Strategi Bisnis

"Dalang", mengurai dari balik tabir....

Friday, July 22, 2005

Pembiayaan Sektor Liliput

Dalam suatu acara televisi saya menjadi host untuk membahas mengenai microfinancing bersama Dirut BRI, Rudjito. Sungguh menarik pembahasan ini, karena UKM lebih sering dimarjinalkan posisinya, dipandang sebelah mata, dikonotasikan sebagai beban. Bahkan, wacana pembiayaan bagi UKM selama ini lebih sering dilihat dari sisi sosial (subsidi) daripada sisi bisnisnya (komersial). Tidak heran jika sektor pembiayaan menjadi kesulitan utama yang dialami UKM.

Padahal fakta berbicara lain. Usaha mikro ini lebih responsif terhadap perubahan pasar, lebih rentan terhadap gejolak ekonomi dan sangat efisien dalam penggunaan modal. Ketahanan usaha mikro terhadap gejolak ekonomi telah terbukti ketika terjadi krisis tahun 1998. Selama krisis tersebut terjadi, sementara usaha-usaha besar praktis lumpuh, usaha-usaha mikro tetap survive.

Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini makin banyak yang sadar dan meminati kewirausahaan. Di Indonesia, jumlah unit usaha mikro mencapai 41,3 juta atau sekitar 99,8 % dari total unit usaha yang ada dan menyerap tidak kurang dari 68,2 juta tenaga kerja. Statistik ini memperlihatkan peluang bagi tumbuh suburnya pembiayaan usaha mikro (microfinance). Tidak heran jika belakangan ini microfinance menjadi topik penting dan banyak dibicarakan. Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi di tingkat nasional. Bahkan, PBB telah menetapkan tahun 2005 sebagai ”The International Year of Microcredit” dengan tema building inclusive financial service to achieve the Millennium Development Goal.

Selama ini ada anggapan bahwa memberikan kredit kepada usaha mikro beresiko tinggi dengan potensi kredit macetnya (Non Performing Loan-NPL) yang tinggi. Apalagi jika dikaitkan dengan jaminan (collateral). Tetapi kenyataan di lapangan ternyata tidak demikian, BRI yang aktif menggeluti sektor ini melaui BRI Unit menyatakan sejak beroperasi secara komersial (1984), NPL-nya tidak pernah melampaui angka 3%. Fantastis bukan?

Karena setiap debitur nilai kreditnya kecil, diversifikasi portfolio sangat menyebar. Disertai selektifitas dan upaya pemantauan yang baik, resikonya pun dapat ditekan. Mereka relatif lebih mudah diatur dari pada debitur besar yang sering banyak akalnya dan mempunyai ’power’ untuk ”berbuat nakal”, termasuk mengatur bank. Hal ini dikarenakan UKM sadar posisinya yang sulit dalam mengakses bank konvensional (bahkan dalam beberapa kasus cenderung unbankable, tidak layak kredit). Selain itu mereka juga sadar pula bahwa alternatif lain tinggal rentenir dengan bunga yang mencekik leher. Dengan demikian yang terjadi, paling banter UKM tidak membayar tepat waktu, tetapi bukankah keterlambatan ini tercover oleh bunga ekstra yang dibebankan padanya? Apalagi seringkali mereka berkepentingan untuk meminjam kembali di kemudian hari yang mengharuskan menutup lubang untuk dapat menggali lubang berikutnya. Peminjaman yang secara nominal tidak besar dan siklis (berkelanjutan) ini menjadi karakteristik tersendiri dari microfinance.

Dengan demikian, penyediaan jasa keuangan mikro baik berupa simpanan maupun pemberian kredit akan menggerakkan roda perekonomian dan mengangkat derajat ekonomi, tumbuh bersama secara mutualistis. Hal ini sudah ditunjukkan misalnya oleh Bangladesh yang berhasil mengentaskan kemiskinan sedikit demi sedikit melalui 1200-an institusi microfinance-nya. Meskipun dalam kenyataannya masih didominasi oleh empat pemain besarnya -- Grameen Bank, BRAC, ASA, dan Proshika yang secara kumulatif menguasai pangsa pasar sebesar 90%.
Menyimak sepak terjang Grameen Bank, ada hal yang menarik bahwa mereka mendasarkan operasinya pada premis bahwa ’the poor have skills which remain unutilised or under-utilised’.

Mereka beranggapan bahwa yang menyebabkan kemiskinan bukanlah kurangnya skill tetapi institusi dan kebijakan yang melingkupi mereka. Mereka diibaratkan sebagai bonsai. Jika benih dari pohon raksasa ditanam di dalam pot, maka pohon yang tumbuh di pot tersebut adalah pohon raksasa dalam bentuk liliput (bonsai). Tidak ada yang salah dengan benihnya, tetapi ketidaksesuaian lingkungannya yang tidak memungkinkannya untuk tumbuh. Atas dasar premis ini mereka percaya bahwa charity bukanlah jawaban karena hanya akan menimbulkan ketergantungan dan menghilangkan inisiatif. Yang mereka lakukan adalah menyediakan metodologi dan institusi bagi kebutuhan finansial mereka dengan skema kredit yang memungkinkan peminjam produktif dalam tiap siklus pinjamannya. Sebuah kajian World Bank yang dilakukan oleh Shahid Khondkar (2003) menunjukkan bahwa program microcredit di Bangladesh telah membawa dampak positif tidak hanya bagi pesertanya saja, tetapi secara agregat terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Di Indonesia sendiri microfinance juga menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan cukup berkontribusi bagi perkembangan mikrofinance di tingkat global. Pada tahun 1996, melalui kerja sama dengan World bank dan CGAP (Consultative Group to Assist the Poor), BRI mendirikan unit kerja yang disebut Desk International Visiting Program (IVP). Unit kerja ini menjadi media bagi pengembangan microfinance melalui berbagai kegiatan seperti training, seminar, workshop, studi banding, dan memfasilitasi riset bagi mahasiswa di seluruh dunia. Termasuk seminar internasional bertema ”International Seminar on BRI Microbanking System, Creating Opportunities for the Poor Through Innovations” yang akan diselenggarakan akhir tahun mendatang di Bali. Melihat perkembangan yang cukup menggembirakan ini, menarik untuk dikaji, faktor-faktor kunci apakah yang menentukan sukses tidaknya microfinance. Secara garis besar ada dua faktor kunci, efektivitas operasional yang menjamin penyampaian jasa secara efektif, responsif, dan berkelanjutan, dan yang kedua membangun organisasi yang efektif. Untuk faktor pertama tingkat kesuksesan diukur berdasarkan banyaknya klien dan jangkauan layanannya (outreach), swa sembada baik secara operasional maupun finansial, dampak (impact) terhadap klien, dan kemampuan integrasi dengan mobilisasi sumber daya masyarakat. Ukuran ini bisa disederhanakan dalam rendahnya biaya transaksi baik langsung maupun tidak langsung sehingga kompetitif, tingginya tingkat pengembalian, dan repeat customer. Untuk dapat mencapainya diperlukan prosedur yang memberikan kemudahan (simplicity), mulai dari akses, approval, sampai sistem layanan terutama bagi banyak transaksi berskala mikro. Kemudahan tersebut bermuara pada efisiensi, berupa cost recovery yang akan menentukan keberlangsungan operasional (sustainability). Sebagai institusi komersial, pendekatan dalam pengembangan microfinance haruslah berorientasi pasar (market driven) dengan memahami needs and wants dari khalayak yang disasar.

Sektor microfinance harus dapat menciptakan atmosfir saling percaya (trust) atas dasar semangat kerja sama di antara penyedia jasa dan nasabahnya. Dengan demikian transparansi, monitoring dan pengawasan melekat menjadi tuntutan yang tidak terelakkan. Khalayak sasaran yang komunal juga menghendaki profesional yang cakap yang dibekali dengan pengembangan berupa pelatihan sesuai tuntutan masyarakat. Dinamika masyarakat yang tinggi diiringi dengan perkembangan teknologi menuntut inovasi tiada henti. Masyarakat tidak hanya membutuhkan kredit tetapi juga jasa-jasa perbankan lainnya seperti asuransi, remitance, dll. Di atas semua itu, yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman atas local practice.

Terkait dengan local practice ini, dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang efisien yang mampu mengakomodir tradisi, kultur dan kondisi lokal. Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian secara khusus untuk menghindari conventional trap. Efektivitas organisasi dibangun atas dasar beberapa aspek. Kejelasan visi, misi, dan prinsip yang menjadi panduan dan sumber motivasi. Kultur dan komitmen organisasi yang didukung oleh employee value, shareholder value dan berorientasi pada customer value.

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Oktober 2004

The Entrepreneurial Trajectory

Banyak calon wirausaha dan wirausaha yang sudah cukup lama bergelut dalam bisnis dan ingin mengembangkan usahanya mengeluhkan kurangnya bekal dalam memahami apa yang saya sebut dengan The Entrepreneurial Trajectory. Yakni inventarisasi terhadap fase-fase strategis berwirausaha dalam kaitannya dengan networking, critical success factor, dan praktek-praktek yang lazim menghambatnya.

Mengenali peluang sudah jamak diketahui sebagai fase awal dari usaha. Fase ini ditandai dengan munculnya ide bisnis yang tidak jarang didapat berkat diskusi dan pertukaran informasi dengan pihak lain yang biasanya masuk dalam jejaring sosialnya. Agar ide ini menjadi berarti biasanya disertai hasrat pribadi yang menjadi bagian dari tujuan hidup, misalnya saja terkait dengan hobi. Jejaring sosial juga berperan besar sebagai motivator. Sebenarnya, hampir setiap orang pernah berada dalam fase ini. Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi baik personal maupun lingkungan yang kondusif.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung menunjukkan bahwa sekitar 55% di antaranya memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Tradisi yang kuat di bidang usaha dari jejaring sosial terdekat ini menjadi confidence modalities. Tension modalities berupa kondisi yang menekan, seperti terkena PHK mengakibatkan tiadanya pilihan lain selain menjadi wirausaha. Kondisi yang terbaik adalah seseorang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha (emotion modalities).

Agar tetap fokus pada peluang, ide-ide bisnis yang ada diinventarisir, disaring mana yang atraktif dan mana yang tidak. Banyak orang dapat menginvestigasi ide bisnis yang sama tetapi akan berbeda dalam melihat peluang yang ada. Terfokus dan berlama-lama pada satu ide saja merupakan kesalahan umum yang dibuat pemula. Interaksi dengan jejaring profesional yang terdiri atas jejaring personal ditambah dengan pihak-pihak yang terkait dengan bisnis memudahkan akses terhadap ketrampilan dan teknologi. Keterampilan teknis dan manajemen penting artinya untuk meningkatkan produktifitas dan penciptaan nilai tambah yang memungkinkan usaha kelas teri mempunyai hasil kelas kakap.

Agar ide bisnis terwujud dibuatlah rencana bisnis. Banyak wirausaha yang mengabaikan fase ini dan kemudian gagal. Dalam fase ini visi dan misi, arah dan tujuan, strategi pengembangan, sumber daya manusia dan sumber daya lain, kapabilitas organisasional, strategi pembiayaan dan visi tentang kesuksesan mendapatkan bentuknya. Sebuah rencana pemasaran misalnya, dapat memberikan semacam perhatian yang dibutuhkan dalam membidik orang, perusahaan, atau hal lainnya secara tepat. Rencana tersebut dapat juga menarik perhatian orang atau pihak lain, termasuk memudahkan akses terhadap dana (investor). Tidaklah mungkin membangun usaha tanpa akses ke permodalan. Untuk disebut feasible atau bankable skema pembiayaan mensyaratkan asas 5C, yang meliputi character (watak calon debitur), capacity (kemampuan), capital (permodalan), condition (kondisi), dan collateral (jaminan). Jika belum bankable, masih ada skema pembiayaan mikro yang lebih longgar syaratnya.

Akses terhadap layanan pengembangan bisnis dapat membantu mengatasi kelemahan utama dari UKM berupa ketidakjelasan pola besar dari usaha. Layanan ini berupa pelatihan, layanan konsultasi, bantuan pemasaran, informasi, pengembangan dan alih teknologi, serta promosi bisnis. Dengan demikian wirausaha mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang diinginkan konsumen pada saat ini dan mendatang, bagaimana perkembangan pola beli mereka, dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka. Berbekal informasi pasar yang dimiliki, dengan sumber daya yang dialokasikan sesuai rencana bisnis, pasar dapat dijangkau. Akses pasar dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan Kadin yang telah membentuk PT UKM Indonesia sebagai trading house yang akan membeli produk-produk mitra UKM yang layak jual dan memasarkannya ke mitra usaha yang menjadi jaringannya. Pemerintah juga sudah mengatur agar ritel modern seperti mal, hotel, dan restoran menyediakan 20 persen space-nya bagi UKM sehingga UKM bisa menembus pasar menengah atas. Akses terhadap pasar asing juga telah difasilitasi oleh Pusat Pelayanan dan Pengembangan UKM (SME Center) yang menawarkan kemudahan transaksi dagang antara UKM Indonesia kepada mitra bisnisnya dari negara anggota G-15. Termasuk kemitraan dengan perusahaan multinasional yang mempunyai kepentingan dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat sekitar (community development). Meskipun demikian dunia tak selalu memberikan respon yang sesuai dengan yang diinginkan wirausaha. Meski itu sebuah produk superior, dunia terkadang tak memberikan tanggapan yang sesuai dengan harapan. Karenanya, dibutuhkan sejumlah uang kontan agar dapat bertahan pada masa-masa seperti itu. Fase ini dapat menjadi acuan untuk evaluasi rencana bisnis yang sudah dibuat dalam fase sebelumnya.

