Pembiayaan Sektor Liliput
Dalam suatu acara televisi saya menjadi host untuk membahas mengenai microfinancing bersama Dirut BRI, Rudjito. Sungguh menarik pembahasan ini, karena UKM lebih sering dimarjinalkan posisinya, dipandang sebelah mata, dikonotasikan sebagai beban. Bahkan, wacana pembiayaan bagi UKM selama ini lebih sering dilihat dari sisi sosial (subsidi) daripada sisi bisnisnya (komersial). Tidak heran jika sektor pembiayaan menjadi kesulitan utama yang dialami UKM.
Padahal fakta berbicara lain. Usaha mikro ini lebih responsif terhadap perubahan pasar, lebih rentan terhadap gejolak ekonomi dan sangat efisien dalam penggunaan modal. Ketahanan usaha mikro terhadap gejolak ekonomi telah terbukti ketika terjadi krisis tahun 1998. Selama krisis tersebut terjadi, sementara usaha-usaha besar praktis lumpuh, usaha-usaha mikro tetap survive.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini makin banyak yang sadar dan meminati kewirausahaan. Di Indonesia, jumlah unit usaha mikro mencapai 41,3 juta atau sekitar 99,8 % dari total unit usaha yang ada dan menyerap tidak kurang dari 68,2 juta tenaga kerja. Statistik ini memperlihatkan peluang bagi tumbuh suburnya pembiayaan usaha mikro (microfinance). Tidak heran jika belakangan ini microfinance menjadi topik penting dan banyak dibicarakan. Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Bahkan, PBB telah menetapkan tahun 2005 sebagai ”The International Year of Microcredit” dengan tema building inclusive financial service to achieve the Millennium Development Goal.
Selama ini ada anggapan bahwa memberikan kredit kepada usaha mikro beresiko tinggi dengan potensi kredit macetnya (Non Performing Loan-NPL) yang tinggi. Apalagi jika dikaitkan dengan jaminan (collateral). Tetapi kenyataan di lapangan ternyata tidak demikian, BRI yang aktif menggeluti sektor ini melaui BRI Unit menyatakan sejak beroperasi secara komersial (1984), NPL-nya tidak pernah melampaui angka 3%. Fantastis bukan?
Karena setiap debitur nilai kreditnya kecil, diversifikasi portfolio sangat menyebar. Disertai selektifitas dan upaya pemantauan yang baik, resikonya pun dapat ditekan. Mereka relatif lebih mudah diatur dari pada debitur besar yang sering banyak akalnya dan mempunyai ’power’ untuk ”berbuat nakal”, termasuk mengatur bank. Hal ini dikarenakan UKM sadar posisinya yang sulit dalam mengakses bank konvensional (bahkan dalam beberapa kasus cenderung unbankable, tidak layak kredit). Selain itu mereka juga sadar pula bahwa alternatif lain tinggal rentenir dengan bunga yang mencekik leher. Dengan demikian yang terjadi, paling banter UKM tidak membayar tepat waktu, tetapi bukankah keterlambatan ini tercover oleh bunga ekstra yang dibebankan padanya? Apalagi seringkali mereka berkepentingan untuk meminjam kembali di kemudian hari yang mengharuskan menutup lubang untuk dapat menggali lubang berikutnya. Peminjaman yang secara nominal tidak besar dan siklis (berkelanjutan) ini menjadi karakteristik tersendiri dari microfinance.
Dengan demikian, penyediaan jasa keuangan mikro baik berupa simpanan maupun pemberian kredit akan menggerakkan roda perekonomian dan mengangkat derajat ekonomi, tumbuh bersama secara mutualistis. Hal ini sudah ditunjukkan misalnya oleh Bangladesh yang berhasil mengentaskan kemiskinan sedikit demi sedikit melalui 1200-an institusi microfinance-nya. Meskipun dalam kenyataannya masih didominasi oleh empat pemain besarnya -- Grameen Bank, BRAC, ASA, dan Proshika yang secara kumulatif menguasai pangsa pasar sebesar 90%.
Menyimak sepak terjang Grameen Bank, ada hal yang menarik bahwa mereka mendasarkan operasinya pada premis bahwa ’the poor have skills which remain unutilised or under-utilised’.
