukur secara sistematis potensi tingkat kerusakan dari tiap scenario bencana. Langkah ini bermanfaat untuk membantu memahami potensial loss yang dapat terjadi baik secara finansial, reputasi, maupun imbas terhadap peraturan yang berlaku.
Dari analisis potensi dampak bencana ini juga akan diketahui kebutuhan bisnis yang diperlukan dan prioritasisasi untuk restorasi serta prediksi atas recovery time. Dengan mengetahui hasil ini selanjutnya dapat disusun strategi bagi recovery bencana. Termasuk di sini menentukan kecenderungan resiko mana yang lebih besar terjadi.
Strategi yang telah disusun bisa diturunkan ke dalam Business Continuity Plan. Kualitas rencana tidak ditentukan oleh kompleksitasnya karena kompleksitas justru sering memicu masalah baru, apalagi jika bencana itu besar skalanya. Karenanya prinsip dasar dari rencana yang berkualitas adalah : mudah dibuat, disesuaikan, dan dieksekusi.
Rencana ini harus dilengkapi dengan emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP). Prosedur ini harus mudah dimengerti dan dijalankan. Untuk memudahkan penyusunan rencana ini, paling tidak pendekatan formalnya dapat mengacu pada ISO 17799 yang merupakan standar keselamatan internasional.
Business Continuity Plan juga harus selalu diuji, dengan melakukan pengkajian ulang, ditelaah dan direvisi berdasarkan situasi terakhir. Langkah-langkah perlu dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan bisnis, teknologi maupun kemungkinan berubahnya sumber-sumber informasi yang sangat vital bagi usaha pemulihan.
Kekurangan yang sering terjadi dalam implementasi Business Disaster Recovery antara lain kurangnya perencanaan, latihan, dan dukungan dari top level. Latihan diperlukan tidak hanya pasif seperti simulasi di atas kertas atau sekedar role play, karena latihan akan meningkatkan respon dan menghindari terjadinya overlook.
Untuk mendapatkan dukungan pimpinan puncak, perlu diketengahkan resiko berupa potential loss secara finansial. Keputusan akan bertumpu kepada seberapa besarkah resiko mau ditanggung perusahaan dan seberapa banyak yang siap dibelanjakan untuk mitigasi resiko? Ada tarik ulur (trade off) antara biaya dan manfaat yang akan dijangkau. Perusahaan dengan skala lebih kecil cenderung lebih punya banyak opsi dan biaya yang tentu saja lebih murah dalam Business Disaster Recovery dibandingkan perusahaan yang lebih besar. Dalam back up data misalnya, perusahaan skala kecil bisa melakukannya secara lebih sederhana.
Pertanyaan kepada top level di atas juga dapat kita lontarkan kepada diri kita, seberapa besarkah perhatian yang kita berikan terhadap Business Disaster Recovery, setelah menyadari negeri kita ini ternyata rawan bencana?
* A. B Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di majalah EKSEKUTIF akhir januari 2005
Musibah ini dapat mengganggu, bahkan menghentikan bisnis secara total. Dan bahkan mungkin tidak bangkit kembali. Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis atau bencana.
Kejadian buruk dan musibah yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam seperti gempa dan tsunami yang melanda Sumatra Utara dan Aceh serta banjir yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya, musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis yang berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen dan antisipasi untuk masa selanjutnya.
Di kalangan pelaku bisnis sendiri ada kecenderungan untuk memakai istilah yang lebih ‘cerah’, istilah yang lebih menonjolkan optimisme. Salah satunya adalah pemakaian istilah Business continuity plan yang dinilai lebih komprehensif untuk memastikan tetap bisa ‘making money’ dibandingkan dengan istilah Business Disaster Recovery yang lebih merujuk pada kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal esensinya sama, proaktif dalam mengantisipasi resiko, proses yang membantu mempersiapkan bisnis sehingga tetap berfungsi setelah terjadinya bencana, tidak hanya bencana skala besar yang memilukan seperti bencana Tsunami kemarin atau bencana ‘musiman’ berupa banjir di Ibukota dan beberapa kota lainnya. Business Disaster Recovery juga mencakup penanggulangan terhadap interupsi bisnis yang ‘lebih kecil’ seperti tidak dapat berfungsinya suatu piranti lunak akibat terkena virus komputer.
Mengapa harus repot-repot melakukan mempersiapkan Business Disaster Recovery? Bila pembuka artikel ini dirasa belum cukup sebagai alasan, barangkali dapat Anda bayangkan situasi berikut. Jika gedung kantor Anda katakanlah hancur (semoga tidak terjadi), masih dapatkah untuk terus melayani klien dan melanjutkan bisnis? Dalam skala lebih kecil misalnya ada seseorang yang memegang posisi kunci tiba-tiba invalid sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, apakah ada orang lain yang bisa meneruskannya? Sedikit lebih luas, apakah kerusakan akan dianggap sebagai kegagalan pengendalian bisnis yang dapat meruntuhkan reputasi bisnis Anda?