Keputusan untuk mengembangkan usaha dengan strategi pertumbuhan tinggi beserta segala resikonya ataukah lambat asal selamat ditentukan dalam fase ini. Sayangnya sebagian besar wirausaha memilih alternatif kedua yang membuatnya tetap tinggal kelas sebagai UKM. Memang, biasanya jumlah usahawan yang sukses melewati tahap ini relatif sedikit. Jejaring strategis yang melibatkan perusahaan lain dan institusi pendukung dalam kerangka simbiosis mutualisme akan sangat membantu mengembangkan usaha. Secara internal, mengabaikan karyawan adalah kesalahan yang sering dilakukan wirausaha dalam fase ini. Padahal dapat berbuntut pada menurunnya moral, produktivitas kerja, dan keuntungan perusahaan. Dalam jangka panjang, pematangan sistem akan jauh lebih mendukung dibandingkan bertumpu pada figur wirausaha seorang.

Strategi yang berhasil diterapkan dengan baik ditunjang oleh iklim bisnis yang mendukung memungkinkan untuk dapat memimpin pangsa pasar. Memimpin pasar ibarat duduk di kursi panas, yang mengharuskan untuk selalu waspada agar bisa mempertahankan posisi ini. Dalam pasar yang dinamika kompetisinya tinggi, mempertahankan posisi di puncak jauh lebih tinggi daripada saat menggapainya. Banyak pihak akan membidik pemimpin pasar dan berusaha menuju puncak dengan segala cara, termasuk memanfaatkan kelemahan pemimpin pasar. Di sisi yang lain, bisnis yang sudah mapan dan mempunyai peluang yang lebih besar untuk ekspansi. Peluang untuk berekspansi dengan melebarkan sayap usaha harus ditindaklanjuti secara kreatif dan cermat. Diperlukan fleksibilitas dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Jika segala sesuatunya berjalan lancar, selanjutnya tinggal memetik buah dari pohon yang ditanam, dari value yang dibuat di fase sebelumnya. Hal ini bisa saja dilakukan dengan ‘keluar dari bisnis’ melalui IPO (Initial Public Offering) atau diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. Memakai kerangka Robert Kiyosaki dalam bukunya Cashflow Quadrant, ’keluar dari bisnis’ ini berarti pindah dari kuadran B (Business owner) ke kuadran I (Investor). Fase panen ini sering terlewatkan dalam konteks kewirausahaan.

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir November 2004

Business Disaster Recovery

Sebelum gempa dan tsunami di Aceh, berturut-turut terjadi bencana alam di Alor dan Nabire. Sesudahnya berturut-turut kota-kota besar di Indonesia dihampiri oleh banjir. Terakhir Palu mendapat giliran diguncang gempa. Tiba-tiba kesadaran kita terkuak, bahwa negeri ini benar-benar rawan bencana alam. Dahulu kita merasa kasihan kepada Jepang, karena menganggapnya sebagai negeri gempa. Dan ternyata bencana yang dihadapi negeri ini bukan hanya bencana alam. Banyak pula bencana buatan manusia seperti teror dan kerusuhan.

Musibah ini dapat mengganggu, bahkan menghentikan bisnis secara total. Dan bahkan mungkin tidak bangkit kembali. Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis atau bencana.

Kejadian buruk dan musibah yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam seperti gempa dan tsunami yang melanda Sumatra Utara dan Aceh serta banjir yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya, musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis yang berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen dan antisipasi untuk masa selanjutnya.

Di kalangan pelaku bisnis sendiri ada kecenderungan untuk memakai istilah yang lebih ‘cerah’, istilah yang lebih menonjolkan optimisme. Salah satunya adalah pemakaian istilah Business continuity plan yang dinilai lebih komprehensif untuk memastikan tetap bisa ‘making money’ dibandingkan dengan istilah Business Disaster Recovery yang lebih merujuk pada kejadian yang tidak mengenakkan. Padahal esensinya sama, proaktif dalam mengantisipasi resiko, proses yang membantu mempersiapkan bisnis sehingga tetap berfungsi setelah terjadinya bencana, tidak hanya bencana skala besar yang memilukan seperti bencana Tsunami kemarin atau bencana ‘musiman’ berupa banjir di Ibukota dan beberapa kota lainnya. Business Disaster Recovery juga mencakup penanggulangan terhadap interupsi bisnis yang ‘lebih kecil’ seperti tidak dapat berfungsinya suatu piranti lunak akibat terkena virus komputer.

Mengapa harus repot-repot melakukan mempersiapkan Business Disaster Recovery? Bila pembuka artikel ini dirasa belum cukup sebagai alasan, barangkali dapat Anda bayangkan situasi berikut. Jika gedung kantor Anda katakanlah hancur (semoga tidak terjadi), masih dapatkah untuk terus melayani klien dan melanjutkan bisnis? Dalam skala lebih kecil misalnya ada seseorang yang memegang posisi kunci tiba-tiba invalid sehingga tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, apakah ada orang lain yang bisa meneruskannya? Sedikit lebih luas, apakah kerusakan akan dianggap sebagai kegagalan pengendalian bisnis yang dapat meruntuhkan reputasi bisnis Anda?

Menghadapi situasi darurat (emergency response), pemulihan dari bencana (disaster recovery), pemulihan bisnis (business recovery), memulai bisnis kembali (business resumption), dan rencana alternatif (contingency plan), dan manajemen krisis (crisis management) merupakan esensi dari Business Disaster Recovery.

Dalam prakteknya Business Disaster Recovery harus mencakup bagaimana karyawan berkomunikasi, kemana mereka harus pergi, dan bagaimana mereka tetap bisa bekerja. Rinciannya dapat bervariasi, tergantung pada ukuran dan skala perusahaan serta bagaimana bisnis dijalankan. Untuk beberapa sektor usaha, supply chain logistic barangkali menjadi isu paling krusial dan menjadi fokus rencana. Sektor usaha lain yang bertumpu pada teknologi informasi barangkali harus berfokus pada system recovery. Prioritas dalam fokus ini tidak berarti bisa mengabaikan bidang lainnya, apalagi antar bidang selalu ada kaitannya sehingga bidang yang difokuskan tidak akan berfungsi tanpa adanya dukungan dari bidang lain.

Meskipun dalam Business Disaster Recovery ada bidang yang difokuskan, tetapi yang tidak bisa dilupakan bahwa urat nadi dari Business Disaster Recovery adalah komunikasi, terutama dalam kaitannya dalam aspek koordinasi. Koordinasi ini berlaku dari awal sampai akhir, dari penentuan skala prioritas, penentuan person in charge (PIC), sampai komunikasi pada karyawan baik sebelum maupun sesudah bencana.

Business Disaster Recovery dimulai dari analisis potensi dampak bencana dengan mengidentifikasi dan mengukur secara sistematis potensi tingkat kerusakan dari tiap scenario bencana. Langkah ini bermanfaat untuk membantu memahami potensial loss yang dapat terjadi baik secara finansial, reputasi, maupun imbas terhadap peraturan yang berlaku.

Dari analisis potensi dampak bencana ini juga akan diketahui kebutuhan bisnis yang diperlukan dan prioritasisasi untuk restorasi serta prediksi atas recovery time. Dengan mengetahui hasil ini selanjutnya dapat disusun strategi bagi recovery bencana. Termasuk di sini menentukan kecenderungan resiko mana yang lebih besar terjadi.

Strategi yang telah disusun bisa diturunkan ke dalam Business Continuity Plan. Kualitas rencana tidak ditentukan oleh kompleksitasnya karena kompleksitas justru sering memicu masalah baru, apalagi jika bencana itu besar skalanya. Karenanya prinsip dasar dari rencana yang berkualitas adalah : mudah dibuat, disesuaikan, dan dieksekusi.

Rencana ini harus dilengkapi dengan emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP). Prosedur ini harus mudah dimengerti dan dijalankan. Untuk memudahkan penyusunan rencana ini, paling tidak pendekatan formalnya dapat mengacu pada ISO 17799 yang merupakan standar keselamatan internasional.

Business Continuity Plan juga harus selalu diuji, dengan melakukan pengkajian ulang, ditelaah dan direvisi berdasarkan situasi terakhir. Langkah-langkah perlu dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan bisnis, teknologi maupun kemungkinan berubahnya sumber-sumber informasi yang sangat vital bagi usaha pemulihan.

Kekurangan yang sering terjadi dalam implementasi Business Disaster Recovery antara lain kurangnya perencanaan, latihan, dan dukungan dari top level. Latihan diperlukan tidak hanya pasif seperti simulasi di atas kertas atau sekedar role play, karena latihan akan meningkatkan respon dan menghindari terjadinya overlook.

Untuk mendapatkan dukungan pimpinan puncak, perlu diketengahkan resiko berupa potential loss secara finansial. Keputusan akan bertumpu kepada seberapa besarkah resiko mau ditanggung perusahaan dan seberapa banyak yang siap dibelanjakan untuk mitigasi resiko? Ada tarik ulur (trade off) antara biaya dan manfaat yang akan dijangkau. Perusahaan dengan skala lebih kecil cenderung lebih punya banyak opsi dan biaya yang tentu saja lebih murah dalam Business Disaster Recovery dibandingkan perusahaan yang lebih besar. Dalam back up data misalnya, perusahaan skala kecil bisa melakukannya secara lebih sederhana.

Pertanyaan kepada top level di atas juga dapat kita lontarkan kepada diri kita, seberapa besarkah perhatian yang kita berikan terhadap Business Disaster Recovery, setelah menyadari negeri kita ini ternyata rawan bencana?

* A. B Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di majalah EKSEKUTIF akhir januari 2005

Menguak Perusahaan Keluarga di Indonesia

Menyadari betapa minimnya literatur tentang perusahaan keluarga di Indonesia, penulis tergerak untuk menyempatkan diri menuangkan pengalaman selama lebih dari dua puluh tahun membantu beragam perusahaan keluarga ke dalam sebuah buku. Kendala berupa waktu konsultasi yang terentang dalam kurun lebih dari dua puluh tahun tersebut dijembatani dengan riset, sehingga informasi yang ada diperbaharui secara menyeluruh dalam satu kurun waktu yang bersamaan. Hasilnya, banyak temuan menarik dalam survei yang baru-baru ini dilakukan The Jakarta Consulting Group terhadap 87 perusahaan keluarga skala menengah ke atas yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Sengaja survey ini menyigi responden dari perusahaan keluarga skala menengah ke atas karena posisi mereka yang seringkali dijadikan model bagi perusahaan keluarga lainnya, baik yang skalanya lebih kecil maupun usianya lebih muda. Di antara responden ini, sekitar sepertiganya mempunyai pasar nasional dan seperlima lainnya bahkan sudah merambah pasar internasional.

Gambaran umum mengenai perkembangan perusahaan keluarga di Indonesia dimulai dari close-circle family atau immediate family. Mayoritas responden, yang diwakili lebih dari sepertiganya, menyatakan bahwa perusahaan keluarga tersebut pada mula pertamanya didirikan oleh single fighter. Selebihnya menggandeng mitra yang masih termasuk dalam close-circle family atau immediate family tadi, mulai dari suami/istri, saudara, sampai teman dekat. Kedekatan hubungan ini terutama terkait dengan aspek kepercayaan (trust) dan kesamaan visi. Tidak mengherankan jika di antara mitra ini, secara signifikan, pasangan hidup menempati urutan teratas.

Fenomena yang jamak dalam perusahaan keluarga adalah pendiri mempunyai fokus pada usaha keras agar perusahaan dapat berkembang dan bertahan. Pada perkembangan berikutnya, ketika perusahaan mulai tumbuh menjadi lebih besar dan kuat, generasi kedua dan extended family, termasuk saudara-saudara, keponakan dan cucu mulai masuk, bahkan menjadi the dynasty of family.

Survei di negara-negara yang lebih maju menunjukkan sebagian besar pendiri perusahaan keluarga tidak menginginkan keturunannya bekerja di perusahaan tersebut. Bahkan survei yang dilakukan di Inggris menyebutkan bahwa hampir sembilan puluh persen anggota keluarga pendiri (the founder’s family members) tidak mengharapkan bekerja di perusahaan keluarga tersebut dan hanya lima persen responden menginginkan bergabung dan mengharapkan langsung duduk dalam posisi manajerial. Sementara itu yang terjadi di Indonesia trendnya justru sebaliknya. Mayoritas pendiri mengatakan ingin agar anak-anak mereka masuk ke dalam perusahaan, dan respon dari anggota keluarga pun setali tiga uang, menginginkan bekerja di perusahaan tersebut. Temuan ini beralasan sekali, karena dengan tingkat pengangguran yang demikian tinggi peluang kerja di luar perusahaan keluarga harus diakui masih cukup sulit. Selain itu ikatan keluarga khas bangsa-bangsa timur memang relatif lebih kuat di banding di negara-negara barat.