Mereka beranggapan bahwa yang menyebabkan kemiskinan bukanlah kurangnya skill tetapi institusi dan kebijakan yang melingkupi mereka. Mereka diibaratkan sebagai bonsai. Jika benih dari pohon raksasa ditanam di dalam pot, maka pohon yang tumbuh di pot tersebut adalah pohon raksasa dalam bentuk liliput (bonsai). Tidak ada yang salah dengan benihnya, tetapi ketidaksesuaian lingkungannya yang tidak memungkinkannya untuk tumbuh. Atas dasar premis ini mereka percaya bahwa charity bukanlah jawaban karena hanya akan menimbulkan ketergantungan dan menghilangkan inisiatif. Yang mereka lakukan adalah menyediakan metodologi dan institusi bagi kebutuhan finansial mereka dengan skema kredit yang memungkinkan peminjam produktif dalam tiap siklus pinjamannya. Sebuah kajian World Bank yang dilakukan oleh Shahid Khondkar (2003) menunjukkan bahwa program microcredit di Bangladesh telah membawa dampak positif tidak hanya bagi pesertanya saja, tetapi secara agregat terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.
Di Indonesia sendiri microfinance juga menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan cukup berkontribusi bagi perkembangan mikrofinance di tingkat global. Pada tahun 1996, melalui kerja sama dengan World bank dan CGAP (Consultative Group to Assist the Poor), BRI mendirikan unit kerja yang disebut Desk International Visiting Program (IVP). Unit kerja ini menjadi media bagi pengembangan microfinance melalui berbagai kegiatan seperti training, seminar, workshop, studi banding, dan memfasilitasi riset bagi mahasiswa di seluruh dunia. Termasuk seminar internasional bertema ”International Seminar on BRI Microbanking System, Creating Opportunities for the Poor Through Innovations” yang akan diselenggarakan akhir tahun mendatang di Bali. Melihat perkembangan yang cukup menggembirakan ini, menarik untuk dikaji, faktor-faktor kunci apakah yang menentukan sukses tidaknya microfinance. Secara garis besar ada dua faktor kunci, efektivitas operasional yang menjamin penyampaian jasa secara efektif, responsif, dan berkelanjutan, dan yang kedua membangun organisasi yang efektif. Untuk faktor pertama tingkat kesuksesan diukur berdasarkan banyaknya klien dan jangkauan layanannya (outreach), swa sembada baik secara operasional maupun finansial, dampak (impact) terhadap klien, dan kemampuan integrasi dengan mobilisasi sumber daya masyarakat. Ukuran ini bisa disederhanakan dalam rendahnya biaya transaksi baik langsung maupun tidak langsung sehingga kompetitif, tingginya tingkat pengembalian, dan repeat customer. Untuk dapat mencapainya diperlukan prosedur yang memberikan kemudahan (simplicity), mulai dari akses, approval, sampai sistem layanan terutama bagi banyak transaksi berskala mikro. Kemudahan tersebut bermuara pada efisiensi, berupa cost recovery yang akan menentukan keberlangsungan operasional (sustainability). Sebagai institusi komersial, pendekatan dalam pengembangan microfinance haruslah berorientasi pasar (market driven) dengan memahami needs and wants dari khalayak yang disasar.
Sektor microfinance harus dapat menciptakan atmosfir saling percaya (trust) atas dasar semangat kerja sama di antara penyedia jasa dan nasabahnya. Dengan demikian transparansi, monitoring dan pengawasan melekat menjadi tuntutan yang tidak terelakkan. Khalayak sasaran yang komunal juga menghendaki profesional yang cakap yang dibekali dengan pengembangan berupa pelatihan sesuai tuntutan masyarakat. Dinamika masyarakat yang tinggi diiringi dengan perkembangan teknologi menuntut inovasi tiada henti. Masyarakat tidak hanya membutuhkan kredit tetapi juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti asuransi, remitance, dll. Di atas semua itu, yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman atas local practice.