Menghadapi situasi darurat (emergency response), pemulihan dari bencana (disaster recovery), pemulihan bisnis (business recovery), memulai bisnis kembali (business resumption), dan rencana alternatif (contingency plan), dan manajemen krisis (crisis management) merupakan esensi dari Business Disaster Recovery.
Dalam prakteknya Business Disaster Recovery harus mencakup bagaimana karyawan berkomunikasi, kemana mereka harus pergi, dan bagaimana mereka tetap bisa bekerja. Rinciannya dapat bervariasi, tergantung pada ukuran dan skala perusahaan serta bagaimana bisnis dijalankan. Untuk beberapa sektor usaha, supply chain logistic barangkali menjadi isu paling krusial dan menjadi fokus rencana. Sektor usaha lain yang bertumpu pada teknologi informasi barangkali harus berfokus pada system recovery. Prioritas dalam fokus ini tidak berarti bisa mengabaikan bidang lainnya, apalagi antar bidang selalu ada kaitannya sehingga bidang yang difokuskan tidak akan berfungsi tanpa adanya dukungan dari bidang lain.
Meskipun dalam Business Disaster Recovery ada bidang yang difokuskan, tetapi yang tidak bisa dilupakan bahwa urat nadi dari Business Disaster Recovery adalah komunikasi, terutama dalam kaitannya dalam aspek koordinasi. Koordinasi ini berlaku dari awal sampai akhir, dari penentuan skala prioritas, penentuan person in charge (PIC), sampai komunikasi pada karyawan baik sebelum maupun sesudah bencana.
Business Disaster Recovery dimulai dari analisis potensi dampak bencana dengan mengidentifikasi dan mengukur secara sistematis potensi tingkat kerusakan dari tiap scenario bencana. Langkah ini bermanfaat untuk membantu memahami potensial loss yang dapat terjadi baik secara finansial, reputasi, maupun imbas terhadap peraturan yang berlaku.
Dari analisis potensi dampak bencana ini juga akan diketahui kebutuhan bisnis yang diperlukan dan prioritasisasi untuk restorasi serta prediksi atas recovery time. Dengan mengetahui hasil ini selanjutnya dapat disusun strategi bagi recovery bencana. Termasuk di sini menentukan kecenderungan resiko mana yang lebih besar terjadi.
Strategi yang telah disusun bisa diturunkan ke dalam Business Continuity Plan. Kualitas rencana tidak ditentukan oleh kompleksitasnya karena kompleksitas justru sering memicu masalah baru, apalagi jika bencana itu besar skalanya. Karenanya prinsip dasar dari rencana yang berkualitas adalah : mudah dibuat, disesuaikan, dan dieksekusi.
Rencana ini harus dilengkapi dengan emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP). Prosedur ini harus mudah dimengerti dan dijalankan. Untuk memudahkan penyusunan rencana ini, paling tidak pendekatan formalnya dapat mengacu pada ISO 17799 yang merupakan standar keselamatan internasional.
Business Continuity Plan juga harus selalu diuji, dengan melakukan pengkajian ulang, ditelaah dan direvisi berdasarkan situasi terakhir. Langkah-langkah perlu dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan bisnis, teknologi maupun kemungkinan berubahnya sumber-sumber informasi yang sangat vital bagi usaha pemulihan.
Kekurangan yang sering terjadi dalam implementasi Business Disaster Recovery antara lain kurangnya perencanaan, latihan, dan dukungan dari top level. Latihan diperlukan tidak hanya pasif seperti simulasi di atas kertas atau sekedar role play, karena latihan akan meningkatkan respon dan menghindari terjadinya overlook.
Untuk mendapatkan dukungan pimpinan puncak, perlu diketengahkan resiko berupa potential loss secara finansial. Keputusan akan bertumpu kepada seberapa besarkah resiko mau ditanggung perusahaan dan seberapa banyak yang siap dibelanjakan untuk mitigasi resiko? Ada tarik ulur (trade off) antara biaya dan manfaat yang akan dijangkau. Perusahaan dengan skala lebih kecil cenderung lebih punya banyak opsi dan biaya yang tentu saja lebih murah dalam Business Disaster Recovery dibandingkan perusahaan yang lebih besar. Dalam back up data misalnya, perusahaan skala kecil bisa melakukannya secara lebih sederhana.
Pertanyaan kepada top level di atas juga dapat kita lontarkan kepada diri kita, seberapa besarkah perhatian yang kita berikan terhadap Business Disaster Recovery, setelah menyadari negeri kita ini ternyata rawan bencana?
* A. B Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di majalah EKSEKUTIF akhir januari 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home