Karakteristik di atas tidak jarang justru memunculkan permasalahan tersendiri. Terutama jika terjadi konflik nilai antara pendiri yang masih berperan sebagai motor penggerak bisnis utama dan anggota keluarga yang kemudian terlibat di dalam perusahaan. Mengingat generasi baru cenderung mempunyai pandangan berbeda karena umumnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya pun lebih tinggi. Meskipun demikian, konflik nilai dalam perusahaan keluarga bisa terjadi lebih dari itu, antara keluarga dan perusahaan, antara anggota keluarga, dan antara keluarga dan stakeholders yang lain. Biasanya konflik terjadi karena perbedaan nilai antara bisnis dan keluarga.

Nilai-nilai yang ditekankan dalam keluarga adalah inward looking, berdasarkan emosi, sharing, ‘lifelong membership’, dan keengganan untuk berubah. Sedangkan nilai-nilai yang ditekankan dalam bisnis adalah outward looking atau melihat keluar, berdasarkan tugas, tidak emosional, penghargaan berdasarkan prestasi, keanggotaan berdasarkan kinerja, dan mengacu pada perubahan. Untuk menyelaraskan kepentingan keluarga dan kepentingan bisnis dapat dilakukan melalui matching process, penyelarasan (alignment) antara keinginan keluarga dan business requirements, dengan tujuan agar proses-proses yang ada dalam operasi perusahaan berjalan lancar. Dalam penyelarasan ini kunci utamanya terletak pada upaya menggandengkan company values dan family values.

Konflik yang terjadi selanjutnya adalah kesenjangan antargenerasi dan konflik minat antara keluarga dan bisnis. Untuk menghindari konflik ini, anggota keluarga perlu menetapkan peran, yaitu memutuskan siapa mengerjakan apa, dan jika peran-peran itu berubah, akan berdampak pada bisnis dan keluarga. Belajar dari krisis tahun 1997, perusahaan keluarga sudah mulai bangun kembali dengan adanya ekspansi, merger dan akusisi serta role of distribution. Misalnya anak pertama memegang manufacturing, anak kedua memegang logistik, anak ketiga memegang distribusi, anak keempat memegang marketing, dan seterusnya, sehingga akhirnya perusahaan menjadi besar dengan value chain yang menjadi satu.

Peran erat kaitannya dengan kompensasi yang harus mengokomodasi prinsip keadilan (fairness), baik menyangkut kompensasi bagi keluarga dan bukan keluarga maupun besar kecilnya nilai kompensasi itu sendiri. Prinsip keadilan juga harus diterapkan dalam distribusi pendapatan di antara anggota-anggota keluarga. Untuk yang terakhir ini, intinya adalah bagaimana membagi persentase keuntungan yang harus dikembalikan kepada perusahaan (untuk pengembangan perusahaan) dan bagaimana membagi pendapatan kepada keluarga. Kunci dari semua ini adalah komunikasi dan mengungkapkan isu secara terbuka dengan seluruh keluarga utamanya dan juga orang kunci di luar anggota keluarga. Kunci berikutnya adalah struktur manajemen, terutama terkait dengan penempatan anggota keluarga dalam struktur organisasi beserta kompetensi yang diperlukannya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kesepakatan atas tipe kepemimpinan manakah yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang ada, apakah kepemimpinan ganda (multiple leadership) atau one man show leadership.

Berbicara tentang kepemimpinan dalam konteks perusahaan keluarga tentu tak luput dari suksesi. Suksesi merupakan isu yang paling krusial, terutama kalau kendali perusahaan sudah mulai bergerak ke arah generasi kedua, apalagi generasi ketiga. Isu-isu dalam suksesi antara lain adalah rencana suksesi yang tidak jelas dan konflik antara calon-calon pengganti. Kata kunci dalam suksesi adalah kapan perusahaan akan diwariskan dan kepada siapa. Secara implisit, komunikasi mutlak diperlukan di sini. Penunjukan putra mahkota misalnya, tidak akan efektif jika tidak dikomunikasikan sejak awal.

Di samping keluarga, eksistensi perusahaan keluarga juga ditentukan oleh stakeholders lain seperti customers, para karyawan, dan komunitas masyarakat. Euforia reformasi justru makin memberikan nuansa berupa pressure bagaimana perusahaan keluarga bisa dikelola secara fair agar kompetitif tanpa melupakan aspek tanggung jawab kepada masyarakat. Untuk itu, karyawan profesional yang qualified di bidangnya direkrut untuk mempromosikan akuntabilitas dalam manajemen, membuat keputusan berdasarkan penilaian bisnis murni, dan memperluas jaringan. Dengan makin banyaknya porsi profesional dalam perusahaan keluarga, pihak keluarga dapat memusatkan energi pada pengawasan yang menjamin keberlangsungan usaha. Hal ini mengingat betapa banyak perusahaan keluarga jatuh baru di tahap survival.

Setelah adanya perubahan ke arah yang lebih profesional, tentu perusahaan keluarga masih harus memastikan bahwa minat keluarga (family interests) terakomodasi. Transformasi itu sendiri juga tidak boleh berhenti di satu titik sukses, masih banyak hal yang harus diperhatikan karena banyaknya kebiasaan yang tak pernah mati (old habits never die). Jika kebiasaan sudah diubah tetapi kembali lagi, ada tendensi kebiasaan itu akan kembali lagi ke sistem, prosedur, dan kebiasaan yang lama. Memang yang paling sulit dalam melakukan perubahan adalah memastikan tidak kembali ke masa yang dulu lagi (refreezing period).

*A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group, Penulis buku “World class Family Business: Perusahaan keluarga Berkelas Dunia”.
** Dimuat di Majalah EKSEKUTIF akhir Desember 2004

INTERNAL BRANDING

Dalam buku terbarunya yang berjudul Brand Sense, Martin Lindstrom mengukur kesetiaan terhadap merek dari sudut yang tidak lazim. Dengan survei yang melibatkan responden dari 13 negara, responden ditanya kesediaannya untuk ditato logo merek favoritnya secara permanen di lengan atau anggota tubuh lainnya. Pendekatan yang cukup ekstrim ini ternyata didukung oleh 18,9 persen responden yang memfavoritkan Harley-Davidson. Tiga merek paling favorit yang secara berturut-turut mengikutinya adalah Disney, Coca-Cola, dan Google.

Loyalitas seperti yang ditunjukkan responden di atas muncul karena terjalinnya kepuasan emosional terhadap layanan yang mereka terima dan didukung oleh citra merek yang baik. Dalam pandangan pelanggan, merek adalah wajah dari perusahaan, yang mengkomunikasikan nilai-nilai dan kualitas tertentu, sebagai jaminan atas kepercayaan dan reliabilitas. Lantas, bagaimana perspektif karyawan sendiri terhadap merek perusahaannya? Pemahaman dan perspektif mereka akan berdampak pada motivasi dan produktivitas yang berujung pada kinerja bisnis secara keseluruhan.

Layanan pelanggan yang menjadi kunci terbentuknya loyalitas pelanggan tentu saja menjadi tanggung jawab karyawan. Apapun posisinya, selain dituntut untuk bekerja dengan baik sesuai tugasnya, karyawan juga berperan sebagai duta bagi merek perusahaan (brand ambassador). Apalagi karyawan sering bersentuhan dengan pelanggan, terutama dalam industri jasa atau yang sifatnya B2B. Perilaku, gaya berpakaian, bahkan intonasi suara karyawan akan mempengaruhi persepsi terhadap merek dan kesuksesan perusahaan. Hal ini mudah dimengerti karena pemasaran sebagai proses berjalan dari dalam menuju ke luar, dari internal perusahaan dan berujung pada pelanggan. Merujuk pada orientasi sentrifugal dalam proses ini, maka khalayak internal harus memainkan peran kunci dalam mempromosikan merek perusahaan. Dengan demikian tibalah pada apa yang disebut internal branding.

Internal branding merupakan kegiatan komunikasi korporat berorientasi internal yang belakangan mengemuka dalam kampanye rebranding. Perusahaan mengkomunikasikan kepada karyawannya segala aspek dalam membangun merek, sehingga pada karyawannya terbentuk perilaku yang sesuai dengan misi merek itu sendiri. Logikanya, meskipun rebranding ditujukan untuk pihak eksternal tetapi mempunyai implikasi yang nyata bagi kalangan internal. Misalnya menyampaikan brand promise yang baru berikut konsekuensinya. Untuk itulah diperlukan internal branding.

Bukankah aneh jika dealer yang menjual mobil merek X justru dia sendiri mengendarai mobil bermerek Y. Demikian juga dengan perilaku karyawan yang kurang menghargai produk dan layanan yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. Perilaku ini menunjukkan tiadanya dukungan yang optimal dalam mewujudkan misi merek tersebut. Padahal karyawan merupakan wajah dari merek itu sendiri, sehingga harus dipastikan bahwa mereka mampu bertindak selaku representatif, selaku “duta besar” merek (brand ambassador).

Bandingkan dengan Disney yang menempati urutan ke dua dalam survei di atas. Disney didukung oleh sumber daya manusia yang dapat menghidupkan mereknya. Disney telah membangun infrastruktur karyawannya mulai dari rekrutmen, pelatihan, sampai kebijakan SDM secara spesifik untuk mendukung dan mempromosikan atribut dan pesan yang terkandung dalam merek Disney. Disney juga secara hati-hati mengawasi mereknya melalui tim ekuitas untuk memastikannya digunakan sebagaimana mestinya dan tidak over-exposed.

Kewaspadaan ini mencakup layanan, perilaku, sampai pakaian karyawannya. Memastikan bahwa karyawannya mengerti dengan jelas apa arti dari mereknya dan bagaimana mereka harus bersikap dan berperilaku untuk mendukungnya. Memang, Disney tergolong sudah mapan dalam usianya yang sudah beberapa dekade sehingga “tinggal” menyesuaikan dengan karyawannya yang datang belakangan.

Untuk suksesnya implementasi internal branding, Genesis (identity and branding consultant, member of The Jakarta Consulting Group) mengembangkan resep sederhana. Pertama, sinkronisasi antara brand personality, tata nilai, dan budaya perusahaan. Jangan sampai antara janji yang diberikan ke khalayak luas dan kondisi internal perusahaan tidak klop, sehingga ibaratnya ingin merubah ikan menjadi kuda. Merek yang kredibel harus didasarkan atas kekuatan pasar (eksternal) maupun realitas (internal) berupa budaya dan tata nilai yang dianut perusahaan yang mendukungnya.

Resep kedua adalah menjadikan karyawan sebagai tulang punggung dalam menghidupkan brand. Prinsip ini dipakai mulai dari tahap paling awal, perekrutan karyawan baru. Yang dilanjutkan dengan membangkitkan antusiasme dan gairah karyawan sehingga merek menjadi komitmen mereka. Cara membangkitkan yang paling efektif adalah melibatkan mereka dalam prosesnya. Termasuk komunikasi yang melibatkan edukasi karyawan berikut mekanisme umpan baliknya, sehingga karyawan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap esensi dari merek. Pemahaman esensi ini mulai dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap atribut identitas merek sampai brand promise. Dengan demikian menimbulkan tanggung jawab dan rasa memiliki. Mindset ini demikian penting, bahkan kegagalan suatu merek di pasar biasanya terkait dengan gagalnya pembentukan mindset karyawan ke arah tersebut. Dalam prakteknya, mutlak diperlukan kolaborasi antara semua pihak yang terkait, baik itu manajemen puncak, SDM, pemasaran, maupun tim operasional. Harus diakui, tidak jarang kegagalan justru dimulai dari kurangnya dukungan dari manajemen puncak.

Resep ketiga adalah internalisasi dengan mengoptimalkan komunikasi internal secara konsisten untuk menjelaskan tata nilai dan perilaku yang sesuai dengan brand promise. Kesuksesan internalisasi ini ditandai dengan merasuknya tata nilai dan perilaku ini dalam keseharian karyawan. Salah satu cara yang efektif adalah “Show Them the Money!” Intinya menunjukkan “merek yang kuat potensial mendatangkan lebih banyak uang”, yang sangat mudah dimengerti semua pihak, termasuk karyawan pada lapisan yang terbawah. Selain itu pengakuan dan penghargaan akan meneguhkan komitmen karyawan sebagai brand ambassador.

Yang harus diingat, untuk membangun merek yang kuat dibutuhkan komunikasi yang konsisten, dapat diterima secara jernih, dan dimengerti secara jelas. Komunikasi yang tidak hanya berorientasi ke luar, tetapi harus mencukupi kebutuhan internal. Penghubung antara karyawan dengan mereka adalah proses komunikasi internal, peran manajer dalam komunikasi dan pengembangan, kemampuan karyawan garda depan dalam mengakses informasi secara tepat waktu, dan pengalaman keseluruhan karyawan. Untuk itu harus dipastikan bahwa pesan ke dalam nyambung dengan pesan ke luar. Jika internal branding berhasil dijalankan dengan baik, dan disinergikan dengan strategi eksternal maka perusahaan dapat memetik hasilnya.

Dalam hal ini karyawan dapat menjadi brand ambassador yang baik dalam interactive marketing dengan pelanggan. Dengan demikian dimungkinkan menjangkau khalayak yang lebih luas dan mendapatkan loyalitas, baik itu mitra, aliansi strategis, pemegang saham, pelanggan, dan tentu saja karyawan. Dalam jangka panjang juga akan meningkatkan value dari perusahaan.

