Strategi Bisnis

"Dalang", mengurai dari balik tabir....

Wednesday, September 07, 2005

PRIMUM NON NOCERE

Di kala masih menjadi mahasiswa kedokteran dahulu, beredar gurauan enaknya menjadi dokter dibandingkan, katakanlah, dengan insinyur teknik sipil. Dalam gurauan ini diambil kasus ekstrim saat masing-masing ‘gagal’ dalam pekerjaannya. Insinyur teknik sipil yang bertanggung jawab membangun jembatan dihujani dengan cemoohan dan menanggung beban derita begitu jembatan tersebut runtuh tidak lama setelah proyek selesai. Di saat yang lain ada dokter yang tidak dapat menyelamatkan nyawa pasiennya tidak lama setelah ia tangani. Tidak seperti insinyur tadi yang menanggung derita, sang dokter masih mendapatkan ucapan terima kasih dari keluarga dan handai taulan pasien yang meninggal dunia tersebut. Tetapi, kembali, ini hanya sekedar gurauan saja.

Ilustrasi di atas tidak berarti tidak adanya tuntutan terhadap keselamatan dalam dunia medis. Bahkan di kalangan profesional medis, selalu didengungkan diktum dari Hippocrates (kira-kira 460-377 SM) yang menjadi prinsip pertama dunia medis, primum non nocere. Slogan berbahasa latin ini kurang lebih dapat diartikan sebagai ”Yang terpenting adalah tidak merugikan” dalam setiap aspeknya, baik secara sosial maupun ekonomis. Dalam hal ini profesional medis dituntut untuk menempatkan kepentingan pasien di atas kepentingan yang lain-lainnya. Prinsip ini sering disandingkan dengan motto ”Aegroti Salus Lex Suprema” yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Interaksi profesional medis dengan pelanggannya menuntut kepercayaan dan kesetiaan yang tidak dapat ditawar lagi. Sehingga muncul satu slogan lain yang relevan dalam hal ini berupa ”Uberrima fides” yang berarti kesetiaan diatas segala-galanya.

Dalam diktum ”Primum non nocere” terkandung tiga implikasi yang antara satu dengan yang lainnya saling menjalin menjadi satu mata rantai yang tak terpisahkan. Pertama, bahwa profesional medis harus menyadari kenyataan bahwa mereka mampu melakukan segala sesuatunya dengan lebih baik. Artinya, secara kontinu selalu ada ruang untuk melakukan perbaikan. Tingkatan kedua adalah menemukan cara, bagaimana perbaikan dapat dilakukan. Yang terakhir tentu saja menerima tanggung jawab untuk menunaikan tugas. Kata kuncinya dalam hal ini adalah kendali mutu.

Dalam konteks layanan rumah sakit misalnya, proses kendali mutu dituntut untuk sudah harus melibatkan pelanggan. Model proses tertutup rapat yang menempatkan pelanggan dalam posisi gelap tidak tahu apa-apa sudah tidak jamannya lagi. Pelanggan sekarang ini bukan lagi pasien yang orang Jawa bilang “pasrah bongkokan” atau “pejah gesang monggo kemawon,” pasif menerima saja apa pun perlakuan dari penyedia layanan. Makin kritisnya pelanggan nampak dari orientasi mereka dalam mencari ’value’.

Value di sini dimaksudkan sebagai ’fungsi’ dari hasil pemeriksaan dan atau perawatan medis beserta jajaran pendukungnya (medical output) serta layanan yang mereka terima dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung. Kesemua bersifat subyektif, berdasarkan persepsi masing-masing orang. Mahal bagi seseorang bisa berarti murah bagi yang lain.
Aspek layanan sendiri mengacu kepada proses yang kompleks. Francis W. Body dalam Journal of American Medical Association menyatakan bahwa hubungan antara profesional medis dan pelanggannya harus terbentuk secara personal dengan memperhatikan aspek waktu, simpati, dan saling pengertian. Kualitas esensial yang tidak boleh ketinggalan adalah kepedulian yang berperikemanusiaan. Kepedulian yang membuat pelanggan merasa diperlakukan secara manusiawi. Value ini menjadi parameter dalam memilih penyedia layanan, manakah yang dipersepsikan sebagai penyedia layanan yang berkualitas dan sesuai dengan kemampuan pelanggan untuk membayarnya.