Terkait dengan local practice ini, dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang efisien yang mampu mengakomodir tradisi, kultur dan kondisi lokal. Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian secara khusus untuk menghindari conventional trap. Efektivitas organisasi dibangun atas dasar beberapa aspek. Kejelasan visi, misi, dan prinsip yang menjadi panduan dan sumber motivasi. Kultur dan komitmen organisasi yang didukung oleh employee value, shareholder value dan berorientasi pada customer value.
*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Oktober 2004
Padahal fakta berbicara lain. Usaha mikro ini lebih responsif terhadap perubahan pasar, lebih rentan terhadap gejolak ekonomi dan sangat efisien dalam penggunaan modal. Ketahanan usaha mikro terhadap gejolak ekonomi telah terbukti ketika terjadi krisis tahun 1998. Selama krisis tersebut terjadi, sementara usaha-usaha besar praktis lumpuh, usaha-usaha mikro tetap survive.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini makin banyak yang sadar dan meminati kewirausahaan. Di Indonesia, jumlah unit usaha mikro mencapai 41,3 juta atau sekitar 99,8 % dari total unit usaha yang ada dan menyerap tidak kurang dari 68,2 juta tenaga kerja. Statistik ini memperlihatkan peluang bagi tumbuh suburnya pembiayaan usaha mikro (microfinance). Tidak heran jika belakangan ini microfinance menjadi topik penting dan banyak dibicarakan. Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Bahkan, PBB telah menetapkan tahun 2005 sebagai ”The International Year of Microcredit” dengan tema building inclusive financial service to achieve the Millennium Development Goal.
Selama ini ada anggapan bahwa memberikan kredit kepada usaha mikro beresiko tinggi dengan potensi kredit macetnya (Non Performing Loan-NPL) yang tinggi. Apalagi jika dikaitkan dengan jaminan (collateral). Tetapi kenyataan di lapangan ternyata tidak demikian, BRI yang aktif menggeluti sektor ini melaui BRI Unit menyatakan sejak beroperasi secara komersial (1984), NPL-nya tidak pernah melampaui angka 3%. Fantastis bukan?
Karena setiap debitur nilai kreditnya kecil, diversifikasi portfolio sangat menyebar. Disertai selektifitas dan upaya pemantauan yang baik, resikonya pun dapat ditekan. Mereka relatif lebih mudah diatur dari pada debitur besar yang sering banyak akalnya dan mempunyai ’power’ untuk ”berbuat nakal”, termasuk mengatur bank. Hal ini dikarenakan UKM sadar posisinya yang sulit dalam mengakses bank konvensional (bahkan dalam beberapa kasus cenderung unbankable, tidak layak kredit). Selain itu mereka juga sadar pula bahwa alternatif lain tinggal rentenir dengan bunga yang mencekik leher. Dengan demikian yang terjadi, paling banter UKM tidak membayar tepat waktu, tetapi bukankah keterlambatan ini tercover oleh bunga ekstra yang dibebankan padanya? Apalagi seringkali mereka berkepentingan untuk meminjam kembali di kemudian hari yang mengharuskan menutup lubang untuk dapat menggali lubang berikutnya. Peminjaman yang secara nominal tidak besar dan siklis (berkelanjutan) ini menjadi karakteristik tersendiri dari microfinance.
Dengan demikian, penyediaan jasa keuangan mikro baik berupa simpanan maupun pemberian kredit akan menggerakkan roda perekonomian dan mengangkat derajat ekonomi, tumbuh bersama secara mutualistis. Hal ini sudah ditunjukkan misalnya oleh Bangladesh yang berhasil mengentaskan kemiskinan sedikit demi sedikit melalui 1200-an institusi microfinance-nya. Meskipun dalam kenyataannya masih didominasi oleh empat pemain besarnya -- Grameen Bank, BRAC, ASA, dan Proshika yang secara kumulatif menguasai pangsa pasar sebesar 90%.
Menyimak sepak terjang Grameen Bank, ada hal yang menarik bahwa mereka mendasarkan operasinya pada premis bahwa ’the poor have skills which remain unutilised or under-utilised’.