* A. B. Susanto* Penulis adalah Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di MAJALAH EKSEKUTIF akhir Februari 2005

Mengelola Perusahaan Patungan

Saya tergelitik untuk mengulas topik pengelolaan perusahaan patungan ketika belum lama ini ada seorang rekan pengusaha nasional menyatakan dalam waktu dekat ini akan membentuk perusahaan patungan dengan mitranya, sebuah perusahaan kosmetik dari Singapura.

Nature dari perusahaan patungan, entah itu berupa joint marketing, joint distribution, joint R&D, ataupun entitas bisnis baru adalah external network organization karena secara legal kepemilikan dan pengelolaan ada di tangan dua atau lebih organisasi. Dengan demikian kompleksitasnya lebih tinggi dibandingkan sekedar co-branding. Topik Strategi Co-Branding sendiri pernah penulis ketengahkan dalam kolom majalah kesayangan Anda ini beberapa bulan yang lalu. Aliansi dalam perusahaan patungan lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan co-branding yang lingkup kerjasamanya hanya sekitar pemanfaatan brand equity di antara dua merek atau lebih.

Dalam rich awareness co-branding keterlibatan kedua belah pihak dalam penciptaan nilai yang dihasilkan relatif rendah, karena memang ditujukan untuk meningkatkan exposure kepada masing-masing basis pelanggan agar brand awareness-nya terdongkrak. Dalam values endorsement co-branding, kerjasama yang dilakukan lebih ditujukan untuk menjadi endorsement bagi nilai merek sehingga kedua mitra dapat memperkuat reputasi mereknya.

Dalam complementary competence co-branding, dua merek yang komplementer bergabung untuk memproduksi sebuah produk yang pada intinya bukan sekedar menjumlahkan kedua bagian, tetapi masing-masing mitra mempunyai komitmen untuk memilih kompetensi intinya agar tercipta produk yang unggul.

Membentuk perusahaan patungan dengan mitra yang memiliki kapabilitas dan resources yang saling melengkapi adalah langkah strategis untuk menangkap peluang. Namun upaya untuk mempertahankan kelangsungannya merupakan tantangan tersendiri. Dalam pengelolaan perusahaan patungan setidaknya terdapat empat bidang kunci, yaitu strategi, struktur, budaya, dan sumber daya manusia. Dibandingkan dengan menjalankan strategi co-branding, pengelolaan perusahaan patungan cenderung lebih sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan pengelolaan perusahaan yang single fighter dan dikelola sepenuhnya oleh manajemen tunggal. Analoginya begini, antara perusahaan yang satu dengan yang lain seringkali memiliki budaya dan strategi yang berbeda berdasarkan bidang industri yang ditekuninya, konsumen yang dilayaninya dan kompetisi yang dihadapi.

Perusahaan patungan yang merupakan hasil kerjasama dengan dua atau lebih perusahaan berbeda, tentu saja akan melahirkan budaya baru yang berbeda (joint venture culture). Budaya merupakan aspek paling krusial dalam perusahaan patungan, meski untuk tahap permulaan biasanya belum begitu terasa. Budaya dalam perusahaan patungan haruslah tidak lebih lemah dibandingkan budaya masing-masing perusahaan yang menjadi induknya. Dalam artian, mampu mengakomodir dua atau lebih budaya perusahaan induk yang bisa jadi cukup jauh berbeda, misalnya jika perusahaan keluarga yang masih tertutup membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan multinasional. Untuk itu, masing-masing harus mengenal dengan baik kekuatan-kekuatannya, sehingga dapat dipadukan dalam satu irama. Budaya ini harus dapat menggerakkan perusahaan patungan dapat bekerja secara cepat dalam setiap fasenya. Kecepatan yang dibarengi oleh fleksibilitas untuk berinisiatif, tidak ragu untuk keluar dari pakem (business as usual) melalui terobosan-terobosan inovatif.

Kepemilikan dan manajemen bersama membuat strategi yang dijalankan di masing-masing perusahaan induk tidak dapat begitu saja diterapkan di perusahaan patungan. Strategi dari perusahaan patungan harus disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan semua aspeknya sehingga mampu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan. Dalam menyusun strategi ini, terdapat faktor krusial yang harus dipertimbangkan karean akan sangat menentukan keberhasilan. Pertama hubungan personal yang baik diantara mitra, saling memahami dan menerima. Hubungan personal – diakui atau tidak – ternyata sangat menentukan kelangsungan kerjasama ini. Ketika ’trust’ diantara para mitra sudah retak, maka tinggal ”menghitung hari’ kelangsungannya. Sehingga saluran komunikasi menjadi faktor penentu berikutnya dalam kelangsungan usaha patungan ini. Keterbukaan saluran komunikasi serta kesepakatan tata waktu pelaporan menjadi sangat penting. Tentu dengan alasan penetapan yang masuk akal.

Permasalahan yang paling mendasar pembentukan joint venture adalah rasa percaya dan timbal balik antar mitra. Rasa percaya dapat saja terbentuk jika terdapat suatu kesepakatan mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan dari setiap anggota perusahaan mitra, yang dituangkan dalam budaya organisasi.

Dari sisi struktur organisasi, perusahaan patungan dioperasikan oleh tim yang ditunjuk atas kesepakatan bersama oleh setiap mitra yang tergabung di dalamnya. Acap kali dewan direksi atau posisi-posisi kunci lainnya diduduki oleh orang yang notabene karyawan atau bagian dari masing-masing perusahaan induk. Padahal, masing-masing perusahaan induk mempunyai kepentingan tersendiri. Dengan demikian, untuk menghindari konflik kepentingan, hubungan antara perusahaan patungan dengan masing-masing induknya harus dibuat setegas dan sejelas mungkin. Di samping itu, prinsip transparansi dan akuntabilitas harus dijunjung tinggi.

Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam hal ini adalah mengangkat setidaknya satu pimpinan netral yang disegani dan mempunyai cukup wewenang dalam perusahaan. Netralitas ditunjukkan oleh tiadanya kaitan baik secara organisatoris maupun kepentingan antara pemimpin ini dengan masing-masing perusahaan yang membentuk joint venture sebagai outsider yang dipandang lebih independen dan lepas dari conflict of interest. Outsider ini diharapkan dapat mendorong obyektivitas di samping perspektif yang lebih segar ke dalam perusahaan. Tidak heran jika biasanya outsider ini dipilih berdasarkan kompetensi dan pengalamannya yang telah teruji.

Adanya pimpinan yang netral tidak efektif jika tidak didukung oleh pembagian kerja yang jelas di tiap levelnya, terutama sekali di pucuk pimpinan. Misalnya, siapa saja yang bertugas untuk merumuskan strategi perusahaan patungan, bertanggung jawab dalam risk management, keuangan dan lain-lain. Pembagian kerja seperti inilah yang menjadi pijakan dalam menilai kinerja yang biasanya dilakukan secara formal setiap tahun, penilaian yang menjadi salah satu dasar bagi pemberian reward. Kinerja seseorang di perusahaan patungan biasanya juga dipantau oleh perusahaan induk tempat semula ia berada. Tidak jarang terjadi, pimpinan yang sukses di perusahaan patungan ditarik kembali oleh perusahaan induk untuk dipromosikan. Hal seperti ini tentu berpengaruh besar pada perusahaan patungan.

Secara finansial, akuntabilitas dalam perusahaan patungan juga ditegakkan dengan melibatkan lembaga auditor independen. Hal ini menjadi lebih penting lagi bila ada kaitannya dengan transaksi atau transfer pricing yang melibatkan perusahaan induk.

Eksekutif kunci perusahaan patungan harus menjadi ‘jembatan’ dengan meningkatkan kualitas proses komunikasi dan penyelaras keragaman. Sehingga terbentuk right chemistry, yaitu atmosfir kerja yang didasari oleh adanya keterbukaan, saling pengertian, adaptabilitas, kesesuaian budaya dan organizational trust. Proses ini ditindaklanjuti dengan mempercepat terbentuknya internal & external relationship yang dapat menciptakan kelanggengan formulasi joint ventures.

*A.B. Susanto * Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di Majalah Eksekutif akhir Maret 2005

Integrated Risk Management

Berikut ini ada realita mutakhir yang menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Ketika harga avtur naik, dua operator maskapai penerbangan segera mengurangi jumlah dan penerbangan tujuan Yogyakarta. Namun, ada maskapai penerbangan lain yang justru melakukan tindakan sebaliknya: akan menambah jumlah penerbangan ke dan dari Yogyakarta. Bagi dua operator pertama, kenaikan harga avtur ini ternyata ditangkap sebagai sebuah ancaman, sementara sebuah operator maskapai penerbangan lainnya menganggapnya sebagai peluang. Sebuah pelajaran yang berharga bahwa ternyata resiko, ketidakpastian, dan kerugian adalah tiga hal berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan begitu saja.

Banyak yang salah kaprah, resiko bisnis dianggap sama dengan resiko finansial dan dianggap sama pula dengan kerugian. Padahal resiko finansial hanyalah salah satu komponen resiko bisnis, selain resiko proyek, resiko operasional, resiko pasar dan resiko yang berkaitan dengan regulasi.

Resiko pada hakekatnya adalah kejadian yang memiliki dampak negatif terhadap sasaran dan strategi perusahaan. Manajemen resiko terintegrasi merupakan suatu proses dimana berbagai resiko diidentifikasi, diukur dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya resiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur. Melalui pengelolaan resiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian-kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.

Ironisnya, acap pengelolaan resiko hanya terfokus pada resiko yang berhubungan dengan kegiatan operasional, yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan uang (resiko finansial). Pendekatan ini tentu saja kurang lengkap, karena tidak mengcover keseluruhan resiko yang melekat pada bisnis yang digeluti. Memang, setiap industri memiliki penekanan sendiri-sendiri terhadap resiko yang akan dikendalikannya. Dalam manajemen resiko terintegrasi, resiko yang dominan dijadikan sebagai acuan utama. Sebagai misal, di industri keuangan dan perbankan, manajemen resiko lebih ditekankan pada aspek finansial tanpa mengabaikan aspek resiko lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana teknis pengelolaan resiko terintegrasi? Pada ghalibnya, proses bermula dari analisa secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisa kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap resiko yang ada, baik dari aspek operasional, pasar, finansial, proyek, maupun regulasi. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah identifikasi melalui pertanyaan what, when, where, why, how berkaitan dengan kecenderungan dari munculnya resiko. Tentu saja proses ini tidak cukup dilakukan hanya sekali tembak saja. Semakin lengkap data yang dikumpulkan dalam proses identifikasi ini akan makin memudahkan dalam mencari solusi bagi pengendalian setiap resiko yang muncul.

Namun demikian identifikasi saja tidaklah cukup. Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi resiko dengan baik sehingga tahu benar resiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, namun salah dalam melakukan antisipasi. Mengapa demikian? Tidak jarang ketidakmampuan dalam menentukan mau mulai dari mana penyelesaian masalah yang timbul menyebabkan keputusasaan. Oleh karena itu diperlukan adanya proses analisis dan evaluasi. Proses ini membantu memahami kemungkinan terjadinya resiko beserta dampak dari setiap resiko bila nantinya benar-benar terjadi, serta mengetahui apakah suatu resiko dapat diterima atau tidak.

Permasalahan yang sering muncul adalah dalam menentukan prioritas penanganan dan penentuan batas toleransi apabila resiko terebut tidak dapat dikelola seluruhnya. Batas toleransi ini akan menentukan seberapa jauh suatu resiko dapat diterima (acceptable). Di sini kebijakan manajemen dan pimpinan perusahaan memegang peranan penting dalam mengambil keputusan. Tentu saja tidak cukup hanya mengandalkan gut feeling semata karena terkait dengan pencapaian sasaran perusahaan. Dalam pengelolaan resiko bisnis, manajemen perusahaan dihadapkan pada beberapa pilihan: menghindari resiko, mengurangi resiko, atau mentransfer resiko yang diidentifikasi akan muncul.

Untuk jenis resiko yang kemungkinan terjadinya tinggi dan dampaknya besar, pilihan yang dapat diambil ialah menghindari resiko. Artinya manajemen perusahaan menetapkan bahwa perusahaan akan menghindari setiap aktivitas yang beresiko tinggi tersebut. Dilain pihak untuk jenis resiko yang kemungkinannya terjadinya rendah dan dampaknya kecil, manajemen dapat saja menerimanya dalam batas-batas toleransi yang telah ditetapkan. Untuk resiko yang kemungkinan timbulnya kecil namun dampaknya besar, biasanya perusahaan melakukan tranfer dari resiko yang dihadapinya ke pihak lain, misalnya dengan asuransi, namun perusahaan tetap bertanggung jawab untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya resiko tersebut.

Tentu saja kebijakan pengelolaan resiko harus didahului dengan analisa yang menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama berhubungan dengan cost & benefit yang akan didapat dan ditanggung perusahaan. Di sini fungsi dari perencanaan, pengawasan, dan kontrol terhadap kebijakan yang akan diambil terhadap suatu resiko akan sangat menentukan.
Sebenarnya apa saja yang menjadi faktor utama dalam penerapan manajemen resiko terintegrasi di suatu organisasi, terutama bila dikaitkan dengan kinerja perusahaan? Kepemimpinan tidak dapat dipungkiri berperan sebagai penggerak yang memberikan arah dan pedoman bagi seluruh anggota organisasi. Dengan demikian komitmen dari pemimpin (leadership commitment) sangat menentukan dalam sukses tidaknya pengelolaan resiko. Selain itu dibutuhkan risk management culture yang kuat sebagai pengikat bagi seluruh anggota organisasi agar dapat menyatu, seiring sejalan mencapai tujuan. Dalam implementasinya, penerimaan dari anggota organisasi saja tidaklah cukup, lebih dari itu dibutuhkan keterlibatan mendalam (deep employee involvement) dari setiap anggota organisasi yang membuahkan rasa handarbeni. Selain itu integrasi antara perencanaan dan implementasi juga tidak kalah vitalnya.