Persepsi terhadap kualitas ini didapatkan berdasarkan informasi dan pengalaman yang mereka miliki. Informasi betapa mudahnya menyebar dalam iklim keterbukaan seperti sekarang ini. Lagipula, bukankah dalam era ini pelanggan memiliki peran yang tidak lagi tunggal? Pasien misalnya tidak hanya berperan sebagai pemberi umpan dengan menceritakan kondisi yang dihadapi ketika bertemu dengan dokter. Pasien berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas terkait dengan apa yang menjadi kepentingannya. Pelanggan harus mendapat kejelasan informasi tentang prosedur yang harus diikutinya sehingga mereka dapat memutuskan sendiri tindakan yang akan diambil, sesuai hak asasinya. Bilamana perlu, pelanggan berhak mengambil opini lain sebagai alternatif (second opinion).

Kejelasan informasi tersebut penting bagi pelanggan dalam mempertimbangkan rasio antara keuntungan dan resiko yang akan dihadapainya. Tidak jarang, adanya kesalahan, infeksi, dan terpaparnya resiko terjadi karena antara profesional medis dan pelanggan terjadi masalah komunikasi. Perbedaan bahasa menjadi salah satu kendalanya, disamping keengganan sebagian pelanggan untuk proaktif dan kecenderungan sebagian profesional yang mengejar target. Padahal, membodohi pasien adalah tindakan ilegal karena sudah menjadi tugas profesional medis untuk mendidik pelanggannya secara pelan tapi pasti.

Pelanggan yang kurang dilibatkan dan kurang mendapatkan informasi yang cukup cenderung kurang mendapatkan perlakuan yang efektif. Sebagai akibatnya pelanggan kurang mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah seperti resiko timbulnya alergi, infeksi, kecelakaan, atau bahkan kematian. Sehingga jika terjadi masalah selama ini praktisinya yang dipersalahkan. Padahal seringkali sistemlah yang seringkali membuat semua ini terjadi, termasuk di dalamnya budaya organisasi. Untuk itu, pengkambinghitaman tentu bukan tindakan yang bijaksana dan tidak menyelesaikan permasalahan. Yang lebih diperlukan adalah desain ulang sistem lama menjadi sistem baru yang lebih baik dengan budaya organisasi yang lebih kondusif.

Dengan demikian, sebenarnya setiap pihak mempunyai porsi tanggung jawab dalam mendukung keselamatan pasien. Profesional medis tidak akan sanggup menanggungnya sendirian, dan mereka memang tidak dalam posisi sebagai pemegang otoritas tunggal. Tidak heran jika sekarang ini suara pelanggan juga mempunyai kekuatan tersendiri dalam kaitannya dengan regulasi, baik melalui asosiasi maupun perwakilan di lembaga legislatif karena sangat terkait dengan kepentingannya. Selain peran-peran yang sudah disebutkan di atas pelanggan juga mempunyai peran sebagai agen dalam penyebaran informasi dari mulut ke mulut (words of mouth) yang efektif. Peran terakhir ini menjadi semakin strategis jika dikaitkan dengan ketatnya regulasi dalam iklan komersial industri medis.