Mereka beranggapan bahwa yang menyebabkan kemiskinan bukanlah kurangnya skill tetapi institusi dan kebijakan yang melingkupi mereka. Mereka diibaratkan sebagai bonsai. Jika benih dari pohon raksasa ditanam di dalam pot, maka pohon yang tumbuh di pot tersebut adalah pohon raksasa dalam bentuk liliput (bonsai). Tidak ada yang salah dengan benihnya, tetapi ketidaksesuaian lingkungannya yang tidak memungkinkannya untuk tumbuh. Atas dasar premis ini mereka percaya bahwa charity bukanlah jawaban karena hanya akan menimbulkan ketergantungan dan menghilangkan inisiatif. Yang mereka lakukan adalah menyediakan metodologi dan institusi bagi kebutuhan finansial mereka dengan skema kredit yang memungkinkan peminjam produktif dalam tiap siklus pinjamannya. Sebuah kajian World Bank yang dilakukan oleh Shahid Khondkar (2003) menunjukkan bahwa program microcredit di Bangladesh telah membawa dampak positif tidak hanya bagi pesertanya saja, tetapi secara agregat terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.
Di Indonesia sendiri microfinance juga menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan cukup berkontribusi bagi perkembangan mikrofinance di tingkat global. Pada tahun 1996, melalui kerja sama dengan World bank dan CGAP (Consultative Group to Assist the Poor), BRI mendirikan unit kerja yang disebut Desk International Visiting Program (IVP). Unit kerja ini menjadi media bagi pengembangan microfinance melalui berbagai kegiatan seperti training, seminar, workshop, studi banding, dan memfasilitasi riset bagi mahasiswa di seluruh dunia. Termasuk seminar internasional bertema ”International Seminar on BRI Microbanking System, Creating Opportunities for the Poor Through Innovations” yang akan diselenggarakan akhir tahun mendatang di Bali. Melihat perkembangan yang cukup menggembirakan ini, menarik untuk dikaji, faktor-faktor kunci apakah yang menentukan sukses tidaknya microfinance. Secara garis besar ada dua faktor kunci, efektivitas operasional yang menjamin penyampaian jasa secara efektif, responsif, dan berkelanjutan, dan yang kedua membangun organisasi yang efektif. Untuk faktor pertama tingkat kesuksesan diukur berdasarkan banyaknya klien dan jangkauan layanannya (outreach), swa sembada baik secara operasional maupun finansial, dampak (impact) terhadap klien, dan kemampuan integrasi dengan mobilisasi sumber daya masyarakat. Ukuran ini bisa disederhanakan dalam rendahnya biaya transaksi baik langsung maupun tidak langsung sehingga kompetitif, tingginya tingkat pengembalian, dan repeat customer. Untuk dapat mencapainya diperlukan prosedur yang memberikan kemudahan (simplicity), mulai dari akses, approval, sampai sistem layanan terutama bagi banyak transaksi berskala mikro. Kemudahan tersebut bermuara pada efisiensi, berupa cost recovery yang akan menentukan keberlangsungan operasional (sustainability). Sebagai institusi komersial, pendekatan dalam pengembangan microfinance haruslah berorientasi pasar (market driven) dengan memahami needs and wants dari khalayak yang disasar.
Sektor microfinance harus dapat menciptakan atmosfir saling percaya (trust) atas dasar semangat kerja sama di antara penyedia jasa dan nasabahnya. Dengan demikian transparansi, monitoring dan pengawasan melekat menjadi tuntutan yang tidak terelakkan. Khalayak sasaran yang komunal juga menghendaki profesional yang cakap yang dibekali dengan pengembangan berupa pelatihan sesuai tuntutan masyarakat. Dinamika masyarakat yang tinggi diiringi dengan perkembangan teknologi menuntut inovasi tiada henti. Masyarakat tidak hanya membutuhkan kredit tetapi juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti asuransi, remitance, dll. Di atas semua itu, yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman atas local practice.
Terkait dengan local practice ini, dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang efisien yang mampu mengakomodir tradisi, kultur dan kondisi lokal. Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian secara khusus untuk menghindari conventional trap. Efektivitas organisasi dibangun atas dasar beberapa aspek. Kejelasan visi, misi, dan prinsip yang menjadi panduan dan sumber motivasi. Kultur dan komitmen organisasi yang didukung oleh employee value, shareholder value dan berorientasi pada customer value.
*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Oktober 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home