Manajemen perubahan, komunikasi, dan pembelajaran berperan sebagai penopang pengelolaan resiko terintegrasi. Pemimpin organisasi harus menyadarkan arti krisis atau bahkan bilamana perlu menciptakan suatu situasi krisis sehubungan dengan pentingnya dilakukan implementasi manajemen resiko untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi. Dalam tahap demi tahap perubahan dibutuhkan panduan yang baik agar tidak mengalami kemunduran (set back). Jelas, komunikasi tidak boleh putus, baik antar lini dalam organisasi maupun dalam satuan waktu. Patut diingat pula bahwa proses komunikasi dalam manajemen resiko dilakukan tidak hanya terbatas di dalam organisasi (inward), akan tetapi juga outward kepada partner dan stakeholder lain yang terkait.

Yang tidak kalah pentingnya dalam pengelolaan resiko terintegrasi adalah aspek pengendalian. Para pemimpin organisasi dituntut untuk menaruh perhatian serius dalam hal ini karena pengendalian seringkali menjadi titik terlemah dalam praktek pengelolaan resiko. Pengendalian yang berjalan dengan baik, ditunjang oleh pembelajaran membuat manajemen resiko terintegrasi sebagai proses dengan penyempurnaan yang terus menerus. Sebagai imbalannya adalah peningkatan kinerja organisasi secara signifikan.

* A.B. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Perceived Leadership

Style perilaku manajerial merupakan salah satu faktor terpenting dalam kesuksesan implementasi perubahan budaya organisasi. Pemimpin yang sukses sendirian merubah budaya organisasi adalah mitos lama, karena sesungguhnya untuk itu diperlukan dukungan banyak pihak. Dengan demikian wajar jika gaya partisipatif banyak direkomendasikan karena setiap orang akan mempunyai komitmen yang tinggi dalam implementasi perubahan ini. Agar gaya partisipatif ini dapat tumbuh dan berkembang, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu prasyarat utamanya adalah kepemimpinan yang dapat diterima dan dirasakan dengan baik oleh para bawahan sehingga memungkinkan mereka bisa beradaptasi terhadap perubahan.

Perlu diingat bahwa esensi kepemimpinan adalah suatu hubungan social yang intinya bagaimana seseorang mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain. Mempengaruhi (influencing) dapat dikategorikan ke dalam enam kategori yaitu assertiveness, bargaining, koalisi, friendliness, otoritas yang lebih tinggi, dan reasoning.

Terdapat beragam strategi yang dapat dipilih untuk ‘mempengaruhi’. Pilihan strategis ini dipengaruhi oleh beragam faktor, terutama karakteristik khalayak sasaran, kualitas hubungan yang menjembataninya, serta tujuan yang hendak dicapai. Khalayak sasaran sangat beragam, misalnya atasan, rekan sejawat, maupun bawahan.

Jika sasaran yang ingin dipengaruhi adalah atasan, maka karakteristik kepemimpinan atasan harus benar-benar dimengerti. Bahwa atasan dalam derajat tertentu bisa menunjukkan lebih dari satu gaya kepemimpinan, bukanlah hal yang aneh. Misumi membingkai peran pemimpin dengan sumbu Performance (P) dan sumbu Maintenance (M). Dimensi P diarahkan untuk pencapaian tujuan dan penyelesaian masalah, dengan visi dan misinya. Di lain pihak, dimensi M berorientasi pada pemeliharaan keutuhan dan identitas tim. Dengan bingkai ini kepemimpinan atasan bisa dipetakan ke dalam kuadran PM dimana kedua dimensi memiliki nilai yang tinggi, kombinasi Pm dan pM, ataupun pm yang masing-masing dimensi memiliki nilai rendah.

Kepemimpinan mempunyai kaitan langsung dengan persepsi dari efficacy organisasi. Dengan kata lain, bagaimana pemimpin bertindak akan mempengaruhi persepsi keseluruhan tentang bagaimana organisasi yang menaunginya akan berkembang. Hal ini perlu diingat para pemimpin, karena mereka sendiri barangkali tidak sadar bahwa perilaku mereka mempengaruhi bawahannya. Bagi bawahan, kepemimpinan dirasakan dalam bentuk kharisma, inspirasi, motivasi, dorongan intelektual, maupun kesadaran personal. Hubungan antara bawahan dan pemimpin mengikat mereka ke dalam hubungan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Berdasarkan pengalaman atas hubungan itu, bawahan mengidentifikasi pemimpinnya dan menentukan peran yang akan diambilnya.

Efektivitas kepemimpinan yang dirasakan bawahan berhubungan dengan kualitas hubungannya dengan pemimpinnya. Padahal kualitas hubungan ini akan mentransformasikan nilai-nilai, sikap, dan motif menjadi bangunan yang kongruen. Kongruensi ini bisa berupa bawahan yang menyetujui nilai-nilai dan tujuan yang ditawarkan pemimpinnya, dan bisa diartikan berangkat dari nilai-nilai dan tujuan berbeda tetapi menuju muara yang sama.

Masing-masing kongruensi ini menimbulkan kepuasan pada pemimpin. Kepuasan pada pemimpin itu sendiri sangat mempengaruhi komitmen yang tercermin dalam tingkat kinerja dan kepuasan kerja, yang akan berujung pada rasa memiliki dan kemauan untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan. Tingkat dimana pemimpin mampu menggerakkan bawahan untuk memandang kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadinya. Tingkatan ini dicapai jika dapat melewati dua tahapan sebelumnya: tahapan inisiasi dan transaksi respek dan kepercayaan. Kegagalan tahap inisiasi akan menempatkan masing-masing sebagai bukan kelompoknya.

Sebaliknya, jika perceived leadership masih menjadi masalah, maka perlu dilakukan analisis kebutuhan yang melibatkan para pemimpin kunci dan dibangun pendekatan atas kepemimpinan dan pengembangan kinerja terpadu. Hal di atas mencakup penyusunan kriteria yang terkait dengan visi dan nilai-nilai organisasi. Desain dan implementasi serangkaian workshop bagi para pemimpin kunci dalam perusahaan akan membantu mengkomunikasikan visi organisasi, sekaligus membantu para pemimpin untuk mengidentifikasi gap yang ada. Selain itu perlu disusun model multi fungsi berbasis kompetensi dan profil kemampuan teknis beserta modul pengembangannya.

Untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan metode yang paling sering dipakai adalah dengan mengidentifikasi dan memfokuskan perbaikan pada area di mana titik terlemah ditemui. Namun, hasil penelitian dari Zenger dan Folkman menunjukkan hal yang berbeda. Cara ini memang akan menghasilkan perbaikan untuk area tersebut tetapi tidak bisa menciptakan pemimpin yang besar. Justru Zenger dan Folkman menyatakan dengan berfokus untuk mengembangkan kekuatannya, bukan perbaikan titik terlemah, akan lebih efektif. Logikanya, dengan mengidentifikasi dan memfokuskan pada kompetensi pemimpin yang sudah cukup bagus, perbaikan sedikit saja akan membawa dampak yang lebih dramatis dalam peningkatan efektivitas kepemimpinannya. Sehingga hasilnya bukan lagi pemimpin yang bagus belaka, tapi pemimpin yang besar.

Dengan dibangunnya sistem di atas sekaligus akan didapat perangkat yang bisa dipakai untuk menyeleksi, mengembangkan penilaian dan me-manage kinerja, dan dalam kesempatan yang sama ekspektasi karyawan juga menjadi lebih terukur.

* A. B. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian BISNIS INDONESIA awal April 2004

EMPLOYEE ENGAGEMENT

Kepuasan karyawan (employee satisfaction) saja, pada saat ini sudah dianggap kurang memadai bagi organisasi untuk menunjang kinerja karyawan. Bisa saja terjadi karyawan yang memiliki kepuasan tinggi, justru tidak termotivasi untuk menunjukkan kinerja yang terbaik. Sebagian diantaranya justru ongkang-ongkang kaki untuk ‘menikmati’ pekerjaannya.

Lebih dari sekedar kepuasan kerja, karyawan diharapkan mempunyai engagement, suatu keterlibatan, komitmen, keinginan berkontribusi dan rasa memiliki (ownership) terhadap pekerjaan dan perusahaan. Di dalam terminologi ini, termasuk pula di dalamnya timbulnya rasa saling percaya (trust), loyalitas terhadap pekerjaan dan perusahaan, serta kebanggaan terhadap perusahaan dan semangat bekerjasama.

Penjabaran lebih lanjut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang peran yang diemban oleh karyawan dalam sebuah organisasi. Pertama, tentu saja peran seorang karyawan sebagai pemegang jabatan tertentu dalam organisasi (job holder role). Karyawan bekerja untuk melaksanakan tugas–tugas seperti yang telah tertuang dalam deskripsi jabatan. Kemudian yang lain adalah perannya sebagai anggota tim, yang intinya adalah bagaimana karyawan saling bahu-membahu dengan sesama anggota tim untuk mencapai tujuan kelompok.

Dalam kaitannya dengan peran karyawan ini, ada pula entrepreneur role, peran yang mengharapkan karyawan untuk menuangkan gagasan-gagasannya demi pelaksanaan tugasnya maupun untuk kepentingan organisasi yang lebih luas. Berkaitan dengan karirnya, karyawan juga dituntut untuk selalu mengembangkan karirnya dalam organisasi melalui pengembangan kompetensinya secara berkelanjutan, melalui proses pembelajaran untuk menguasai skill baru yang dituntut oleh jabatan dengan jenjang yang lebih tinggi. Dan tentu saja yang tak boleh ketinggalan adalah perannya sebagai anggota organisasi. Bagaimana ia harus bertindak untuk mendukung organisasi, walaupun tugas ini tidak tertera dalam job description, dan tidak pula tercantum dalam tugas-tugas kelompok.

Sejatinya employee engagement memiliki tingkatan-tingkatan mulai dari ranah kognitif, afektif, konatif maupun perilaku. Dari ranah kognitif menggambarkan aspek pikiran, yang intinya adalah aspek evaluasi logis terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi. Ranah afektif adalah aspek emosional, yang meliputi sense of belonging dan kebanggaan terhadap organisasi maupun pekerjaanya. Ranah konatif menyatakan niat (intention) seberapa jauh keinginan untuk berbuat bagi organisasi. Dan dari sisi perilaku apakah tindakan nyata yang menunjukkan dukungan terhadap organisasi.

Employee engagement harus dipandang sebagai sebuah proses yang membutuhkan pembelajaran yang berkelanjutan, yang memerlukan pengukuran secara periodik sebagai sarana untuk memantau perkembangannya, dan tentu saja diperlukan tindakan yang berkelanjutan pula.

Pendorong utama bagi terciptanya employee engagement diantaranya adalah keterlibatan terhadap organisasi secara keseluruhan dan adanya ikatan emosional terhadap organisasi. Lingkungan kelompok dan lingkungan pekerjaan yang menantang bagi seseorang untuk berkembang merupakan pendorong berikutnya.

Secara umum terdapat sederet aspek yang dapat dijadikan prediktor bagi terbentuknya engagement seperti saling percaya (trust), iklim kerja, terdapatnya rasa keadilan, dan berbagai aspek lainnya seperti kesempatan, kompensasi, budaya, pengembangan, kepemimpinan, company practices, yang dapat saja diberi nama yang berbeda-beda.

Prasyarat terbentuknya employee engagement terutama adalah kepemimpinan yang suportif yang dituntun oleh visi yang jernih dan nilai-nilai yang kuat. Juga harus ditunjang oleh proses yang baik, serta struktur yang suportif sebagai pengejawantahan dari corporate practices, yang dilaksanakan sampai kepada tingkat kelompok yang terkecil.

Lantas bagaimana untuk mengetahui sejauhmana tingkat engagement karyawan ? Harus dilakukan pengukuran terhadap engagement ini, yang dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam upaya-upaya perbaikan yang dilakukan. Tingkat engagement ini harus dikuantifikasi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk survei. Karena survei ini dilakukan sebagai umpan balik, termasuk umpan balik terhadap seberapa jauh upaya-upaya perbaikan yang dilakukan untuk meningkatkan engagement, maka survei ini haruslah bersifat periodik.

Tahap awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi dimensi atau aspek-aspek apa saja yang diasumsikan memberi kontribusi terhadap tingkat employee engagement. Yang harus disadari adalah aspek-aspek ini ketika dirumuskan di belakang meja bersifat asumtif, sehingga harus diverifikasi dalam suatu penelitian yang bersifat kualitatif melalui in-depth interview maupun focus group discussion. Harus diingat bahwa employee engagement survey ini harus bersifat customized, karena setiap organisasi mempunyai karakteristik yang khas dan unik. Berarti pula dalam mendesain survei ini tidak boleh searah yang bersifat top-down, harus mendengarkan apa sesungguhnya aspirasi karyawan.