Untuk meningkatkan keselamatan pasien pada khususnya dan kualitas layanan pada umumnya, modernisasi peralatan memang penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah menyediakan layanan yang prima. Layanan yang layaknya diberikan kepada orang yang kita cintai seperti misalnya ibu kita sendiri. Di kalangan ahli bioetika prinsip layanan seperti ini dikenal sebagai Papworth Principle. Dalam hal ini penulis punya akronim MOTHER yang belum lama ini penulis sampaikan dalam Seminar Nasional VII Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Akronim MOTHER terdiri atas layanan medis (Medical services), dedikasi (Outstanding dedication), menghargai waktu (Time awareness), perlakuan yang manusiawi dan penuh respek (Humanity treatment and respect), Empathy, sympaty and understanding, serta harga yang masuk akal (Reasonable cost).

* oleh A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di MAJALAH EKSEKUTIF

Value Retailing

Sebagai salah satu pembicara dalam 2005 Annual Indonesian Retail Networking Conference di Ballroom Hotel Grand Hyatt baru-baru ini saya menangkap aura optimisme dari wajah-wajah peritel negeri ini. Sungguh luar biasa. Bagaimana tidak, aura ini terpancar justru saat kondisi rupiah makin tidak menguntungkan industri ritel nasional. Belum lagi jika dipertimbangkan makin melangitnya harga BBM yang tentu saja memukul sendi-sendi industri ritel, terutama menurunnya daya beli konsumen.

Menurunnya daya beli ini makin membuat peritel harus lebih berpandai-pandai membaca keinginan dan perilaku konsumen di samping mengantisipasi move peritel lainnya. Kita tahu, belakangan ini makin banyak peritel menerapkan low cost strategy dengan memberikan tawaran utama berupa harga yang murah kepada konsumen, kategori peritel yang sering disebut sebagai value retailer. Dengan kekuatan yang dimilikinya, peritel kategori ini berani menantang adu murah harga.

Pilihan yang dihadapi dalam hal ini adalah melayani perang harga atau melakukan diversifikasi secara tajam. Perang harga ujung-ujungnya memang menguntungkan konsumen, tetapi tidak dikehendaki peritel lain pada umumnya. Melayani value retailer dalam perang harga bukanlah perkara gampang. Tanpa adanya perubahan mendasar dalam infrastruktur yang menjamin keunggulan dalam supply chain dan distribusi, maka terjun dalam perang harga ibarat kamikaze. Yang lebih fleksibel adalah merubah proposisi value pada konsumen dan memberikan layanan yang lebih baik dalam pengalaman belanja konsumen sebagai justifikasi mengapa harganya lebih mahal.

Dalam dunia ritel, titik masuk bagi penyampaian value kepada konsumen meliputi identitas yang ditentukan oleh kemampuan peritel untuk menyajikan keunggulan diferensial yang kompetitif. Dengan demikian, identitas tersebut harus didukung oleh estetika, baik secara visual maupun kondisi lingkungannya. Estetika yang tidak meninggalkan sentuhan emosional demi terciptanya pengalaman berbelanja yang mengesankan.
Secara fungsional value dirasakan konsumen melalui kualitas layanan, dukungan teknologi, dan harga yang menarik. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa dunia ritel tidak dapat dipisahkan dari gaya hidup.

Customer Value
Berbicara dalam konteks yang lebih luas, yang tidak hanya terbatas di bidang ritel, customer value dapat dijabarkan sebagai preferensi yang dirasakan pelanggan terhadap ciri produk, kinerja, dan sejauh mana telah memenuhi apa yang diinginkan pelanggan.
Berkaitan dengan customer value, dalam implementasinya dilakukan Value Chain Analysis untuk membantu perusahaan mengidentifikasi sumber dan kapabilitas potensialnya yang kompetitif. Ibarat lomba lari maka start-nya adalah customer needs, dan garis finish-nya adalah customer delight. Untuk merubah orientasi dari product-focused menjadi customer-focused perusahaan harus memenuhi tiga tahap berikut: mengenal pelanggan; menyampaikan value yang signifikan dan kompetitif; serta menciptakan budaya yang customer-centric.
Untuk dapat memberikan keunggulan kompetitif, tidaklah cukup dengan value secara fungsional tapi juga secara emosional. Lantas, apa yang membuat pelanggan puas? Untuk bisa menjawabnya terlebih dahulu dikaji apa yang diharapkan pelanggan terhadap perusahaan, yaitu tanggung jawab, kualitas, value dan inovasi dari produk dan layanan, kualitas keseluruhan layanan/dukungan, dan penyajian yang tepat waktu.