Survei ini merupakan tools dalam kerangka perbaikan manajemen, sehingga harus dicangkokkan dalam sistem dan menyatu (embedded). Dan tentunya sebagai bagian dari sistem harus dilakukan secara periodik dan berkelanjutan.

* AB. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia awal Mei 2004

Mengkaji Ulang Strategi Korporat

Sejumlah pendorong kompetisi, termasuk tekanan berupa value creation, globalisasi, dan efisiensi karena perang tarif telah menuntut sejumlah perusahaan mendesentralisasikan fungsi strategi. Reorganisasi ini tidak lagi memusatkan pengkajian ulang (review) dan penyusunan kembali strategi korporat pada segelintir orang di kantor pusat tapi menghendaki pelibatan kontribusi di level yang lebih rendah.

Dalam melakukan pengkajian ulang, perkembangan informasi yang relevan harus terus diamati dan segera direspon dengan analisis lebih lanjut. Bilamana perlu sampai taraf pengujian asumsi dan metode yang mendasarinya. Prioritas tertinggi diberikan pada upaya mempertahankan keutuhan dan kelangsungan perusahaan. Perhatian utama ditekankan pada kesesuaian strategi korporat dengan misi dan sumber daya yang dimiliki perusahaan, serta pasar. Berikutnya penekanan diberikan pada sistem pendukung yang mengarahkan attitude dan perhatian.

Jangan sampai perhatian hanya mengarah pada tujuan tunggal yang terlalu sempit dan terbatas, yang pada akhirnya menutup peluang untuk berkembang. Apalagi untuk pasar yang ternyata masih tumbuh. Selain itu penekanan diberikan pada prioritasisasi pemakaian sumber daya yang bermuara pada pengarahan dan pengerahan upaya, motivasi, dan pengaruh.

Konfigurasi yang bagus dari strategi korporat memungkinkan peninjauan ulang secara periodik dan mempunyai ruang bagi pembaruan dan perbaikan. Strategi korporat yang berperan dalam pemilihan business mix dan pengelolaan value enhancing dari bauran bisnis berdasarkan struktur organisasi, sistem, dan kebijakan yang sesuai. Dalam penyusunan kembali strategi korporat, kecepatan merupakan faktor harus diperhatikan. Tetapi bagaimana pengambil keputusan dapat menyusunnya secara cepat dengan kualitas yang tinggi?

Salah satu cara yang dilakukan untuk percepatan ini adalah belajar dari pengalaman perusahaan lain. Sebuah perusahaan sebetulnya dapat saja meniru strategi yang dipakai perusahaan lain yang sudah mapan dan matang serta terbukti sukses. Dapat juga melakukan benchmark atas sistemnya. Tetapi, proses duplikasi ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena strategi, sistem, teknologi, dan proses disusun secara sinergis. Bukankah competitive advantage merupakan hasil dari focusing yang menghela misi perusahaan berikut sistem, struktur dan budaya yang mendukungnya secara bersamaan. Masing-masing komponen ini terlebih dahulu diadaptasi sesuai kondisi yang ada untuk mencapai sinergi. Selain sinergi, masalah yang harus diatasi adalah cakupan bisnis di samping bisnis inti. Bagaimana kesepadanan cakupan bisnis ini dengan perusahaan yang dijadikan model ? Makin lebar deviasi cakupan bisnisnya maka kompleksitasnya pun semakin tinggi. Apalagi jika diingat bahwa cakupan bisnis ini ditentukan pula oleh tingkat kompetisi dalam industrinya.

Lantas, bagaimana jika ingin menyusun sendiri strategi korporat yang sesuai dengan kebutuhan, tanpa terpaku pada model? Pendekatan yang dipakai dalam menyusun strategi korporat adalah pelanggan mempunyai value prepositions yang berusaha dipenuhi perusahaan dengan mengoptimalkan resource base yang dimiliki dan ditransformasikannya menjadi produk dan jasa melalui proses bisnisnya. Pendekatan ini dapat diurai dalam tiga pemikiran manajerial. Pertama berupa pemahaman, pengukuran, dan pembedahan customer value untuk sekarang maupun untuk waktu mendatang. Kedua, berupa pemahaman, pengukuran, pemetaan, dan manajemen atas proses bisnis yang sekarang dan yang potensial untuk dikembangkan. Terakhir berupa pemahaman, pengukuran, manajemen, dan pengembangan resource base yang fundamental bagi perusahaan.

Untuk dapat menciptakan nilai melalui strategi korporat, manajemen puncak dituntut untuk memiliki sejumlah kecakapan kritis. Pertama-tama tentu saja dapat membuat visi dan misi berdasarkan ekspektasi dari shareholder dan identifikasi stakeholder intinya serta menimbang kondisi pasar. Dalam dinamika bisnis yang tinggi, visi dan misi perusahaan yang jelas dapat dijadikan patokan yang dapat diturunkan menjadi petunjuk praktis mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dirubah dan merangsang kemajuan visioner.

Selain itu manajemen puncak harus dapat mengukur sumber daya dan kapabilitas korporat untuk kemudian mengaplikasikan analisis industri dan analisis strategi. Dari analisis ini akan dipetakan dimana posisi perusahaan saat ini. Bisnis mana yang seharusnya dimiliki perusahaan? Pendekatan apa yang akan menghasilkan kinerja bisnis terbaik? Dalam hal ini harus diperhatikan Critical Success Factor bagi bisnis yang bersangkutan dan Key Performance Index dari perusahaan. Setelah tahu petanya, tujuan strategis perusahaan ditentukan secara spesifik dan terukur. Tujuan ini dengan jelas menyatakan akan dibawa ke mana perusahaan ini.

Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, dengan pemahaman tadi, strategi korporat dapat disusun. Strategi yang menjadi roadmap, menjadi arah dan cakupan dari perusahaan dalam jangka panjang dan secara jelas menuntun bagaimana mencapai tujuan strategis di atas. Untuk menentukan bisnis mana yang dipertahankan dan bisnis mana yang didivestasikan, dibuat urutan berdasarkan kriteria kesesuaian dengan kompetensi, potensi berkembangnya, dan penciptaan atau justru penghancuran nilai. Setelah itu untuk operasionalnya disusun rencana bisnis sehingga strategi korporat tertuang ke dalam rencana bagi investasi dan aksi yang akan diambil guna meraih competitive advantage yang berkelanjutan dan capaian yang superior baik secara ekonomis maupun sosial.

Tugas manajemen puncak pula untuk memimpin timnya menciptakan struktur, sistem, dan proses yang kondusif bagi pengimplementasian strategi korporat yang terbentuk. Dalam hal ini, mereka harus dapat mengelola dinamika interpersonal dari keputusan-keputusan strategis. Yang tidak kalah pentingnya tentu saja kemampuan untuk mengkomunikasikan secara efektif visi berikut strategi korporat yang baru baik kepada stakeholder internal maupun eksternal.

* A.B. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia awal Juli 2004

‘MAKHLUK’ ORGANISASI

Jika kita menginginkan suatu perusahaan lestari, hal utama yang harus dilakukan adalah memperlakukan perusahaan sebagai suatu makhluk hidup. Dan ’darah’ yang harus terus mengalir dalam urat nadi perusahaan adalah inovasi.

Arie de Geus menyatakan agar dapat bertahan lama sebuah perusahaan harus memungkinkan orang-orangnya tumbuh dalam komunitas yang disatukan oleh nilai-nilai yang dinyatakan secara jelas dan konsisten. Nilai-nilai yang didasarkan atas identitas organisasi, kemauan untuk berubah dan semangat akan pengembangan. Komitmen pada sumber daya manusia ditempatkan di atas aset, dan respek terhadap inovasi dan pembelajaran.

Perusahaan harus terus-menerus mencari cara untuk menciptakan dan mewujudkan nilai (value) melalui inovasi tiada henti. Kemampuan untuk segera tanggap terhadap perubahan merupakan persyaratan agar perusahaan tetap bisa bertahan.

Pada dasarnya kinerja organisasi merefleksikan kombinasi antara kompetensi organisasional dan keselarasan organisasi dengan lingkungannya. Keselarasan yang ditentukan oleh sejauh mana kumpulan pengetahuan organisasional sesuai dengan tuntutan eksternal. Kemampuan organisasi menyempurnakan dan mengeksploitasi pengetahuan organisasionalnya sehingga mampu menciptakan pengetahuan baru dan menghasilkan inovasi, sangat bergantung pada pola komunikasi dan distribusi pengetahuan dalam organisasi. Jadi, bila peningkatan usia organisasi cenderung meningkatkan kekakuan pada pola komunikasi dan distribusi pengetahuan, maka sejalan dengan meningkatnya usia, organisasi pun menghasilkan lebih sedikit inovasi.

Kesenjangan antara kompetensi organisasional dengan tuntutan lingkungan juga meningkat sejalan dengan waktu. Bila organisasi relatif lamban (untuk berubah) maka keputusan-keputusan serta praktek-praktek yang dibawa sejak organisasi berdiri masih tetap berlaku. Akibatnya, ketika lingkungan eksternal berubah dengan cepat, keselarasan antara organisasi dengan lingkungannya akan menurun, menyeret organisasi tersebut pada keusangan.

Organisasi sejatinya sangat mirip dengan manusia. Bukankah pada hakekatnya organisasi adalah sekumpulan manusia dengan tujuan, sistem, struktur dan kultur tertentu ? Nah, agar organisasi berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif, organisasi mesti mempunyai tradisi sebagai organisasi pembelajaran (learning organization) dan mempunyai kemampuan untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) dengan baik.

Dalam organisasi pembelajaran (learning organization), komitmen dan kapasitas belajar ditumbuhkan secara berkesinambungan bagi seluruh anggota di tiap tataran organisasi.
Schwandt menyatakan organisasi pembelajaran memungkinkan organisasi merubah informasi menjadi pengetahuan yang berharga (valued knowledge) yang akan meningkatkan kemampuan organisasi. Boleh dikatakan, organisasi pembelajaran merupakan ‘wadah’- dengan sistem tertentu - yang memungkinkan anggota organisasi untuk terus belajar sehingga dapat meningkatkan kemampuannya.

Seperti yang diusulkan Senge, terdapat lima unsur penting mesti diperhatikan dalam pembentukannya, yakni visi bersama yang mesti digapai, model mental, keahlian personal, pembelajaran tim, dan berpikir sistematik.

Yang tak kalah pentingnya adalah kepemimpinannya. Tipe kepemimpinan yang paling sesuai untuk mendukung adalah kepemimpinan yang memberdayakan (empowerment leadership). Kepemimpinan ini memberikan penugasan, pendelegasian, dan dukungan positif kepada setiap anggota organisasi, sehingga kegiatan pembelajaran dan kinerja tim menjadi lebih baik. Penugasan yang diberikan mempunyai standar yang tinggi. Pendelegasian dilakukan berdasar prinsip penghargaan dan kepercayaan agar anggota merasa dirinya berdaya (baca : berkontribusi) dalam menggapai visi bersama. Pendelegasian semacam ini menunjukkan munculnya otonomi yang membebaskan anggota dari birokrasi yang melelahkan.

Harapan lainnya adalah terbentuknya dukungan positif sebagai cerminan integritas diri pemimpin. Dukungan positif mencakup sikap menghargai pelaksanaan tugas (terutama tugas yang berat) dan penghargaan atas sikap adil, konsisten, dan kejujuran anggota. Tak ayal, tipe kepemimpinan yang memberdayakan akan menghasilkan peningkatan kinerja jangka pendek dan membangun komitmen bersama dalam jangka panjang sehingga visi bersama dapat tercapai.

Kepemimpinan ini mesti disertai pengelolaan aset intelektual organisasi dalam rangka pembentukan knowledge management (KM), yang merupakan kontribusi dari setiap anggota organisasi agar saling mengembangkan gagasan yang berbeda. Pengalaman, pengetahuan, dan keahlian anggota organisasi, dikumpulkan, dikelola dan distribusikan ke seluruh organisasi. Organisasi mengakumulasi segenap kompetensi anggotanya, dan dijadikan kompetensi organisasi.

Proses ini akan menghasilkan knowledge-based worker yang merupakan dasar inovasi dan kreasi anggota organisasi yang akan meningkatkan nilai organisasi, karena membangun manusia pembelajar dalam organisasi. Pada galibnya, belajar merupakan proses untuk mengenali dan memahami diri sendiri (self awareness), lingkungan (cosmo awareness), dan interaksi keduanya (relationship awareness). Organisasi dan anggotanya, menjadi cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan siap untuk berkompetisi.

* A. B. Susanto* Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia akhir Juli 2004

EMPLOYEE VALUE

Dalam situasi yang kompetitif, hidup matinya perusahan bergantung kepada sejauh mana value yang diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan kompetitor. Value chain analysis membantu perusahaan mengidentifikasi sumber dan kapabilitas potensialnya yang kompetitif. Perusahaan membutuhkan analisis terhadap keseluruhan value chain-nya, termasuk keterhubungan di antara tiap tahapannya dan dalam prosesnya bisa dibangun informasi value chain terpadu. Ibarat lomba lari maka startnya adalah customer needs, dan garis finishnya adalah customer delight.

Tiap fungsi bisnis dalam value chain diperlakukan sebagai aset penting dan berkontribusi pada value. Dengan demikian value chain marketing mengintegrasi dan mengkoordinasikan semua fungsi bisnis, memenuhi kebutuhan pelanggan dan setelah transaksi penjualan tetap menjaga hubungan dengan pelanggan dengan memberikan layanan yang ’superior’ sehingga didapat customer equity yang tinggi.

Perlu pendekatan strategis untuk menghubungkan proses pemasaran dengan value dari shareholder, pelanggan, dan karyawan. Shareholder value yang sifatnya terukur serta lebih mudah dipahami oleh investor dipakai sebagai ukuran finansial. Dalam iklim kompetisi yang tajam ini, shareholder value hanya akan dicapai melalui ’super costumer value’ yang menyajikan keunggulan diferensial yang kompetitif. Dua hal tersebut dicapai melalui tiga tahapan utama, yaitu value exploration, value creation, dan value delivery yang semuanya harus didukung oleh employee value.

Sebuah perusahaan yang menyatakan dirinya customer-centric, harus memahami betul seberapa jauh karyawan megadopsi slogan ini menjadi budaya yang telah dibatinkan dan menjadi pedoman perilakunya dalam perusahaan. Harus dipastikan bahwa semua orang mengadopsi fokus eksternal (berorientasi pelanggan), dan mereka juga diberi wewenang dan tools untuk memutuskan cara terbaik menangani pelanggan.

Bagi perusahaan karyawan berkontribusi dalam hal tenaga kerja, memberikan layanan, keahlian, ide dan inovasi, serta budaya perusahaan. Di sisi yang lain harapan karyawan terhadap perusahaan secara umum meliputi kelangsungan hidup perusahaan, pembagian keuntungan, keamanan kerja, kualitas lingkungan kerja, sharing informasi, dan manajemen yang baik.

Dari harapan ini selanjutnya bisa diurai faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Biasanya yang muncul pertama kali adalah kompensasi, yang meliputi gaji, tunjangan, dan bonus baik secara perorangan maupun tim. Berikutnya adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini meliputi penghargaan terhadap ketrampilan, keselamatan, lingkungan, ergonomis, hubungan yang baik dengan manajemen sehingga tercipta pemberdayaan karyawan, komunikasi yang baik, serta kantor yang keren.

Pada saat ini karir menduduki tempat yang terhormat dalam pola ekspektasi karyawan yang semakin meningkat. Aspek karir ini terutama meliputi kelangsungan pekerjaan, ketersediaan fasilitas untuk mendapatkan pelatihan, pengembangan karir, dan employability.
Tak ketingggalan pula faktor eksternal ikut menjadi bagian dari harapan karyawan. Faktor eksternal ini meliputi hubungan masyarakat, reputasi perusahaan yang akan menunjang kebanggaan personal, dan kualitas hidup.

Pemahaman mengenai persepsi karyawannya menjadi menu wajib bagi perusahaan. Secara umum, kebanggaan sebagai karyawan dan merasa bahwa ketrampilannya bernilai sebagai aset bagi perusahaan haruslah mendapat perhatian yang sangat besar. Kebanggaan dan perasaan berharga ini dapat meningkatkan engagement karyawan terhadap perusahaan dan dapat menjadi tali emosional yang sangat kuat untuk memacu motivasi internal.

Selanjutnya adalah bagaimana seorang karyawan ’menikmati’ datang bekerja setiap hari dan merasakan bagaimana hasil kerjanya memberi nilai tambah bagi pelanggan. Jika seorang karyawan ’menikmati’ pekerjaannya tentu akan menumbuhkan kerelaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan sepenuh hati. Ketulusan dalam melayani pelanggan eksternal, maupun internal akan meingkatkan kualitas layanan itu.

Sementara pelatihan secara berkesinambungan dan dilaksanakan secara lintas sektoral akan memperluas wawasan dan memberi pandangan yang utuh membantu karyawan dalam membuat keputusan dan mendukung visi dan misi perusahaan. Karyawan juga menginginkan mendapatkan informasi yang relevan untuk membuat keputusan bilamana mereka memerlukan. Karyawan juga menginginkan dihargai selaku perorangan maupun selaku anggota tim atas kontribusinya.

Bila nilai ini disampaikan dengan baik dan karyawan juga menerimanya dengan baik pula maka diharapkan terciptanya suasana betah dan kondusif untuk berinovasi serta meningkatnya produktivitas.

*A.B. Susanto*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia akhir September 2004

Manajemen Proses Bisnis

Iklim kompetisi menuntut tidak saja barang dan jasa yang berkualitas tetapi juga kecepatan layanan disamping harga yang murah. Untuk dapat mencapai taraf kompetitif seperti ini, organisasi mau tidak mau harus inward looking dengan mengoptimalkan operasi bisnis di tiap lininya, memperbaiki dan menstabilkan kualitas dan reliabilitas sistem. Optimalisasi ini mencakup kelengkapan kendali proses, solusi jangka panjang yang berkelanjutan, minimalisasi tidak saja error tetapi juga limbah dan pengerjaan ulang, efisiensi waktu, dan penghapusan aktivitas yang tidak memberi nilai tambah.

Siklus dari inisiatif perbaikan proses secara garis besar terbagi dalam tiga aktivitas utama, discovery and design, deploy and execute, dan monitor and control. Discovery dimulai dengan mengidentifikasi keperluan dari proses tersebut. Mulai dari pendorong, tata nilai, strategi, sampai hasil dari bisnis organisasi. Identifikasi ini akan mendukung “raison d’etre” dari proses tersebut. Selanjutnya identifikasi tadi diikuti oleh inventarisasi dari proses yang sudah berjalan baik itu proses utama maupun proses pendukung. Inventarisasi ini lebih bersifat memotret bagaimana alur kerjanya, berapa biaya yang diperlukan, siklus waktunya dan lain sebagainya. Selain itu perlu dipetakan, apakah suatu proses memberikan nilai tambah atau tidak.

Kategorisasi hasil value analysis ini bermanfaat untuk menentukan skala prioritas dalam perbaikan proses. Bahkan, bilamana perlu proses yang tidak memberi nilai tambah sejak tahap ini dapat segera dipangkas. Hanya saja perlu pertimbangan masak-masak sebelum memangkasnya. Tetapi juga tidak berarti harus berlama-lama membiarkan proses yang tidak mendatangkan nilai tambah ini semakin menjadi beban. Ibarat membiarkan barang yang sebetulnya tidak terpakai tapi dibuang sayang justru menjadikannya sampah yang membebani.

Hasil inventarisasi tadi ditindaklanjuti dengan menentukan siapa yang selanjutnya bertanggung jawab terhadap suatu proses (process ownership). Tanggung jawab pertama dari pemilik proses ini adalah membangun dan menanamkan kultur perbaikan berkelanjutan. Dengan semangat perbaikan berkelanjutan, sebagai standar parameter ditentukan indikator kinerja dari proses yang mencakup aspek waktu, biaya, dan kualitas. Kriteria dari standar ini dibuat jelas, terukur, dan dapat dijangkau. Sehingga berdasarkan standar tadi dapat dilakukan penilaian seberapa jauh kesenjangan kinerja dari proses yang selama ini berjalan. Root cause analysis dapat dilakukan untuk mendapatkan faktor apa saja yang menjadi pemicunya. Dengan diketahuinya faktor pemicu ini peluang bagi perbaikan dapat diidentifikasi, apakah itu melalui adopsi teknologi, perbaikan praktek manajemen, perbaikan alur kerja, atau yang lainnya.

Tahap selanjutnya adalah desain model baru yang mampu mengoptimalkan kinerja dari proses bisnis sesuai dengan karakteristik yang telah ditemukan. Belajar dari pengalaman pihak lain melalui benchmark dengan “best practices” dari industri terkait akan membantu keluar dari inward looking trap, mengurangi resiko dan biaya serta menjaga perusahaan tetap berada dalam rel menuju pemenangan kompetisi.

Sebelum diimplementasikan, model baru tersebut disimulasikan, sebagai eksperimen terhadap perubahan yang terjadi, seberapa sukses perbaikan desain ini berjalan. Simulasi ini secara operasional akan mereduksi resiko dengan mengantisipasi kekurangan dari model yang baru. Jika simulasi berhasil maka model tersebut dapat diimplementasikan sambil dimonitor dengan analisa dan pengontrolan terhadap hasilnya. Masih dalam semangat dan siklus perbaikan berkelanjutan.

Dalam setiap tahapan ini, sumber daya manusia memegang peranan sangat vital, baik dalam perannya sebagai Process Designer, Process Executor, maupun Process Manager. Dengan demikian pelatihan secara berkesinambungan dan dilaksanakan secara lintas sektoral sangat diperlukan untuk meningkatkan kompetensi mereka. Selain itu pemahaman mengenai persepsi karyawan menjadi menu wajib bagi perusahaan. Kebanggaan sebagai karyawan yang merasa ketrampilannya bernilai sebagai aset perusahaan haruslah mendapat perhatian yang proporsional. Kebanggaan dan perasaan berharga ini dapat meningkatkan engagement karyawan terhadap perusahaan dan dapat menjadi tali emosional yang sangat kuat untuk memacu motivasi internal. Membuatnya ’menikmati’ bekerja setiap hari dan merasakan bagaimana hasil kerjanya memberi nilai tambah bagi pelanggan. Jika seorang karyawan ’menikmati’ pekerjaannya tentu akan menumbuhkan kerelaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan sepenuh hati. Ketulusan dalam melayani pelanggan eksternal maupun internal akan meningkatkan kualitas layanan itu.

Tentu saja orientasi pelanggan ini tidak bisa dilupakan dalam manajemen proses bisnis, karena pelangganlah yang akan menentukan apakah nilai tambah dari perbaikan proses ini bermakna atau tidak. Pelanggan tidak mau tahu dengan proses, mereka hanya akan melihat keluarannya.

*A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia awal November 2004

Identitas Korporat

Begitu mendengar kata korporat, yang pertama muncul dalam benak adalah suatu entitas organisasi yang besar. Bila kata korporat ini disandingkan dengan identitas maka gambaran yang terbentuk adalah wajah, citra, dan reputasi suatu organisasi yang besar.

Identitas korporat memang tidak bisa lepas dari logo, teks atau akronim, warna dan elemen visual lain yang banyak dipakai untuk mempromosikan citra dan reputasi suatu organisasi. Identitas McDonald yang begitu memikat misalnya, sangat mempengaruhi citra positif yang terbentuk, meski sudah jamak diakui bahwa fast food itu termasuk junk food. Dalam banyak industri, citra memegang peran yang sangat vital. Sedangkan reputasi merupakan gambaran yang terbentuk dari apa yang dianggap benar tentang organisasi berdasarkan interaksi sebelumnya. Citra dan reputasi tidak bisa tidak sangat menentukan dalam mencapai tujuan organisasi dan membuatnya tetap kompetitif.

Identitas korporat merepresentasikan eksistensi organisasi, merangkum sejarah, kepercayaan, filosofi, teknologi, sumber daya manusia, nilai-nilai etis dan kultural, dan strategi organisasi. Sebagai pembeda (uniqueness) dengan kompetitor dan organisasi lain di pasar yang makin kompetitif, identitas korporat menunjukkan definisi dan identifikasi karakter atau personalitas organisasi. Dengan demikian identitas korporat mempunyai ‘power’ untuk membantu menentukan positioning organisasi terhadap pesaingnya dan pasar secara umum. Lebih jauh, identitas korporat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari corporate branding. Dengan demikian, identitas korporat harus mencerminkan konstruk yang positif, kuat, dan memberi impresi yang membekas dan dalam.

Identitas korporat juga terkait dengan setiap interaksi yang melibatkan organisasi, tidak saja dengan klien atau pelanggan, tetapi juga investor, kompetitor, dan bahkan karyawan. Dengan demikian identitas korporat menjadi bagian soft dari manajemen persepsi khalayak terhadap organisasi. Selain berperan penting dalam menghubungkan keperluan internal dan ekspektasi pihak eksternal, identitas korporat juga berperan dalam mengakomodir perubahan lingkungan. Dalam peran yang terakhir, identitas korporat dapat menjadi perangkat strategis untuk membantu organisasi menghadapi perubahan, misalnya menjawab tuntutan terhadap corporate responsibility.

Tetapi tidak jarang identitas korporat tidak disadari dengan baik oleh khalayak yang disasar, atau bahkan dinilai tidak relevan atau terlalu dibuat-buat (artifisial). Situasi ini muncul karena designer gagal untuk mengakomodasi interaksi dengan banyak pihak tetapi terjebak oleh keinginan segelintir orang yang kurang memahami esensinya. Sering terjadi kesalahpahaman dalam hal ini, dengan menganggap makin rumit suatu identitas maka akan makin artistik dan makin bagus. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya, makin sederhana suatu identitas, makin mudah ia diingat dan meninggalkan kesan yang mendalam dan bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Impresi pertama, yang oleh psikolog disebut “primacy effect”, menentukan bagaimana penilaian diberikan. Jika konstruksi yang tertanam kurang bagus, maka bisa dipengaruhi dengan “recency effect” melalui penggantian dengan tampilan baru yang lebih memikat. Ibarat operasi plastik yang bisa merubah penampilan seseorang menjadi identitas yang baru.