Apa peran loyalitas dalam kehidupan pelanggan? Sebagian besar pelanggan mempunyai keinginan yang kuat untuk membangun loyalitas. Mereka akan kembali dan kembali lagi jika diperlakukan dengan baik dan merasa nyaman. Dengan loyalitas ini pelanggan ingin mengurangi resiko dengan kembali ke perusahaan yang mereka percayai karena mereka tahu apa yang akan mereka dapatkan.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan customer value kuncinya terletak pada komunikasi. Promosi pemasaran penting untuk mempertahankan pelanggan (customer retention) dan mendongkrak penjualan. Pilihan yang dibuat pelanggan didasarkan atas persepsi mereka. Semakin kuat mengenal pelanggan, akan lebih mudah mempengaruhi persepsi mereka secara efektif.

Penopang utama tercapainya value delivery yang prima adalah manusia yang ada dalam organisasi. Prinsip utama dalam value delivery adalah memberi nilai tambah pada tiap tahap dalam aliran nilai sesuai dengan proposisi nilai yang dijanjikan serta mengumpulkan informasi dan data untuk perbaikan kontinyu (continuous improvement) terhadap proses. Harapan terhadap value delivery ini secara finansial tercermin dalam laba, pertumbuhan laba, rasio keuangan, cash flow, dan kemampuan meraup modal. Ke depan akan tercermin dalam posisi pasar, potensi pertumbuhan, perbaikan kontinyu, serta knowledge management.

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Harian Bisnis Indonesia

Kepemimpinan Cheng Ho

Pendaratan Cheng Ho di Semarang akan diperingati secara besar-besaran. Cheng Ho adalah bahariwan besar, mendahului para pelaut besar Eropa seperti Columbus dan Vasco da Gama. Armadanya juga jauh lebih besar, 200 kapal (bandingkan dengan Columbus yang hanya 3 kapal).

Memimpin tujuh kali ekspedisi mengarungi jarak lebih dari 50 ribu kilometer pada kurun waktu itu adalah prestasi yang fenomenal, membutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat. Enam ratus tahun yang lalu, memimpin armada yang melibatkan 200 kapal dengan 27 ribu awak kapal tentu bukan hal yang mudah. Kepiawaian seorang pemimpin yang disertai oleh managerial skill yang sangat tinggi. Dia tentu memiliki visi yang kuat dan merasuk kepada segenap pengikutnya, shared vision. Sehingga ia mampu memobilisasi pengikutnya dalam koordinasi yang bagus.

Misi yang diembannya juga tergolong mulia. Bayangkan saja jika armada yang dipimpinnya saat itu menyerang dan menjajah negeri ini. Dengan melihat perbandingan kekuatan yang ada, secara teknis armada Cheng Ho mempunyai peluang cukup besar untuk memenangkannya. Tetapi yang mereka lakukan justru menebar misi damai. Sebuah misi untuk menunjukkan keagungan dinasti Ming dan ketinggian kebudayaan Tiongkok.

Dalam menjalankan misinya, ia mengedepankan pendekatan multikulturalisme. Ia menghormati dimensi kultural yang dianut masyarakat setempat berupa bahasa, nilai-nilai, pola berpikir, agama, artefak, dan orientasi terhadap waktu dan ruang. Penghormatan terhadap perspektif lain ini membantu memotret situasi dengan tepat secara cepat (quick to see). Sikap ini mendatangkan pemahaman dan kearifan dalam menyikapi perilaku dan sikap pada konteks budaya yang berbeda (quick to learn). Hal ini menjadi faktor kritis yang meningkatkan fleksibilitas dalam bertindak (quick to decide) dan berinteraksi sehingga terbinanya hubungan yang erat tanpa mengesampingkan pencapaian hasil yang diinginkan.