Prosesnya memang tidak mudah, kebutuhan organisasi harus diidentifikasi melalui riset. Riset juga menunjukkan karakteristiknya, karena antara consumer good dan non-consumer good industry, juga gaya yang disandang entah itu gaya yang konservatif, modern, atau kasual berpengaruh pada tampilan identitas korporat. Riset tersebut harus mencakup bagaimana pihak lain mengatakan tentang siapa, apa yang dilakukan, dan bagaimana organisasi Anda melakukan bisnis. Selain itu juga mencakup relevansi dan kredibilitas organisasi Anda. Sudah sesuaikah persepsi itu dengan tujuan dan sasaran organisasi? Dapatkah berperan dalam mengartikulasikan misi, attitude, dan kultur organisasi? Hasil riset ini digunakan untuk membangkitkan ide solusi bagi permasalahan yang dihadapi. Identitas baru yang terbentuk kemudian digulirkan secara konsisten dan sesering mungkin dengan mengoptimalkan semua aplikasi antar-muka yang mungkin. Sering terjadi, komunikasi yang terbentuk ini lebih efektif dari kata-kata dalam meningkatkan perceived value. Komunikasi ini juga mensyaratkan konsistensi tidak hanya antar aplikasi antar muka yang sifatnya statis tapi juga human capital dalam setiap interaksinya.

Biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki identitas korporat tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Mental ”piyama” (baju seadanya) yang mempertaruhkan identitas korporat dengan mempertahankan identitas lama yang sudah tidak relevan, tentu bukan tindakan yang tepat. Apalagi mempertaruhkan nasib dengan menyerahkannya pada desainer amatir.

Saat yang paling sering dimanfaatkan untuk mengganti identitas korporat adalah setelah akuisisi atau merger. Waktu favorit yang lain adalah momen pergantian tahun. Tapi pilihan waktu ini relatif. Yang lebih prinsip adalah menjadi proaktif selalu lebih baik daripada reaktif. Revitalisasi perusahaan misalnya, dapat dimulai dengan memperbaharui identitas korporatnya.

* A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia awal Februari 2005

Mengukur Reputasi Perusahaan

Belakangan ini makin banyak perusahaan di Indonesia bergiat dalam mengelola reputasinya. Tidak bisa dipungkiri, apa yang terjadi dengan Enron, Arthur Andersen, Merrill Lynch, General Electric dan WorldCom menjadi pemicu yang mendatangkan hikmah akan pentingnya mengelola reputasi perusahaan.

Hanya saja, ada beberapa catatan penulis menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal. Akibatnya, perusahaan terjebak dalam perspektif yang menyesatkan. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk dapat mengelola reputasi dengan baik dan benar?

Dalam hal ini ada adagium yang menyatakan bahwa “You can’t manage what you can’t measure”. Dengan demikian, untuk dapat mengelola reputasi secara baik diperlukan pengukuran reputasi. Proses ini jika dilakukan secara baik akan dapat menunjukkan bagaimana reputasi perusahaan jika dibandingkan dengan reputasi pesaing. Selain itu pengukuran reputasi perusahaan juga dapat menunjukkan sektor dan stakeholder mana saja yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Secara umum hasil pengukuran ini juga berfungsi sebagai road map bagi proses pengelolaan reputasi itu sendiri.

Bisa dimaklumi bahwa untuk mengukur reputasi secara ideal tidaklah mudah dan diperlukan keahlian khusus. Wajar jika beberapa perusahaan melakukan pengukuran reputasi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Misalnya dengan melihat media coverage untuk kemudian menerjemahkan isinya ke dalam reputation score cards. Memang opsi ini lebih baik daripada tidak ada action evaluasi sama sekali, walaupun opsi ini bukannya tanpa kelemahan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan tampak betapa pendekatan ini lebih fokus kepada merekam outcome dari aktivitas humas di media, sedangkan pengaruhnya terhadap khalayak sasaran luput dari pengukuran. Apalagi jika dikaitkan dengan peran aktual bagian humas yang di lapangan tidak jarang hanya berperan sebagai penyampai, sekedar gula-gula, pemadam kebakaran, atau justru kambing hitam, bukan sebagai pengambil keputusan.

Padahal mengukur reputasi tidaklah cukup sebatas menghitung kesenjangan antara apa yang disampaikan dan yang dipersepsi media telah dilakukan oleh perusahaan. Proses pengukuran reputasi seharusnya dimulai dari penentuan stakeholder kunci dari perusahaan. Stakeholder di sini bisa mencakup karyawan, pelanggan, calon pelanggan potensial, pemasok, pemegang saham, LSM, media massa, analis, DPR, ataupun pemerintah. Siapa saja stakeholder kuncinya ditentukan oleh tipe, jangkauan (lokal, nasional, regional, global), dan situasi (menjelang IPO, krisis) yang sedang dihadapi perusahaan. Masing-masing stakeholder disadari memiliki derajat kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Proses kedua adalah menentukan komponen pengarah (driver), entah itu berupa atribut, kualitas, perasaan, citra atau apa saja. Dalam tahap ini seringkali penelitian kualitatif berperan penting dalam menggali komponen apa saja yang menjadi pengarah. Secara umum, ada empat indikator dasar yang dapat dijadikan modal dalam menggali komponen pengarah yang menentukan seberapa kuat reputasi suatu perusahaan. Pertama, daya saing perusahaan dalam menjual produknya dengan harga premium pada kurun waktu yang tidak sebentar. Kedua, kesanggupan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan staf kunci yang berkualitas. Ketiga, konsistensi perusahaan dalam mendapatkan dukungan words of mouth berupa rekomendasi positif baik dari sisi pasokan maupun pemasaran. Keempat, keberpihakan publik ketika terjadi masalah, tidak saja dalam kemampuan perusahaan untuk berkelit dari media ataupun kritikan publik.

Jika komponen pengarah sudah didapatkan, maka instrumen bagi penelitian kuantitatif dapat disusun. Sekali jalan, alangkah lebih baiknya jika instrumen ini tidak hanya diarahkan untuk mengukur reputasi perusahaan itu sendiri, tetapi juga outward looking terhadap kompetitor dan industri terkait. Instrumen ini misalnya berupa kuesioner yang tentu saja harus diuji reliabilitas dan validitasnya. Hanya instrumen yang teruji dengan baik yang layak dipakai untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab keperluan penelitian.

Seonggok hasil penelitian tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditindaklanjuti dengan baik. Penelitian, walau bagaimanapun hanyalah satu tonggak dalam pengelolaan reputasi. Oleh sebab itu, dari hasil penelitian tersebut harus ditindaklanjuti dengan penyusunan reputational plan yang benar-benar actionable. Reputational plan yang harus memuat skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis telah disigi mempunyai dampak yang tinggi (high impact). Skala prioritas yang didukung oleh komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Mengkomunikasikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya komunitas yang disasar. Pesan yang dikemas secara memikat, baik sebagai pesan verbal, icon, maupun program yang didukung oleh outreach melalui media secara efektif.

Yang jelas, reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Dalam eksekusinya menjadi tanggung jawab bersama karena tidak cukup hanya dibebankan pada bagian humas atau pimpinan perusahaan semata.

* A.B. Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat di harian Bisnis Indonesia Akhir April 2005

Merekrut Karyawan Unggul

Baru-baru ini sebuah stasiun televisi mensosialisasikan sebuah reality show dengan topik Ari Wibowo mencari pembantu rumah tangga (PRT). Sebuah fenomena tersendiri dalam dunia perekrutan di tengah maraknya reality show di Indonesia. Bayangkan untuk mencari seorang PRT dibutuhkan audiensi di sembilan kota besar di Indonesia. Dari kandungannya reality show ini khas Indonesia, meskipun mengundang polemic dari sebagian kalangan. Kekhasan ini dapat bandingkan dengan The Apprentice yang sudah hadir versi Indonesianya. The Apprentice yang di Amerika dibawakan oleh Donald Trump merupakan reality show bursa kerja.
Masuknya unsur perekrutan karyawan dalam program reality show yang notabene adalah bagian dari entertainment tidak serta merta berarti bahwa urusan perekrutan itu sendiri menjadi hal yang remeh temeh. Merekrut karyawan yang unggul adalah satu mata rantai yang tidak hanya penting dalam bisnis tetapi esensial. Bagaimana tidak, rekrutmen merupakan mekanisme untuk mendatangkan aset terbesar dalam bisnis, apapun jenis bisnisnya. Bukankah bisnis hanya tinggal ide jika tidak ada yang menjalankannya? Tanpa dukungan karyawan yang baik, janji kepada pelanggan hanya akan tinggal janji. Dengan pendekatan input-output sederhana pun tampak nyata jika inputnya kurang bagus maka kemungkinan besar outputnya juga tidak akan optimal. Mendapatkan orang yang tepat bagi perusahaan tidaklah sesederhana kelihatannya. Sebagian besar perusahaan di Indonesia mengelola sendiri perekrutan karyawannya. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memasang iklan di media massa. Seiring dengan tingginya tingkat pengangguran di negeri ini maka respon atas iklan lowongan kerja biasanya cukup tinggi. Berdasarkan pengalaman, tingkat respon tersebut umumnya tidak diikuti oleh pemenuhan kualifikasi seperti yang disyaratkan. Meskipun dalam iklan lowongan sudah diberi embel-embel ”Hanya kandidat yang memenuhi persyaratan akan dipanggil untuk proses seleksi,” banyak oportunis yang tetap nekat melamar. Rata-rata tidak lebih dari separuh yang lolos seleksi administratif (desk screening), dan angka rata-rata lebih kecil lagi untuk posisi kunci. Dari sekian kandidat yang lolos desk screening tadi, rata-rata juga tidak lebih dari sepertiga yang lolos seleksi tahap pertama (biasanya oleh HRD). Belum lagi, seleksi di tingkat pengguna (user) yang umumnya makin mengerucut lagi. Untuk satu posisi, idealnya tersedia sekitar tiga kandidat unggul untuk dipilih satu yang paling sesuai mengisi posisi tersebut. Namun dalam kenyataannya, tidak jarang untuk mendapatkan satu kandidat yang memenuhi kriteria saja tidak terpenuhi. Mengapa demikian? Yang dibutuhkan perusahaan pada hakekatnya tidak hanya pengalaman dan pendidikan saja tetapi juga kesesuaian (chemistry) kandidat dengan kultur perusahaan. Jika tidak ada yang memenuhi, memaksakan diri bukanlah tindakan yang tepat. Sebagai akibatnya, perusahaan harus memasang iklan lagi, dan memulai lagi proses seleksi dari nol. Kalau ini yang terjadi, apalagi berulang terus, tentu akan merepotkan. Selain melelahkan tentu juga memakan banyak energi dan dana perusahaan. Dalam titik tertentu jasa konsultan executive search sering dijadikan alternatif. Tetapi tidak sedikit pula perusahaan yang dari awal mempercayakan proses ini pada konsultan terpercaya. Ada fenomena yang kadang baru disadari kala proses rekrutmen menemui jalan buntu. Bahwa hakekat dari perekrutan adalah transaksi bilateral di antara kandidat dan perusahaan yang ingin menyerap karyawan. Lazimnya dalam transaksi tentu ada posisi tawar menawar masing-masing pihak. Seorang profesional yang unggul tentu akan mempertimbangkan dalam-dalam suatu tawaran. Terutama bagaimana reputasi perusahaan yang bersangkutan. Jika reputasi suatu perusahaan kurang bagus maka profesional tersebut enggan untuk melamar dan cenderung mundur di tengah jalan jika terlanjur mengikuti proses seleksi.
Sebagai konsekuensi dari permintaan perusahaan yang ingin mendapatkan karyawan yang unggul adalah kaliber perusahaan yang setara dengan tingkat permintaan itu sendiri. Dalam hal ini, “if you pay peanut you’ll get monkey” tidak hanya berarti reward berupa paket finansial. Paket finansial memang diakui sebagai daya tarik, tetapi kebutuhan karyawan unggulan tidak sebatas itu saja. Dalam pendekatan loyalitas pelanggan, prioritas tidak lagi bertumpu pada pelanggan tetapi justru pada karyawan. Dengan sendirinya, perusahaan yang mempunyai reputasi sebagai perusahaan yang mengutamakan kepentingan karyawan akan menjadi magnet bagi profesional yang unggul di bidangnya.
Ketika orientasi perusahaan ditujukan kepada karyawan, banyak hal positif akan terjadi. Tentu saja karyawan akan bahagia yang tidak saja membuatnya betah bekerja, tetapi juga meningkatkan komitmennya untuk bekerja secara optimal. Sebagai hasilnya, pelanggan bahagia merasakan layanan terbaik dan loyal. Kelihatannya transaksional, tetapi itulah yang terjadi. Bandingkan dengan situasi di perusahaan yang lingkungan kerjanya tidak kondusif, yang menganggap karyawan hanya sebagai robot atau lebah pekerja. Jangankan berharap dapat mendatangkan loyalitas pelanggan, loyalitas karyawan itu sendiri pun dipertanyakan.
Dengan demikian, karyawan yang susah-susah direkrut pun belum ada jaminan untuk bertahan lama jika perusahaan tersebut kurang mampu mempertahankannya. Padahal turn over yang tidak sehat juga kontra produktif bagi bisnis perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

* Oleh AB Susanto, Managing Partner The Jakarta Consulting Group
** Dimuat harian Bisnis Indonesia, awal Juni 2005