Penggunaan soft power seperti ini menuntut kerja keras dari seorang pemimpin lebih dari penggunaan kekerasan itu sendiri. Betapa tidak, ia harus dapat meyakinkan anak buahnya bahwa cara ini dapat berhasil. Dengan berbagai tantangan dan cobaan yang dihadapi, ia harus dapat memupuk keyakinan tersebut dan memelihara semangat untuk berusaha mencapainya. Sebagai pemimpin, komitmennya menjadi acuan dalam menggerakkan komitmen anak buahnya. Dari perjalanan waktu untuk mencapai tujuan tersebut selalu berhadapan dengan proses perubahan, baik perubahan internal maupun perubahan eksternal. Kadang-kadang perubahan itu bersifat ekstrim sehingga menimbulkan krisis yang dapat menimbulkan keraguan dan pesimisme.

Padahal, antusiasme memainkan peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan. Sudah menjadi tugasnya selaku pemimpin untuk selalu meniupkan rasa antusias kepada seluruh anak buahnya. Kemampuan memotivasi, memberi teladan, dan memberi inspirasi menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Secara nyata toleransi dan empati ditunjukkannya dalam banyak hal, bukan sebatas retorika belaka.

Ada kisah menarik dalam kunjungannya ke Majapahit yang saat itu sedang dilanda perang saudara dengan kubu Blambangan. Ketika berada di pantai Utara Jawa, orang kedua dalam armada itu, Wang Jinghong, menderita sakit keras. Beberapa sumber sejarah mengatakan sakit cacar air yang parah, dan tergolong penyakit menular. Mengingat kondisi kesehatan orang kepercayaannya, Cheng Ho menurunkan Wang Jinghong di Pelabuhan Simongan (sekarang bernama Mangkang) Semarang. Di situ Wang Jinghong dirawat di dalam sebuah gua untuk menghindarkan penularan penyakit ke anak buahnya yang lain. Bahkan, beberapa sumber menyatakan bahwa dengan tangannya sendiri Cheng Ho merawatnya, termasuk meramu obat-obatan untuknya.

Bayangkan, seorang laksamana yang memimpin tidak kurang dari 30,000 orang dalam lebih dari tujuh puluh kapal dalam suatu misi yang penting begitu memperhatikan orang kepercayaannya. Selama ia merawat Wang Jinghong, kendali armadanya ia serahkan pada orang yang ditunjuknya. Padahal dengan kekuasaannya, mudah saja bagi laksamana Cheng Ho untuk menunjuk anak buahnya untuk merawat Wang Jinghong sementara ia tetap memimpin armada lautnya.

Saat kondisi Wang Jinghong membaik, Ceng Ho meninggalkannya berikut 10 awak kapal untuk menjaganya. Ia kembali memimpin armada lautnya untuk melaksanakan misi utama yang diembannya setelah memastikan bahwa wakilnya ini sudah dalam kondisi aman dan tinggal menunggu pemulihan saja.

Integritas kepemimpinan Cheng Ho yang ditunjukkan dalam kepeduliannya terhadap Wang Jinghong sebagai wakilnya sangat dirasakan oleh semua anak buahnya. Sebagai gantinya, ia juga mendapatkan tidak saja respek tetapi totalitas dari seluruh anak buahnya. Tidak heran jika Laksamana Cheng Ho sukses dalam setiap kesempatan.

Bahkan, sebagai tanda terima kasih kepada Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan patung Cheng Ho di gua Simongan. Itulah awal legenda patung Sam Po Kong yang kemudian menjadi asal muasal Kelenteng Sam Po Kong Semarang yang setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek ramai dikunjungi orang.

Kepemimpinan Cheng Ho, sungguh layak untuk diteladani.

* A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Dimuat di harian Bisnis Indonesia 2005